Kopi TIMES

Menakar Kekuatan Hoaks di Pilkada Serentak 2020

Rabu, 19 Februari 2020 - 05:18 | 89.32k
Silvanus Alvin, S. I. Kom, MA. (Grafis: TIMES Indonesia)
Silvanus Alvin, S. I. Kom, MA. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tahun 2020 tidak akan menjadi tahun yang menjemukan. Tahun ini akan dihiasi oleh pelaksanaan pilkada serentak di 270 daerah pada 23 September mendatang. Secara garis besar, pilkada serentak akan dilangsungkan di sembilan provinsi, yakni Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimatan Utara, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Tengah.

Masyarakat dengan hak pilih dapat menggunakan suaranya untuk memilih sembilan gubernur, 224 bupati, serta 37 walikota.

Ada kekhawatiran bahwa ‘hantu’ hoaks akan menggentayangi pelaksanaan pilkada serentak. Sebab, dalam setiap pertarungan politik tidak akan lepas dari usaha untuk mendiskreditkan lawan politik. Terdapat dua tata cara, yaitu melakukan kampanye negatif atau melakukan kampanye hitam.

Kampanye negatif menampilkan beragam kelemahan lawan politik. Dengan demikian, strategi ini sah-sah saja dilakukan kandidat yang sedang partisipasi dalam kontestasi politik. Karakterisitik utama dari kampanye negatif adalah pengungkapan kekurangan lawan politik yang berdasarkan fakta dan menyasar pada ketidakefektifan kebijakan-kebijakan maupun solusi-solusi yang ditawarkan oleh lawan politik.

Sementara itu, kampanye hitam lebih sering disebut sebagai hoaks, karena semua informasi tidak berasal dari fakta dan hanyalah manipulasi belaka. Tentunya, penerapan kampanye hitam ini dilarang karena dapat merusak dan berdampak langsung pada iklim politik.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfor) mencatat terdapat 1,731 hoaks dalam rentang waktu Agustus 2018 hingga April 2019. Bahkan, produksi hoaks begitu melonjak ketika mendekati waktu pemungutan suara. Masih menurut Kominfo, khusus April 2019, terdapat 486 hoaks. 

Nah, permasalahan sekarang, bagaimana dengan potensi hoaks pada pilkada serentak 2020 ini?

Hoaks secara umum akan tetap menghantui pilkada 2020, hanya saja kekuatan dari hoaks tersebut tidak akan sehebat seperti pada pemilihan presiden dan wakil presiden 2019. 

Terdapat dua alasan hoaks di pilkada serentak tidak akan memberikan dampak buruk yang signifikan. Pertama, faktor proximity atau kedekatan lokasi. Masyarakat hanya akan menaruh perhatian pada kejadian yang dekat secara geografis dan emosional dengan diri mereka. Dengan demikian, hoaks yang terjadi hanya bersifat lokal, khusus di wilayah yang melaksanakan pilkada saja. Hoaks yang muncul nanti akan terisolir di daerah tertentu saja.  

Alasan kedua, masyarakat yang memiliki hak pilih dalam pilkada serentak 2020 pasti terpecah fokus, karena terdapat beberapa kandidat yang harus mereka pilih pada akhirnya. Berbeda dengan pilpres 2019, hanya ada dua pasangan calon sehingga memudahkan hoaks untuk membuat polarisasi di kalangan masyarakat. Kuat atau tidaknya sebuah hoaks tergantung dari seberapa fokus dan percaya masyarakat.

Meski demikian, patut menjadi atensi bagi pemangku kepentingan untuk mengantisipasi hoaks di pilkada serentak. Dari analisa di atas,  hoaks di pilkada serentak kurang berdampak besar, tapi jangan sampai hoaks diberi ruang untuk berkembang.

Minimnya kekuatan pers di daerah dapat menjadi kesempatan bagi hoaks untuk membiak sedemikian rupa. Tidak dapat dipungkiri bahwa pers nasional berpusat di DKI Jakarta. Sementara, Berita-berita daerah biasanya diserahkan kepada wartawan kontributor. Bahkan, umumnya tiap provinsi hanya memiliki tiga atau empat wartawan. Jumlah itu minim untuk melakukan fact checking atau cek fakta sebagai bentuk antisipasi terhadap hoaks.

Selain itu, media sosial menjadi lahan subur bagi hoaks. Tipikal orang Indonesia menyukai tiga jenis media sosial, yaitu Facebook, Twitter, dan Instagram. Dengan demikian, ketiga media sosial tersebut perlu mendapat perhatian khusus. Salah satu cara misalnya Bawaslu merangkul Kominfo agar diperbolehkan untuk menggunakan Mesin Pengais Konten Negatif (AIS). Bila pengawasan kuat, lalu diikuti dengan penindakan tegas dari aparat penegak hukum, bisa dipastikan hoaks tidak memiliki kesempatan untuk tumbuh.

Hingga pencoblosan pilkada serentak, masih ada  waktu yang bisa dimanfaatkan dengan cara memberikan literasi media dan literasi politik terhadap pemegang hak suara. Rentang enam bulan ini bisa dimanfaatkan oleh KPU, Bawaslu, dan lembaga-lembaga pemerhati pemilu lainnya untuk literasi tersebut.....Mari bersama-sama perangi hoaks! (*)

***

*) Penulis Silvanus Alvin, S. I. Kom, MA, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Bunda Mulia

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES