Kopi TIMES

Nilai-nilai Kepahlawanan Inggit Garnasih

Rabu, 19 Februari 2020 - 00:09 | 248.14k
Dr. H. Harjoko Sangganagara, M.Pd, Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung. (Grafis: TIMES Indonesia)
Dr. H. Harjoko Sangganagara, M.Pd, Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Pada tanggal 17 Februari 2020, kita memperingati 132  tahun Inggit Garnasih . Pemerintah Kota Bandung membuat sebuah monolog musikalisasi monolog Inggit Garnasih. Sedangkan di Kabupaten Bandung, tempat di mana Inggit dilahirkan, belum nampak ada kegiatan yang diprakarsai oleh Pemkab maupun masyarakat. Saya mencoba mengenang Ibu Inggit dengan mengungkap kembali catatan saya.

Sebuah pesan pendek datang sebagai undangan untuk menghadiri syukuran pembuatan film tentang kisah hidup Ibu Inggit Garnasih, bertempat di Gedung Indonesia Menggugat Kota Bandung. Ini adalah sebuah upaya untuk menggalang dukungan bagi istri pertama presiden pertama Republik Indonesia, yang lebih dikenal dengan nama Ibu Inggit yang diusulkan masyarakat Jawa Barat menjadi pahlawan nasional. 

Sebelumnya sebuah seminar nasional menyimpulkan, bahwa Ibu Inggit besar jasanya bagi Negara ini, mengingat pengabdiannya mendampingi Bung Karno dalam perjuangan merebut kemerdekaan sehingga layak dijadikan sebagai pahlawan nasional.

Jauh-jauh hari sebelumnya Ramadhan K.H. membuat sebuah autobiografi Ibu Inggit berjudul Kuantar ke Gerbang; Kisah Cinta Inggit dengan Sukarno, yang ditulis dalam bentuk roman. Poeradisastra dalam sekapur sirih roman tersebut menulis amat provokatif : “Separuh daripada semua prestasi Sukarno dapat didepositokan atas rekening Inggit Garnasih dalam ‘Bank Jasa Nasional Indonesia’. 

Pernyataan Poeradisastra tersebut mungkin ada benarnya, karena Ibu Inggit berperan mendampingi Bung Karno sejak masih berstatus mahasiswa di THS (sekarang menjadi ITB), hingga dipenjara di Sukamiskin dan Banceuy, yang berlanjut ke pembuangan di Ende dan Bengkulu. 

Ketika saat Indonesia merdeka tiba dan Bung Karno menjadi presiden pertama, Ibu Inggit tidak lagi berada di samping orang yang dicintai dan dikaguminya. Perempuan perkasa itu memilih berpisah karena tidak bisa menerima kenyataan cintanya harus dibagi dengan Fatmawati, teman sekolah anak angkatnya. 

Indonesia harus memberikan penghargaan yang sepantasnya. Sebuah gelar bernama pahlawan nasional bahkan belum mampu membayar dedikasi dan pengorbanan yang diberikan Ibu Inggit bagi Bung Karno dan republik ini. 

Dedikasi dan pengorbanan Ibu Inggit merupakan nilai-nilai kepahlawanan yang semakin terasa bermakna di tengah kekacauan nilai hidup berbangsa dewasa ini di tengah pusaran arus globalisasi. Proses globalisasi mempengaruhi pada hampir keseluruhan arena kehidupan manusia terutama meliputi arena ekonomi, politik, dan budaya. Pada arena budaya mempengaruhi dimensi lanskap kepercayaan (sacriscape), lanskap etnik (etnoscape), lanskap ekonomi (econoscape), dan lanskap persantaian (leisurescape).

Globalisasi yang menimbulkan krisis multidimensional telah mampengaruhi perkembangan kepribadian manusia berupa krisis identitas dalam diri individu, kelompok dan masyarakat. Untuk mengatasi persoalan tersebut, maka diperlukan upaya-upaya pembinaan kepribadian yang merupakan pemberdayaan diri dalam menghadapi persoalan-persoalan yang muncul akibat globalisasi.

Bangsa Indonesia harus mempunyai identitas diri yang kuat dan memiliki antisipasi terhadap perubahan-perubahan yang akan terjadi.Tokoh Ibu Inggit dengan nilai-nilai kepahlawanannya merupakan karakter yang kuat yang mampu memelihara dan berpegang pada nilai-nilai yang diyakininya benar, sehingga pantas dijadikan rujukan nilai bagi bangsa Indonesia khususnya dalam kaitannya dengan nasionalisme.

Ibu Inggit adalah manusia yang mengesampingkan kepentingan pribadinya untuk kepentingan bersama yang lebih besar. Ia tidak ditakdirkan untuk memasuki Istana Merdeka bersama Bung Karno. Ia membela Bung Karno yang dituduh menulis surat bernada minta ampun pada Jendral Verheyen dan mengatakan “itu mah pamali, itu mah mustahil”. 

Inggit Garnasih memaafkan Fatmawati yang dianggapnya sebagai anak. Ia setia menjalani hari tuanya dengan berjualan bedak buatan sendiri. Ia memaafkan Bung Karno yang ketika masih sebagai mahasiswa disapanya dengan panggilan Kusno. (*)

***

*) Dr. H. Harjoko Sangganagara, M.Pd, Ketua DPC PDI Perjuangan Kabupaten Bandung.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES