Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Pancasila Yang Kian Terluka

Jumat, 21 Februari 2020 - 10:48 | 53.18k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang  (Unisma) dan penulis Sejumlah Buku
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang  (Unisma) dan penulis Sejumlah Buku
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Demikian sering terbaca dalam realitas, bahwa kita ini dalam beberapa sikap dan perilaku, secara langsung atau tidak langsung, terperosok mendisain diri menjadi musuhnya Pancasila, baik itu berskala besar atau kecil, sehingga sampai kapanpun, agama jenis apapun, sepanjang mengajarkan kebajikan, tidak akan pernah menjadi musuh Pancasila.

Atas logika itu, ke depan, siapapun diantara kita memang tidak perlu sampai menyebut, bahwa agama adalah musuh terbesar Pancasila, pasalnya Pancasila adalah ideologi yang menjadi pedoman hidup berbangsa dan bernegara, sehingga siapapun yang sikap dan perilakunya antagonistik dengan sila-sila dalam Pancasila, maka layak distigma sebagai ”pembangkang” atau musuh ideologis dan sekaligus musuh agama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Kita tidak sulit melihat, bahwa Pancasila yang secara substansial menggariskan prinsip ketuhanan, kemanusiaan, keadilan, persatuan, dan penyejahteraan rakyat, sekedar dihafal dan digunakan oleh elemen strategis negara ini sebagai sekumpulan dalil apologis politis, dan bukan sebagai ruh moral-spiritual dalam kinerjanya. Mereka ini membuat Pancasila kian terluka.

Ada di antara mereka itu bahkan merasa malu kalau harus mengimplementasikan atau ”mengamalkan” Pancasila secara konsisten. Mereka juga dilanda ketakutan kehilangan ”investasi” besar bagi keluarga, kolega, parpol, atau neo-koncoisme-nya, bilamana harus menegakkan doktrin ketuhanan, toleransi, keadilan, kemanusiaan, dan penyejahteraan rakyat, yang didoktrinkan Pancasila.

Zamen bundeling van olle krachtern  van de natie”,   yang bermaknakan “tekad bersama untuk mendahulukan kepentingan bersama, masyarakat,  bangsa, dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan sendiri”, adalah ungkapan Bung Karno berspirit Pancasila saat berpidato, yang dalam faktanya sekarang tampak dieliminasi atau dilindas dimana-mana, khususnya di kalangan elitis (penerima amanat kekuasaan).

Dari sisi idealitasnya, pesan Bung Karno itu  mengajarkan, bahwa, dalam membangun bangsa, setiap orang yang dipercaya menduduki kursi yang membawa atribut atau identitar suara rakyat, haruslah mengutamakan komitmen kebangsaan guna mewujudkan kesejahteraan rakyat, membebaskan kemiskinan, dan menghadirkan atau “menusantarakan harmoni.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Mereka pun seharusnya  berjuang melawan berbagai ancaman asing dan penyakit internal yang cenderung mengoyak republik menjadi sebuah negeri keropos, dan mensucikan diri sesuci-sucinya agar tidak terjerumus dalam kaukus dan kolaborasi para bandit berpola pembenaran korupsi, penodaan keadilan, pembodohan rakyat, atau berbagai bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Komunitas elit negara itu idealnya mampu jadi negarawan atau sosok elit yang bersikap cerdas dan humanitas seperti digariskan Pancasila denngan  menunjukkan kapabilitas intelektual-spiritual, kemanusiaan, dan aseptabilitas moral-politiknya  guna meninggikan kesejatian makna tanggung jawab (kewajiban) kepada rakyat dan bukannya memilih jalan paradoksalnya, yakni menjadikan rakyat sebagai kendaraan untuk memenuhi “birahi politik”-nya, kegilaan jabatan, dan nafsu kapitalistiknya semata.

Sayangnya, dewasa ini jalur “permufakatan jahat” atau pemenangan pembusukan amanat yang ditempuh sebagian elemen negeri ini. Mereka mengemas dirinya sebagai oportunis yang gemar menciptakan peluang-peluang strategis yang membuatnya jadi selebriti kekuasaan kaya-raya atau menempati strata elitisme eksklusif, yang membuat rakyat jadi penonton yang merana.

Kroni dan kepentingan eksklusif ”kolaborasi pragmatis” yang bahkan diantaranya bersifat permisif misalnya dijadikan sebagai ”kepentingan keluarga baru” dan keluarga konvensionalnya (anak dan istri) yang diabsolutkannya dengan mengalahkan amanat kerakyatan. Amanat rakyat telah atau sedang dijadikannya sebagai obyek “pemangsaan” utama dengan berbagai dalih yang sebenarnya membodohi masyarakat (publik).

Kalau kolaborasi demikian itu tidak dihentikan sendiri oleh elit strategis bangsa dengan cara mensupremasikan atau memenangkan doktrin Pancasila dalam ragam aktifitasnya, maka kesengsaraan atau ketidakberdayaan rakyat secara masif ini hanya persoalan waktu. Artinya, rakyat akan makin sulit menemukan atau menuai kehidupan dalam atmosfir “banjir” kesejahteraan ketika Pancasila direduksi dan bahkan dilindas oleh subyek atau elitis yang semestinya menjadi sumber keteladanan ideologis.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Dus, kesadaran kolektif sebagai bangsa yang mempunyai ideologi Pancasila wajib dibuktikan ke ranah das sein dan terus menerus menjadi doktrin yang benar-benar membumi, sehingga karut marutnya bangsa ini tidak menuju lonceng kematian bernegara (berkerakyatan), yang tentu saja digerakkan dan dikembangkan oleh para pemimpin bangsa ini.

Kesadaran kolektif di kalangan pemimpin itu pun akan mampu mengalahkan berbagai bentuk penyakit anolami, deviasi, malversasi, dan kleptokrasi kekuasaan, pasalnya kesadaran merupakan bagian dari wujud “pentobatan” yang diikuti sikap dan perilaku berpola mengembangkan tekad “memberikan yang terbaik untuk bangsa ini”, dan bukan berlomba “mengambil” yang terbaik untuk memuaskan keserakahan diri dan kelompok.

 INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang  (Unisma) dan penulis Sejumlah Buku

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES