Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Mengusik Spirit Toleransi Beragama

Senin, 17 Februari 2020 - 15:51 | 73.42k
Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).
Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Spirit toleransi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara mulai “memanas” lagi. Hal ini bermula dari penolakan atas renovasi Gereja Katolik Paroki Santo Joseph di Karimun Kepulaua Riau. Kasus penolakan ini sampai memaksa Presiden memberikan perhatian khusus dan mengutus Menkopulhukam dan Kapolri untuk segera turun tangan.

Sikap Jokowi yang turun tangan atas kasus yang terjadi di Karimun tersebut bukanlah sikap berlebihan walaupun kasusnya “hanya” pada level daerah. Sikap Jokowi dapat dibenarkan karena dua hal. Pertama, walaupun penolakan tersebut hanya terjadi di satu daerah di Indonesia namun hal hal itu berpotensi terjadi di daerah-daerah lain dikemudian hari. Sebab, kasus sengketa antar ummat beragama dalam hal pembangunan tempat Ibadah tidak hanya terjadi pada saat ini saja melainkan juga pernah terjadi di daerah-daerah lain sebelumnya. Artinya, apabila kasus di Karimun tersebut tidak segera diredam maka berpotensi akan menghidupkan luka lama terkait sengketa atas nama pembangunan tempat ibadah.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Kedua, walaupun hal tersebut hanya terjadi di satu daerah (hanya di Karimun Kepri) namun hal tersebut sangat berpotensi menjadi skala nasional. Kejadian di Gereja Katolik Paroki Santo Joseph dapat dibaratkan sebagai deretan bangunan suatu perumahan. Yakni, apabila ada suatu rumah yang kebakaran maka kebakarannya akan menghanguskan rumah yang lain apabila tidak dipadamkan sebelum menyebar.

Jauh dari itu, apa yang terjadi di Karimun setidaknya menguak beberapa fakta. Pertama, kehidupan antara ummat beragama di Indonesia masih belum berada dalam hubungan yang aman. Artinya, sikap toleransi antar ummat beragama masih sangat mudah retak. Padahal, apabila spirit toleransi antar ummat beragama sudah berada pada level yang matang atau dewasa maka konflik atas nama perbedaan agama tidak akan pernah tersulut.

Warga negara yang sudah dewasa dalam hal beragama tentu dapat menghormati perbedaan agama yang ada disekitar mereka. Setiap warga negara tidak akan memaksakan agama yang diyakininya untuk juga diyakini oleh orang lain. Warga negara yang sudah dewasa dalam beragama akan sadar betul bahwa tidak boleh terdapat paksaan di dalam beragama (laikrohe fiiddin). Konstitusi sendiri hanya mewajibkan untuk memiliki agama namun tidak memaksakan untuk berada dalam satu agama. Setiap warga negara diberi kebebasan untuk memeluk agama dan kepercayaan masing-masing (Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Bagi warga negara yang sudah dewasa dalam beragama maka tidak akan menjadikan perbedaan sebagai sekat antar ummat beragama. Perbedaan akan dimaknai sebagai cara atau pilihan dari masing-masing individu manusia untuk mengenal sang pencipta dan sebagai jalan menuju surga. Perjalanan hidup ummat beragama dalam menuju surga dapat digambarkan dari perjalanan orang yang menuju tempat tertentu. Bayangkan saja, ada 6 orang yang memiliki tujuan ke Jakarta. Jalan dan armada transportasi dari 6 orang tersebut untuk sampai ke Jakarta tidak harus sama. Satu orang bisa saja naik pesawat, satu orang naik kereta, satu orang lagi dari bus, satu orang lagi naik travel, satu orang lagi naik motor. Suatu tujuan yang sama dapat dicapai dengan cara berbeda. Oleh karenanya pemaksaan untuk sama dalam satu agama adalah pemaksaan yang tidak menghargai toleransi beragama.

Yang terpenting dalam mencapai tujuan tersebut ialah bagaimana antara agama yang satu dengan yang lainnya tidak saling mengganggu apalagi menyakiti diantara satu sama lain. Kalau semangat saling mengganggu satu sama lain yang diterapkan maka tujuan tersebut tidak akan pernah tercapai, yang ada adalah kecelakaan bersama atau kegagalan bersama. Tujuan surga atau kebahagian di akhirat tidak akan pernah tercapai kalau para pemeluk agama masih saling “memupukul” bukan “merangkul” satu sama lain. Semua agama mengajarkan perdamaian bukan permusuhan.  

Diakui atau tidak, spirit toleransi antar ummat beragama terus terusik karna ada beberapa hal yang datang secara tidak sengaja dan disengaja. Hal-hal yang tidak disengaja ialah kondisi obyektif pendidikan ummat beragama. Masih banyak pendidikan ummat beragama di Indonesia yang masih berada pada level yang belum mumpuni. Kondisi pendidikan ummat beragama yang belum mumpuni ini tentu sangat mempengaruhi pola pikir dan pola sikap mereka didalam beragama. Pola pikir dan pola sikap tersebut terutama berkaitan dengan kesadaran mereka untuk menerima perbedaan dan spirit membangun kerjasama meski berbeda keyakinan.

Tentu saja, faktor pendidkan tidak serta merta dapat dijadikan sebagai “tersangka” atas rendahnya spirit toleransi antar ummat bergama. Sebab, banyak pula masyarakat yang spirit toleransinya dalam perbedaan beragama masih kuat walaupun pendidikannya tidak tinggi. Parameter pendidikan dijadikan sebagai salah satu alat ukur atas rendahnya spirit toleransi bergama karena seseorang yang pendidikannya baik atau tinggi maka tentu diharapkan memiliki pola berpikir yang open minded. Apalagi saat berada di dunia pendidikan sudah terbiasa bergaul dengan orang yang berbeda agama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Faktor selanjutnya adalah terkait dengan keadilan. Seringkali konflik antar ummat beragama di suatu daerah juga didasari oleh faktor keadilan khususnya mengenai kesenjangan. Sekelompok kecil ummat beragama yang kebetulan berada dalam kondisi ekonomi yang lebih rendah cenderung “mencurigai” orang lain yang ekonominya lebih maju yang kebetulan berbeda agama.

Pada sisi lain, toleransi beragama terusik karena faktor kesengajaan ialah berkaitan dengan kontestasi politik. Dalam Pilkada misalnya, isu agama digiring dan digoreng dalam masa kampanye. Tujuannya untuk menghancurkan calon yang kebetulan berasal dari agama minoritas. Panasnya Pilgub DKI tahun 2017 kemarin merupakan salah satu fakta yang tidak dapat dielakkan bagaimana isu agama dibawa kedalam pertarungan kekuasaan elit politik tanpa memikirkan luka atas toleransi kehidupan beragama yang ditimbulkan. Tolernasi beragama digadaikan bakan dikorbankan demi kekuasaan.

Kedepan, gesekan atas nama perbedaan agama harus segera diakhiri. Gesekan antar ummat beragama merupakan gesekan yang dapat memporak porandakan prinsip-prinsip kehidupan dan berbangsa yang dilandaskan kepada prinsip Pancasila, Bhineka Tunggal Eka, NKRI, dan UUD NRI Tahun 1945.

Prinsip-prinsip kehidupan berbangsa tersebut sebenarnya selaras dengan prinisp dalam agama. Agama Islam misalnya, mengajarkan prinsip rahmatan lil alamin, yang berarti bahwa agama islam hadir dalam rangka untuk memberikan rahmat di muka bumi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

*)Penulis: Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES