Kopi TIMES

Bermimpi Menjadi Lawyer, Masihkah Saya Perempuan?

Sabtu, 15 Februari 2020 - 19:14 | 79.66k
Mahirotul Alawiyah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma)
Mahirotul Alawiyah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma)

TIMESINDONESIA, MALANG – Budaya patriarki rupanya masih bercokol dalam pikiran masyarakat Indonesia. Perundungan terhadap perempuan menjadi salah satu buktinya.

Mirisnya, pelaku perundungan adalah perempuan pula. Bukankah sebagai sesama perempuan haruslah saling mendukung? Bukan merundung. Separuh hidup saya, saya habiskan di luar kota kelahiran saya.

Sejak sekolah menengah atas saya telah hidup di kota orang dan menyerap berbagai perbedaan di kota itu salah satunya budaya membaca yang jarang saya temui di kota kelahiran saya.

Saya bersyukur orang tua saya mengirim saya ke pulau garam waktu itu untuk belajar banyak. Bukan hanya membangun pemikiran-pemikiran revolusioner akan tetapi juga cara untuk survive hingga membentuk pribadi yang tahan banting. Pun saat saya kuliah saya di kota Malang yang mayoritas orang-orangnya sudah berpikiran maju (orang-orang yang saya temui) hal itu semakin membuat saya kuat memegang prinsip.

Terbiasa dengan hidup berprinsip, saat sudah waktunya kembali ke kota kelahiran saya justru mengalami culture shocked.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Lupa kalau kota ini masih kental dengan pemikiran kolot yang perlu diperbaiki. Akan tetapi bukan itu yang membuat saya shocked dan kecewa.

Saya kecewa karena perundungan terhadap perempuan rupanya masih merupakan hal biasa di kota ini dan pelakunya justru juga perempuan.

Mungkin lebih tepatnya bukan kecewa, katakanlah saya malu karena justru kaum saya sendiri yang understimate saya sebagai perempuan.

Seolah menjadi lawyer adalah pekerjaan yang hanya dikhususkan untuk laki-laki, mereka lantas melayangkan protesnya karena saya bersiap untuk mengikuti PKPA (Pendidikan Khusus Profesi Advokat).

Dan justru membanding-bandingkan saya dengan kakak laki-laki saya yang seorang dosen.

“seharusnya kakakmu yang seorang laki-laki menjadi lawyer dan kamu jadi dosen”

Bahasa seperti ini belum pernah saya temui selama saya menempuh pendidikan di luar kota dan tentu saja membuat idealisme saya menjerit.

Pemikiran semacam ini seolah menempatkan perempuan tak berdaya, lalu jika saya tidak menjadi seperti yang mereka inginkan apakah kemudian merubah saya menjadi laki-laki? Apa jika saya tetap menjadi lawyer, saya bukan lagi perempuan? Lalu ada satu lagi yang selalu menjadi topik utamanya, pernikahan.

Perempuan di sini seolah memberi saya pilihan “menikah dan menjadi istri yang baik atau berkarir dan tidak menikah”.

Lalu kalau saya memilih karir dan menikah apakah nanti saya tidak akan menjadi istri yang baik saat menikah? Tentu saja tidak. Kenapa pula saya harus memilih saat saya bisa menjadi dua-duanya? Mereka bilang “sesuai kodratnya”.

Kembali saya mendebat, benar apa yang dikatakan Najwa Shihab bahwa koadrat perempuan itu menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui tapi di luar itu woman can do whatever man can do. Jadi tidak ada bahasanya saat saya berkarir lantas mengubah kodrat saya sebagai perempuan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Namun di tengah-tengah kekecewaan saya, saya berpikir ulang. Pantaskah saya kecewa saat mereka hanya perempuan desa yang belum pernah teredukasi mengenai emansipasi dan zaman yang sudah berubah? Apakah ini menjadi tanggung jawab saya sebagai sesama perempuan untuk memperbaiki pola pikir usang itu? Di samping itu mereka juga sudah pernah duduk di bangku pendidikan hingga mendapatkan gelar sarjana.

Dan lagi-lagi saya kembali teringat kalau gelar yang ia sandang tak menjadikan ia open minded.

Semua itu tergantung pada pengalaman, lingkungan dan seberapa banyak kertas yang ia habiskan setiap harinya. Ah lagi-lagi saya merasa itu semua adalah tanggung jawab saya.

Bolehkah saya sedikit egois untuk membiarkan pola pikir usang melekat pada pikiran mereka? Karena mengubah pola pikir yang sudah tertanam dan mendarah daging merupakan pekerjaan yang sangat sulit, lebih sulit dari tes ujian masuk perguruan tinggi.(*)

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Mahirotul Alawiyah, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Malang (Unisma)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-4 Editor Team
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES