Kopi TIMES

Cettar Jatim, Cettar Bu Khofifah; Apa Kabarnya Kini?

Selasa, 18 Februari 2020 - 14:36 | 207.25k
Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Sosial Research, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.
Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Sosial Research, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo.

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGO – Cettar cettar cettar! Apa khabar Ibu Gubernur Jawa Timur? 

Publik ingat. Pasca pelantikan (13/02/2019) pasangan Gubernur terpilih Pemerintahan Provinsi (Pemprov Jatim) Dra. Hj. Khofifah Indar Parawansa, M.Si dan Dr. Emil Elestianto Dardak, M.Sc langsung tanjap gas bekerja. 

Bekerja menjalankan program Nawa Bhakti Satya dalam 99 hari kerja pertamanya. 

Pilihan 99, bukan 100 hari pertama identik dengan asmaul husna (nama-nama terbaik). Menginsyaratkan dimensi relegius menjadi perhatian. 

Hari kerja pertama Nawa Bhakti Satya –yang bertujuan membawa Jatim lebih sejahtera dan makmur– itu diperas menjadi konsep “cettar”. Cettar akronim dari cepat, efektif dan efesien, tanggap dan transparansi serta responsif. Di berbagai forum, konsep cettar berulang kali disampaikan secara terbuka oleh Gubernur. 

Lantas, bagaimana penyesuaian dan budaya kerja birokrasi atau para Aratur Sipil Negara (ASN) atas kepemimpinan Gubernur Khofifah? 

Pemprov Jatim bersama Gubernur Khofifah sudah berjalan satu tahun. Seharusnya “cettar cettar cettar”, membahana di semua sektor pembangunan. Mengikuti lagam irama Gubernur. 

Seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN), Organisasi Perangkat Daerah (OPD) atau dulu terkenal dengan istilah satuan kerja (satker) memberikan layanan cepat apabila ada masalah yang dihadapi rakyat. Dilaksanakan secara efektif dan efesien dan tanpa pemborosan. Tanggap terhadap kebutuhan rakyat dengan memberikan respons cepat menuju kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Jatim. Itulah harapan publik Jatim. 

Namun hingga satu tahun berjalan –cettar-cettar-cettar–  gaungnya hanya terasa dalam bidang bidang pendidikan dan kesehatan. 

Di bidang pendidikan, Gubernur merealisasikan janji pendidikan gratis berkualitas (Tis Tas) –mulai tahun pelajaran Juli 2019- untuk jenjang SMA/SMK. 

Besaran biaya pendidikan antardaerah berbeda. Bergantung pada indeks daerah kab/kota masing-masing. Pemprov Jatim mengalokasikan anggaran sekitar Rp 1,8 triliun untuk Biaya Penunjang Operasional Penyelenggaran Pendidikan (BPOPP) seluruh sekolah SMA/SMK negeri dan swasta di Jatim. 

Tak pelak kebijakan “Tis Tas” melalui BPOPP ini disambut suka cita oleh masyarakat Jatim. Muncul pula penguatan program unggulan dalam pendidikan, yaitu SMA “double track” yang diikuti lebih dari 150 sekolah.

SMA “double track” semakin sukses. Di lingkungan pendidikan Jatim istilah SMA dobuble track menjadi viral. Bertambah kokoh dengan alokasi anggaran pendidikan 30 persen bahkan lebih dari total APBD Jatim. 

Demikian pula bidang kesehatan. Di Jatim telah menunjukkan gegap-gempita bermacam inovasi kesehatan dari berbagai daerah bermunculan. Rumah sakit mulai menerapkan inovasi layanan telemedicine yang cerdas dan sehat. Serempak pula mengatasi persoalan stunting dan pentingnya gizi ibu hamil. Itu semua berkat sentuhan manis tangan Gubernur. 

Namun secara keseluruhan bidang pembangunan di Jatim belum menunjukkan ‘greget’ seperti bidang pendidikan dan kesehatan. Persoalan ini dapat dianalisis, diantaranya jajaran birokrasi Pemprov Jatim –diakui atau tidak– kinerjanya masih terkooptasi gaya lama atau dengan kata lain OPD belum sepenuh hati seirama dengan Gubernur.

Konsep “cettar” sebagai roh –nawa bhakti satya– yang dipopulerkan Gubernur itu hingga kini pun belum menemukan panggung yang pas. 

Beberapa media meliput gebrakan cettar setiap perkembangan dari hari ke hari. Itu semua mengingatkan akan janji-janji politik. Pemenuhan janji politik yang terlanjur populer dengan istilah “Nawa Bhakti Satya” sejauh ini seolah tidak secetar membahananya artis ibu kota.

Sejak awal, media ini (Timesindonesia.co.id) meriah meliput aktivitas Gubernur. Penulis, sehari setelah pelantikan juga menulis “Tantangan Gubernur Baru Jawa Timur” (Timesindonesia, Kamis, 14 Februari 2019-13.48). 

Salah satu yang menjadi sorotan adalah beberapa jam sebelum pelantikan Gubernur, berlaku Peraturan Gubernur (Pergub) tentang remunerasi (payment). Keputusan Gubernur lama yang dieksekusi pada saat –injury time– seolah “kado terakhir” bagi pegawai (ASN). Keputusan yang sangat menggembirakan ASN sekaligus “beban anggaran” bagi Gubernur Baru. 

Itulah sebabnya penulis –waktu itu– memandang penting moratorium kebijakan remunerasi di laksanakan. Besarnya tunjangan (remunerasi) belum tentu berbanding lurus dengan kualitas kinerja.   
Gebrakan kepemimpinan Khofifah sesungguhnya jelas membersitkan harapan baru pada semua bidang pembangunan. Setidaknya Jatim bisa mencuat sebagai prototype provinsi ideal di Indonesia. Seperti slogan “selalu terdepan”. Terdepan dalam hal meningkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. 

Janji-janji politik bakal mewujud, tentu apabila semua personalia (OPD) dari atas sampai bawah, satu visi “meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat” bersama Gubernur. Kerja yang solid, terhubung dan bersinergi dengan para stakeholder atau pihak-pihak yang berkepentingan langsung kepada pemenuhan kebutuhan rakyat. Baik dari basis konstituen (rakyat pemilih) maupun rakyat jatim pada umumnya. 

Berdasarkan regulasi, mutasi (restrukturalisasi) baru dilaksanakan setelah enam bulan menjabat. Desember 2019 restrukturasi “kabinet” OPD pun mulai bergulir. Ada 20 pejabat baru (kepala OPD), berdasarkan Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor 821.2/6315/204/2019 dilantik di Gedung Negara Grahadi Surabaya (13/12/2019). Pejabat itu terdiri dari beberapa Direktur Rumah Sakit, Kepala Dinas, Kepala Badan, Kepala Biro, Asisten dan sekretaris DPRD. 

Perombakan terus berlanjut pada 13 pejabat eselon II (7/2/2020) dan sebelumnya 27 pejabat eselon III dan IV berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jatim nomor 821.2/6681/204/2019 dan 821.2/6682/204/2019, juga dilantik oleh pejabat di tingkat atasnya, yaitu Sekretaris Daerah (31/12/2019). 

Memperhatikan susunan para pejabat yang dilantik, kesempatan diamanahkan kepada pejabat karier dan profesional. Bervisi-misi yang sejalan dengan (kebijakan) membangun Jatim. 

Kelihatannya pada bulan ini (Pebruari) akan terus terjadi promosi, demosi dan mutasi. Pada umumnya, secara normatif promosi dan mutasi diperlukan untuk penyegaran kinerja organisasi (OPD). Namun restrukturalisasi juga tidak lepas dari kepentingan politik. Selain momentum pentingnya penyegaran pejabat baru, juga memastikan kinerja yang dapat diandalkan membangun Jatim. 

Menyongong dua tahun berjalan, menunggu pula jalannya program pemberdayaan dan pengembangan desa (desa tertinggal, berkembang, maju dan mandiri). Khususnya desa tertinggal yang masih terpinggirkan.

Selain itu, pilar ke 7 Nawa Bhakti Satya, yaitu Jatim berdaya, dengan peningkatan kesejahteraan berbasis pesantren, dilaksanakan One Pesantren One Product (OPOP). 

OPOP  seharusnya benar-benar berorientasi dan dikembangkan demi kemandirian rakyat secara luas. Bukan seolah OPOP menggarap sisi kewirausahaan pesantren dan masyarakat sekitarnya pada level olahan rumah tangga yang setiap tahun harus dipamerkan dalam gelaran expo sebagai bukti keberhasilannya.  

Cettar-Cettar-Cettar, bukan AIS (asal ibu senang), namun kerja yang berbasis data. Semoga masuk tahun ke dua jalannya pemerintahan Jatim, peningkatan dan kemakmuran rakyat semakin menunjukkan progress yang nyata pada track jalan yang benar!. (*)
   
*) Penulis, Didik P Wicaksono. Aktivis di Community of Critical Sosial Research, Universitas Nurul Jadid (UNUJA) Paiton Probolinggo. Peneliti di Lembaga Pengkajian dan Pendampingan Pemberdayaan Desa dan Pesantren (LP3DP).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES