Kopi TIMES

Berandai Tentang Penerapan Augmented Democracy di Indonesia

Senin, 17 Februari 2020 - 22:40 | 76.60k
Silvanus Alvin, Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bunda Mulia.
Silvanus Alvin, Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bunda Mulia.

TIMESINDONESIA, BANTEN – Masih ingatkah kandidat legislatif, entah DPR atau DPRD atau DPD, yang Anda coblos pada April 2019 lalu? Apakah mereka lolos ke Senayan?

Silakan renungkan dua pertanyaan itu terlebih dahulu sebelum lanjut membaca tulisan ini. 

Dua pertanyaan tersebut pernah saya lontarkan dalam ruang perkuliahan. Niat hati mengajak diskusi para mahasiswa yang hadir dalam kelas tersebut. Jawabannya mengejutkan. Beberapa mahasiswa menjawab sudah lupa siapa yang mereka pilih, ada yang merespon mereka memilih dengan asal, dan ada pula yang dengan frontal mengatakan tidak peduli apakah kandidat yang mereka coblos menang atau tidak.

Hanya ada sejumlah mahasiswa yang mengetahui detail, bahwa kandidat yang mereka pilih memenuhi parlementary threshold dan melanggeng menjadi wakil rakyat.

Bagi mereka yang mengetahui, saya lontarkan kembali sebuah pertanyaan lanjutan: Apakah Anda tahu cara berkomunikasi dengan mereka?

Semua menggelengkan kepala, termasuk juga mahasiswa lainnya di ruang kelas yang saya ajar.

Situasi di atas hanyalah salah satu cuplikan, tidak bisa menggenaralisasikan keseluruhan mahasiswa. Namun, kita bisa memahami bahwa mahasiswa yang notabene berasal dari Generasi Z atau mereka yang lahir dalam rentang 1995 hingga 2010, punya kesulitan berkomunikasi dengan anggota dewan terpilih.

Salah satu tugas utama dari anggota dewan terpilih adalah menyuarakan aspirasi rakyat. Dengan demikian, anggota dewan wajib tahu aspirasi rakyat itu seperti apa. Cara mengetahuinya ya tentu berkomunikasi dengan para konstituennya untuk menampung aspirasi itu.

Aspirasi konstituen ini penting karena itulah landasan utama dari demokrasi. Demokrasi yang sehat akan terjadi bilamana ada partisipasi masyarakat, demi menghindari disconnected electoral. Bila tidak demikian, maka patut ditanyakan aspirasi siapa yang anggota dewan selama ini perjuangkan?!

Di era saat ini, para anggota dewan terpilih mesti berbenah dalam komunikasi politiknya. Mereka harus memanfaatkan kekuatan artificial intelligence (AI) sebagai sarana untuk menyerap aspirasi rakyat. Hal ini perlu dilakukan agar tiap tindakan mereka, maupun perjuangan politik yang dilakukan punya dasar kuat. 

Professor kehormatan dari Universitas Manchester, Cesar Hidalgo memperkenalkan konsep Augmented Democracy pada penghujung 2019 lalu. Menurut dia, Augmented Democracy adalah masa depan perpolitikkan dunia di mana setiap individu memiliki digital twins atau kembaran digital. 

Kembaran digital ini nantinya merekam data-data dan kemudian melakukan proses pengolahan data untuk menghasilkan sebuah keputusan spesifik. Tanpa disadari, setiap dari kita telah bersinggungan dengan kembaran digital ini, hanya saja memang belum dimanfaatkan untuk politik.

Salah satu contoh adalah Youtube. Perhatikan halaman utama Youtube di masing-masing ponsel pintar Anda. Pasti tiap halaman, menampilkan konten yang berbeda-beda. Bagi yang suka memasak, maka konten-konten yang muncul ialah tips memasak. Sementara, bagi yang suka olahraga maka konten dengan genre olahraga yang akan tampil.

Bila dikaitkan untuk kebutuhan politik, menurut Hidalgo, penerapan Augmented Democracy ini memungkinkan tiap orang bersikap atas sebuah kebijakan, apakah mereka lebih condong ke arah pro atau kontra. Bahkan mereka yang sebelumnya termasuk golongan putih pun bisa ketahuan preferensi politiknya.

Lebih lanjut, bila sikap mereka bersedia ditunjukkan secara umum kepada publik, maka anggota dewan bisa mengakses. Dengan demikian, ada data yang jelas yang bisa dipakai oleh anggota dewan. 

Seandainya nanti Indonesia menerapkan Augmented Democracy, saya percaya sistem ini dapat meminimalisir kebijakan-kebijakan kontroversial yang dapat menganggu stabilitas negara.

Selain itu, anggota dewan pun jadi tidak bisa sembarangan dalam membuat sebuah kebijakan, karena tiap kebijakan bisa direfleksikan dulu dari data Augmented Democracy. 

Mari ambil contoh Omnibus Law RUU Cipta Kerja yang menimbulkan riak-riak di kalangan masyarakat. Bila Augmented Democracy sudah diberlakukan, maka akan ketahuan rakyat lebih condong ke arah pro atau kontra. Jika rakyat kontra terhadap RUU tersebut, dan anggota dewan masih memperjuangkannya maka aka nada implikasi dari publik. Implikasi bisa berupa sanksi politik, bisa saja anggota dewan itu tidak dipilih lagi. 

Meski demikian, ada dua hal krusial yang harus dipersiapkan sebelum mengimplementasikan Augmented Democracy di Indonesia. Pertama, literasi poliitk yang mumpuni dari tiap individu. Kedewasaan politik dibutuhkan agar jangan sampai Augmented Democracy malah melahirkan the false majority.

Artinya, suara orang yang memikirkan dengan matang malah tertutup dengan mayoritas orang-orang yang belum paham poliitk. Kedua, pentingnya kesiapan pemerintah dalam menyediakan sistem Augmented Democracy serta sosialisasi bagi 260 juta penduduk Indonesia.

Indonesia butuh penerapan Augmented Democracy, agar anggota dewan tidak bisa seenaknya lagi bertindak dan berujar dengan mengatasnamakan rakyat tanpa dasar data yang kuat. Dari, oleh, dan untuk rakyat, seperti yang diucapkan Presiden Amerika Abraham Lincoln, akan benar-benar terwujud manakala Augmented Democracy diberlakukan.

***

*)Penulis: Silvanus Alvin, Dosen Ilmu Komunikasi di Universitas Bunda Mulia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES