Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Mahasiswa: Antara Buku, Kelas, dan Cafe

Jumat, 21 Februari 2020 - 09:07 | 68.46k
Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) dan Penulis Buku Membedah Dinamika Kehidupan Mahasiswa.
Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) dan Penulis Buku Membedah Dinamika Kehidupan Mahasiswa.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Mahasiswa merupakan sosok manusia yang beruntung. Beruntung karena mereka menjadi bagian dari manusia yang terpilih untuk mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Perguruan Tinggi. Seseorang yang berhasil menyandang “status” mahasiswa maka ia secara otomatis akan disebut sebagai makhluk pembelajar.

Sebagai makhluk pembelajar maka tentu mahasiswa selalu digambarkan sebagai sosok yang selalu dekat dengan buku dan kelas tanpa mengenal waktu. Gambaran tentang sosok mahasiswa tersebut tentu merupakan gambaran yang tepat dan tidak berlebihan mengingat buku dan kelas merupakan dua benda dan tempat yang pasti menghiasi aktivitas mahasiswa.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Kelas adalah “surga” bagi mahasiswa untuk menambah dan memperdalam pengetahuannya. Di ruang kelas inilah kemudian mahasiswa akan menerima, membagi bahkan mempertahankan apa yang diketahui (pengetahuan). Di dalam kelaslah mahasiswa dapat memotret kondisi terkini dunia dan merancang tatanan dunia di masa yang akan datang.

Melalui interaksi di ruang kelas maka mahasiswa dapat menyadari berbagai kekurangan dalam dirinya. Biasanya, seorang mahasiswa yang merasa paling tahu atau paling hebat atas suatu pengetahuan akan menyadari kalau pengetahuannya terbatas tatkala dibawa dan didiskusikan didalam kelas. Melalui interaksi model inilah kemudian egoisme intelektual seorang mahasiswa akan turun dan sikap kedewasaan akan terus tumbuh.

Bersamaan dengan itu, sosok mahasiswa juga sangat dekat dengan buku. Buku menjadi “makanan primer” bagi mahasiswa. Pasalnya, bukulah yang akan menyuplai “gizi” bagi otak mahasiswa dalam memperoleh pengetahuan dan mengerjakan tugas yang diberikan oleh dosen. Tanpa buku maka dapat dipastikan mahasiswa akan krisis pegetahuan atau wacana dalam menyampaikan gagasannya. Tanpa Buku mahasiswa tidak akan memiliki “energi” untuk beragumentasi dan menggerakkan tangannya untuk melahirkan sebuah tulisan. Lewat bukulah mahasiswa dapat berinteraksi dan berdialog “secara langsung” dengan tokoh-tokoh dunia.

Namun seiring berjalannya waktu, kelas dan buku seakan menjadi hal yang mulai “dijauhi” oleh mahasiswa. Mahasiswa seakan “ogah-ogahan” masuk keruang kelas. Kelas seakan bukan lagi menjadi tempat yang mereka “sukai” dan rindukan. Kelas seakan berubah wajah (bagi sebagian mahasiswa) menjadi ruang dimana segala “kengerian” bersemayam di dalamnya. Buktinya, mahasiswa sering kali tidak masuk kelas. Parahnya lagi, walaupun mereka masuk ke ruang kelas, yang masuk hanya “jasadnya” saja tapi hati dan pikirannya berada di tempat lain atau lebih sering berada di dalam ruang gadget. Gerakan tangannya bukan untuk mencatat keterangan dari dosen melainkan scroll gadget.

Beberapa indikasi bahwa kelas telah menjadi tempat yang kurang diminati atau bahkan mengerikan bagi mahasiswa dapat dilihat dari beberapa hal. Pertama, mahasiswa lebih asyik menghabiskan waktu di cafe ketimbang diruang kelas. Mahasiswa tidak betah berlama-lama di kelas namun saat di kantin mereka seakan kekurangan waktu.

Kedua, mahasiswa sering ketahuan Titip Absen (TA). Ketika mahasiswa sering TA maka secara tidak langsung menunjukkan bahwa mahasiswa kurang mencintai ruang kelas. Sebab, apabila mahasiswa mencintai ruang kelas atau pembelajaran di ruang kelas maka mahasiswa enggan untuk tidak datang ke ruang kelas. Ibarat seorang mahasiswa yang sangat mencintai seorang perempuan maka mahasiswa tersebut pasti akan selalu menemui pujaan hatinya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Sedangkan buku sendiri dikesampingkan oleh mahasiswa karena “minat baca” mahasiswa sudah tidak sebanding dengan “daya bacanya”. Bukti bahwa mahasiswa memiliki minat baca tinggi dapat dilihat dari aktivitas membaca mahasiswa dari bangun tidur sampai tidur lagi. Sejak bangun, mahasiswa sibuk membaca status media sosial temannya seperti facebook, IG dan twitter. Sedangkan indikasi bahwa “daya baca” mahasiswa menurun ialah dapat dilihat dari kemampuan mahasiswa dalam membaca buku dalam satu hari, dimana mahasiswa terkadang hanya mampu membaca satu dua halaman per hari bahkan tidak ada yang membaca buku sama sekali.

Bersaman dengan itu, waktu mahasiswa untuk membaca buku telah “dirampas” oleh aktivitas “ngopi” di café. Mahasiswa lebih banyak menghabiskan waktunya di cafe ketimbang dikos atau dikontrakan untuk membaca buku. Mahasiswa sangat betah berada di café sampai berjam-jam tanpa mengenal batas waktu. Ketika berada di café, mahasiswa tidak lagi menyentuh benda bernama buku. Mahasiswa lebih asyik “ngobrol” ngalur ngidul dengan teman-temannya sampai larut malam.

Bukti sahih bahwa café lebih kuat menarik perhatian mahasiswa ketimbang kelas dan buku ialah kondisi riil bangunan café yang semakin menjamur. Di Kota Malang saja, pertumbuhan toko buku dengan pertumbuhan café jauh lebih pesat café bahkan toko buku semakin sedikit dan sepi sementara café semakin bertambah di berbagai tempat dan semakin rame oleh mahasiswa. Café tidak pernah sepi dari mahasiswa kalaupun jumlah cafenya bertambah.

Lalu mengapa terjadi pergeseran perilaku mahasiswa? pertama, mahasiswa merasa lebih nyaman berada di cafe ketimbang di kelas karena mungkin kondisi dan situasi kelas sangat membosankan sehingga mahasiswa tidak mencintai materi yang disampaikan oleh dosennya. Sementara ketika di kantin mereka bisa melakukan apa yang mereka sukai. Kondisi ini menunjukkan bahwa dosen belum bisa membuat suasana kelas senyaman di café dan membuat mata kuliah yang diajarkan semenarik gadget.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Kedua, mahasiswa “zaman now” adalah mahasiswa yang tidak bisa didekati dengan cara-cara konvensional. Mendekati mereka harus masuk dari pintu mereka terlebih dahulu dan kemudian keluar dari pintu kita. Artinya, materi-materi yang akan disampaikan harus dihantarkan melalui hal-hal yang dialami langsung atau sedang digemari oleh mahasiswa. Dari isu-isu yang berasal dari apa yang sedang menjangkiti mahasiswa inilah kemudian dapat menggiring ke dalam materi yang harus disampaikan oleh mahasiswa. Dalam konteks ini, dibutuhkan kreatifitas dan inovasi dari seorang dosen.

Ketiga, singkat dan padat. Mahasiswa zaman now adalah mahasiswa yang tidak suka berlama-lama mendengarkan sesuatu. Mahasiswa zaman now butuh sesuatu yang cepat bahkan instan sehingga apabila mahasiswa saat berada di dalam kelas mendapatkan penjelasan yang “mbulet” maka ia akan bosan.

Keempat, budaya. Budaya kehidupan mahasiswa sekarang sudah berbeda jauh dengan mahasiswa di era sebelum 4.0. Jika mahasiswa sebelum era 4.0 rajin membaca buku dan sangat senang berada di dalam kelas untuk berdiskusi dengan dosen dan mahasiswa maka mahasiswa zaman now sudah “terjebak” pada kebiasaan yang bertolak belakang atau berlawanan. Mahasiswa sekarang menjadikan aktivitas kuliah sebagai “kegiatan sambil lalu” semata. Bagi mereka yang penting mendapatkan gelar sarjana sedangkan proses dan kualitas dikesampingkan. Dunia café jauh lebih mendominasi pola pikir dan pola sikapnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan, Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma) dan Penulis Buku Membedah Dinamika Kehidupan Mahasiswa.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES