Kopi TIMES

Meluruskan Logika Hukum Dalam Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja

Senin, 17 Februari 2020 - 15:22 | 229.62k
Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H.
Dr. H. Ahmad Siboy., S.H., M.H.

TIMESINDONESIA, MALANGOmnibus law terus menjadi perbincangan yang hangat. Berbagai tulisan dan teori atas gagasan hukum mengenai omnibus law telah tersaji baik secara on line maupun cetak. Berbagai peraturan perundang-undangan seakan diarahkan untuk di omnibus law kan.

Diantara peraturan perundang-undangan yang paling banyak disorot terkait omnibus law adalah UU tentang cipta lapangan kerja.

Walaupun tujuan omnibus law UU Cipta lapangan kerja namun bukan berarti pembentukan UU Cipta Lapangan Kerja tidak boleh menabrak ketentuan yang hidup dalam ilmu hukum. Yakni, landasan filosofi, teori dan dogma hukum. Ketentuan yang hidup  dalam ilmu hukum tidak boleh dikesampingkan karena negara Indonesia merupakan negara hukum dan sebagai negara hukum tentu memaksa segala sesuatunya tunduk kepada logika hukum.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sayangnya, dalam draf omnibus law mengenai cipta lapangan kerja terdapat ketentuan/pasal yang “menyesatkan” mekanisme kerja logika sistem hukum. Logika sesat tersebut terdapat pada ketentuan pasal 170 yang menyatakan:

1). Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan Undang-Undang ini Pemerintah Pusat berwenang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam Undang-Undang yang tidak diubah dalam Undang-Undang ini.

2). Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah," demikian bunyi pasal 170 ayat 2.

3). Dalam rangka penetapan Peraturan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Pemerintah Pusat dapat berkonsultasi dengan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

Pasal tersebut tentu merupakan kontruksi hukum yang jelas sulit diterima dalam logika hukum. Pertama, pasal 170 memberikan kewenangan kepada Presiden untuk mengganti/mengubah ketentuan undang-undang melalui Peraturan Pemerintah (PP). Hal ini jelas bertentangan dengan hukum yang berlaku (ius contituentum) dimana penggantian undang atau perubahan undang-undang hanya dapat dilakukan melalui mekanisme perubahan undang-undang oleh pembentuknya sendiri atau melalui mekansime contitutional review ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan apabila dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa maka dapat dilakukan melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang diterbitkan oleh Presiden bukan melalui PP walaupunn sama-sama diterbitkan oleh Presiden.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kedua, Peraturan Pemerintah merupakan peraturan delegasi. Menurut Moh. Fadli, peraturan delegasi adalah peraturan yang berfungsi sebagai peraturan pelaksana. Dalam sistem peraturan perundang-undangan di Indonesia, peraturan delegasi ialah dari PP kebawah. Artinya, PP diterbitkan oleh Presiden hanya dalam rangka untuk melaksnakanakan Undang-undang sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 UUD NRI Tahun 1945.  PP tidak dapat menambah/mengurangi isi atau ketentuan dalam undang-undang.

Ketiga, Pembentuk. Lembaga pembentuk antara UU dan PP berbeda. UU dibentuk atas dasar persetujuan bersama antara lembaga legislatif (DPR) dan lembaga eksekutif (Presiden). Suatu rancangan undang-undang tidak dapat menjadi undang-undang apabila tidak mendapatkan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden. Sedangkan PP merupakan hak atau hanya diterbitkan oleh Presiden. Logikanya menjadi sesat kemudian apabiila  produk legislasi dari dua lembaga negara kemudian dirubah oleh satu lembaga negara. Semisal, Presiden dapat saja “dengan terpaksa” memberikan persetujuan atas suatu ketentuan dalam UU kemudian setelah UU tersebut disahkan maka Presiden dapat mengganti dengan “se enaknya” ketentuan tersebut melalui PP yang penerbitannya tidakk membutuhkan persetujuan DPR.

Keempat, lembaga penguji. Lembaga pengujii juga harus dijadikan pijakan dalam memberikan kewenangan kepada Presiden. UU merupakan produk legislasi yang pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C UUD NRI Tahun 1945) sedangkan PP diuji kepada Mahkamah Agung (Pasal 24 A UUD NRI Tahun 1945). Artinya, ketika warga negara dirugikan oleh UU omnibus Law tentang cipta lapangan kerja maka ia akan mengajukan ke Mahkamah Konstitusi bukan kepada Mahkamah Agung.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kelima. Kewenangan. Alasan kewenangan dijadikan sebagai tameng argumentasi oleh pendukung gagasan tentang berwenangnya Presiden merubah isi/ketentuan UU dengan PP dalam UU cipta lapangan kerja. Kewenangan dalam hukum administrasi negara menduduki posisi yang sangat strategis. Artinya, penyelenggara negara atau administrator Negara tidak boleh melakukan suatu aktivitas/perbuatan hukum tanpa adanya kewenangan (no authority without responsibility). Dan kewenangan melekat dalam sebuah jabatan. Presiden memang sebuah jabatan yang didalamnya terdapat kewenangan. Namun, setiap kewenangan yang dimiliki penyelenggara negara memiliki batasan. Kewenangan seorang Presiden juga terbatas walaupun Presiden adalah kepala Negara dan kepala pemerintahan. Pembatasan atas kewenangan Presiden diatur dalam konstitusi dan undang-undang. Oleh karenanya, seorang Presiden tidak boleh melakukan sesuatu yang melampaui kewenangan yang telah diatur oleh konstitusi termasuk dalam hal ini adalah mengubah isi/ketentuan UU dengan PP.

Apabila Presiden melakukan suatu aktivitas atau mengeluarkan kebijakan dan keputusan melampaui kewenangan yang diberikan secara atribusi oleh UUD dan undang-undang maka Presiden dapat dikatan melakukan penyelewenangan kewenangan atau abuse of power. Yang perlu diingat, Presiden dalam sumpah jabatannya berjanji untuk patuh kepada UUD dan segala peraturan perundang-undangan yang berlaku. Artinya, Presiden “hanya” tunduk dan melaksanakan perintah hukum.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bersaman dengan itu, upaya untuk melegalkan tindakan Presiden untuk mengubah isi/ketentuan UU melalui PP merupakan upaya yang juga tidak dapat diterima sebagai pemberian kewenangan kepada Presiden. Kewenangan Presiden juga dapat bersumber dari Undang-undang. Namun masalahnya, kewenangan Presiden Untuk mengubah isi undang-undang melalui PP tersebut bertentangan dengan kewenangan Presiden yang diberikan oleh konstitusi. Walaupun kewenangan yang bersumber dari Undang-Undang Dasar dan undang-undang dapat dikatakan sebagai sumber kewenangan secara atribusi namun dalam hal ini, kewenangan yang bersumber dari Konstitusi kedudukannya lebih tinggi.

Akhirnya,  ketentuan dalam pasal 170 RUU omnibus Law tentang Cipta Lapangan Kerja tersebut tidak dapat dipaksakan dengan alasan apapun. Kalaupun DPR bersama DPR “ngotot” untuk mempertahankan ketentuan pasal 170 maka dapat dipastikan ketentuan tersebut akan dibatalkan oleh MK melalui mekanisme constitutional review. Lebih baik, ketentuan Pasal tersebut dihapus sebelum diisetujui menjadi undang-undang.***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES