Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Menyoal Kontroversi Relasi Agama dan Pancasila

Senin, 17 Februari 2020 - 09:41 | 173.27k
Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).
Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Perdebatan mengenai Pancasila kembali “memanas” beberapa hari terakhir. Perdebatan ini bermula dari pernyataan kepala BPIP yang baru. Kepala BPIP atau Prof. Yudian Wahyudi “dituding” mengeluarkan pernyataan yang dianggap tidak sesuain dengan subtansi Pancasila dan sejarah lahirnya Pancasila.

Pernyataan “kontroversial” tersebut ialah mengenai hubungan Pancasila dan Agama. Dalam pemberitaan yang berkembang di masyarakat khsususya media sosial ialah mengenai pernyataan Prof. Yudian yang seakan menyatakan bahwa agama adalah lawan dari Pancasila.

Tak pelak, pernyataan tersebut cepat mengundang  kegaduhan di Republik Indonesia. Pasalnya, pernyataan perihal agama dan Pancasila apalagi mengenai hubungan keduanya merupakan pernyataan yang berkaitan langsung dengan hal-hal yang bersifat prinsipil bagi rakyat Indonesia. Pancasila bagi rakyat Indonesia memiliki fungsi sebagai dasar Negara/ideologi Negara/falsafah Negara, sebagai kepribadian bangsa Indoensia, sebagai pandangan hidup (way of life), sebagai cita-cita dan tujuan bangsa Indonesia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Dengan kedudukan dan fungsi Pancasila bagi rakyat Indonesia tersebut maka tentu setiap pernyataan atau isu mengenai Pancasila akan menjadi isu yang sangat sensitif. Artinya, apabila ada pernyataan yang sedikit slip of tongue atau bahkan tidak dapat dicerna oleh masyarakat awam secara utuh maka otomatis pernyataan tersebut akan dibully dan dikritik kanan kiri. Kepada suatu hal yang bersifat sensitif seringkalai emosi yang dikedepankan dalam bereaksi bukan subtansi.

Sedangkan Agama tentu hal yang sangat sensitif bagi rakyat Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kedudukan seluruh warga negara Indonesia yang wajib memiliki agama (Pasal 29 UUD NRI Tahun 1945).  Hubungan agama dengan warga negara merupakan hubungan tertinggi. Pasalnya, agamalah yang mengatur tentang hubungan warga Negara dengan tuhannya (hablunminallah) dan sesama warga negara (hablunminannas). Apabila hal-hal yang menyangkut hubungan antara manusia dengan agama di usik maka tentu sifat reaksional akan segera menghampiri.

Oleh karenanya, ketika membicarakan mengenai Pancasila dan Agama maka harus berhati-hati. Namun bukan berarti sikap hati-hati tersebut harus dimaknai pembatasan untuk membicarakan relasi Pancasila dan Agama. Diskusi mengenai Pancasila dan Agama tidak boleh dihentikan. Relasi Pancasila dan Agama terus harus menghiasi berbagai forum dan tulisan. Apabila diskusi mengenai relasi Pancasila dan Agama dihentikan maka hal ini tentu akan berimplikasi pada keringnya pembahasan tentang Pancasila dan akan berujung pada mengikisnya pemahaman dan kedalaman mengenai hakikat relasi Pancasila dan Agama.

Yang perlu difahami dan dikedepankan adalah pengertian bersama mengenai hakikat suatu pendapat terkait Pancasila. Sikap pengertian tersebut ialah bahwa ketika ada orang yang membahas mengenai relasi Pancasila dan agama maka hal tersebut harus dimaknai sebagai bagian dari kebebasan akademik. Yakni, pendapat apapun harus dihormati dan apabila tidak menyetujui atas suatu pendapat dalam mimbar akademik maka harus dibalas dengan cara yang ilmiah juga yakni cauter dengan pendapat yang juga dilandasi argumentasi. Penolakan atas pendapat seseorang yang berdasarkan pada kajian ilmiah tidak boleh dengan cara membullynya. Apabila bentuk cauternya berupa bully maka diskusi mengenai relasi Pancasila dan Agama akan segera menemui ajalnya. Seorang ilmuwan akan enggan mengemukakan pendapatnya tentang relasi Pancasila karena khawatir dibully. Bukankah membully seseorang merupakan bagian dari pembunuhan karakter.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Hal yang harus dikedepankan dalam membangun pengertian atau suatu pendapat mengenai relasi Pancasila dan Agama meliputi: pertama, klarifikasi, dalam menanggapi suatu pernyataan terkait relasi Pancasila dan Agama, maka wajib dilakukan klarifikasi terhadap sumber pernyataan tersebut. Klarifikasi ini penting karena cara memahami suatu kalimat antara pengirim pesan (yang mengeluarkan pernyataan) dan penerima pesan (orang yang mendengar/membaca) bisa berbeda. Pemberi pesan bermaksud menyampaikan A tapi penerima pesan menangkapnya B.

Dengan klarifikasi maka “salah faham” antara pemberi pesan dan penerima pesan dapat dihentikan atau diminimalisir. Klarifikasi akan menjadi semacam tabayyun yang dapat membuat makna dari suatu pernyataan terang benderang dan lepas dari salah faham. Dalam konteks pernyatan Prof. Yudian mengenai relasi Pancasila penting dilakukan tabayyun atau klarifikasi karena pernyataan yang sudah terlanjur “dihakimi” tersebut ternyata tidak bermaksud mempertentangkan Pancasila dengan Agama. Dalam klarifikasinya, Prof Yudi justru menguatkan relasi Pancasila dengan Agama serta menyatakan bahwa hubungan agama dengan Pancasila bersifat saling menguatkan namun ada sekelompok orang yang memiliki pemahaman sempit dan ektrem yang sering menghadap-hadapkan Pancasila dengan Agama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Sesugguhnya, pernyataan Prof Yudian yang terlanjur dihakimi tersebut sama persis dengan pemahaman orang yang memiliki pengetahuan terbatas namun mencoba melakukan penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat (suatu ayat yang tidak bisa dimaknai dari teks) sehingga melahirkan hasil tafsir yang tidak sesuai dengan asbabul nuzul dari ayat tersebut dan cenderung mengaburkan isi dari teks ayat Al-Qur’an yang ditafsirkan.

Kedua, hormati perbedaan. Dalam menghadapi pernyataan mengenai relasi Pancasila dan Agama maka dibutuhkan sikap dewasa dari setiap orang yang ingin menaggapi. Sikap dewasa tersebut salah satunya ditunjukkan dengan sikap rendah hati dan sikap profesional sebagai seorang intelektual. Sikap rendah hati atau profesional tersebut ialah sikap dimana setiap orang dapat menghormati pendapat orang lain yang berbeda. Apabila kita tidak dapat menerima argumentasi seseorang tentang relasi Pancasila dengan agama seperti pendapat Prof Yudian misalnya maka kita harus menghormatinya sebagai bagian dari ihtilaful ulama. Bukankah perbedaan dikalangan orang berilmu itu adalah berkah. Setiap orang tidak bisa memaksakan orang lain untuk memiliki pendapat yang sama dengan dirinya. Likulli rokkyin rokyun.

Dalam sejarah Pancasila sendiri, perbedaan pendapat diantara para founding father mengenai konsep Pancasila sudah terbiasa terjadi dari waktu-kewaktu. Konsep Pancasila dari Prof. Mohammad Yamin (29 Mei 1945) berbeda dengan konsep  Prof. Soepomo (31 Mei 1945) berbeda pula dengan konsep Ir. Soekarno (1 Juni 1945) dan tentu terjadi pengurangan kalimat dengan konsep Piagam Djakarta (22 Juni 1945) sehingga akhirnya dilegitimasi secara tertulis didalam Pembukaan UUD 1945 (18 Agustus 1945).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

***

*)Penulis: Dr. Ahmad Siboy, SH.,MH, Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES