Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Kemenangan Logika Koruptor

Kamis, 13 Februari 2020 - 12:55 | 54.64k
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis sejumlah buku.
Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis sejumlah buku.
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Sepak terjang atau ulah koruptor di negeri ini sangat beragam. Banyak koruptor muncul dari sejumlah lorong gelap pembangunan atau “kisi-kisi” proyek dan pembelanjaan uang negara. Koruptor akhirnya menghiasi perjalanan sejarah negeri ini tanpa kenal titik nadir, yang kondisi ini menginikasikan kebenaran logika Cicero “dimana ada masyarakat, disitu ada hukum" (ubi societas, ibi ius), artinya dimana ada kejahatan (seperti koruptor), mestilah ada norma yuridis. Masalahnya, masih saktikah norma ini saat bertemu lawan seperti koruptor?

Kita bisa membacanya, di antaranya ulah koruptor jembatan, koruptor alokasi penanggulangan bencana, koruptor dana pengungsi, koruptor bantuan sosial, koruptor rehabilitasi hutan, koruptor Ruang Terbuka Hijau (RTH), koruptor hak-hak orang miskin, koruptor BLBI, koruptor Century, koruptor pencucian uang hasil kejahatan, koruptor Hambalang, koruptor pengadaan Alquran, dan koruptor lainnya atas nama agama, atas nama orang miskin, atas nama pembangunan, atas nama Pergantian Antar Waktu (PAW) politisi, dan lainnya adalah beberapa sosok koruptor di negeri ini yang berposisi sebagai “tertuduh” utama  yang mengakibatkan kerugian besar dimana-mana.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Beragamnya kasus korupsi itu tak lepas dari nekadnya seseorang atau sejumlah orang yang pintar memenangkan logika korupsinya dibandingkan logika kebenaran yuridis dan etis.

Mereka itu tidak takut berhadapan dengan siapapun untuk memenangkan dan bahkan “mengherokan” dirinya. Mereka sudah belajar dari banyak kasus sebelumnya kalau banyak mantan pelaku penyalahguna kekuasaaan atau yang sedang bermasalah dengan hokum yang  bisa mengubah status dirinya menjadi “pahlawan”, minimal  memikat hati rakyat sehingga terpilih jadi pemimpin daerah atau menduduki jabatan strategis.

Stigma itu berelasi dengan kemampuan uang hasil “jarahan” seperti pungli, mark up, mengalihkan peruntukan, dan lainnya yang diperolehnya, yang bahkan bisa mengantarkannya kalau peran yang dilakukannya ini wujud kepedulian sebagai sejawat, atasan, atau perjuangan.

Semakin tinggi oenghargaan manusia terhadap kekayaan (uang), maka semakin rendahlah penghargaan manusia terhadap nilai-nilai kebenaran, kesusilaan, keadilan, dan kepatutan” (Aristoteles).

Ucapan Aristoteles tidaklah salah. Filosof asal Yunani ini mengingatkan tentang kebenaran rumus kausalitas (sebab-akibat) terjadinya dan maraknya kejahatan di masyarakat atau dalam kehidupan bernegara yang bersumber pada penahbisan uang.

Saat seseorang atau sekelompok oknum pejabat tergelincir pada praktik pemujaan atau pengabsolutan uang, maka norma apapun, termasuk norma agama dan hukum bisa dilindasnya.

Cara sangat licik juga merupakan bagian dari opsi yang diharuskan dipilih atau digunakannya untuk mengalahkan para pejuang kebenaran, kejujuran, hukum, dan keadilan. Mereka sangat pintar memenangkan logika berfikirnya dibandingkan para pejuang yang masih mengandalkan “okol” (kekuatan/kekuasaan).

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Ironisnya lagi, para pejuang yang dulu dalam diskusi, riset, atau kajian-kajian ilmiah sangat membenci koruptor, tiba-tiba membelokkan arah perjuangannya akibat godaan uang yang terus menerus mengjaknya jadi “pengkhianat”.

Magnet uang terbukti luar biasa bagi manusia (para oknum pejabat atau siapapun yang mendapatkan kewenangan mengamankan  dan menyalurkan uang) negara ini. Uang bisa tidak ubahnya sebagai “tuhan kontemporer” yang memikat para pejabat.

Pengaruhnya (uang) itu jelas-jelas mampu menarik dan menjadikannya kehilangan kecerdasan moral, edukatif, spiritual, dan hukum. Daya pesonanya membuat para pejabat atau pemimpin takluk dan menyerah dikuasainya. Logika benar dan salah dikaburkannya, sehingga menjadi tumpeng tindih.

Sangat ironis, oknum elemen negara yang statusnya pintar secara edukatif misalnya, ternyata bersikap senang dan arogan melibatkan dirnya dalam penyalahgunaan keuangan negara.  Uang negara identik ditempatkannya sebagai subordinasi “ongkos” jabatannya, sehingga dilogikakan dalam kelayakan dan bahkan keharusan untuk mendapatkan bagiannya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Mereka itu rela menjadi koruptor dan tak merasa malu merendahkan dirinya terjerumus dalam penjatuhan marwah jabatannya. Mereka ini berani kalahkan kepintaran atau kecendekiaannya dengan cara menggarong kekayaan yang bukan menjadi haknya.

Mereka itu bahkan nekad menggunakan opsi “barbarian” dalam memproteksi kebejatan atau “kebajinganannya”, sehingga seseorang (saksi) atau sejumlah orang yang bermaksud memperjuangkan kebenaran dibuatnya kehilangan nyali untuk tetap di jalur konsistensinya.

“Logis” jika para koruptor di negeri ini tidak mau menerima dikalahkan oleh praktik hukum obyektif dan tidak diskriminatif yang sedang atau akan terus digelar oleh KPK atau apparat penegak hokum lainnya, karena mereka merasa dirinya digdaya.

Supaya tidak kalah, mereka tentu berusaha menerapkan berbagai jurus untuk melemahkan dan menghancurkan apparat penegak hukum. Konstruksi logis dan etis serta yuridis dibuatnya menjadi kurang atau tidak bertuah akibat berbagai ayat-ayat atau pasal yang dilogikan memproteksi perbuatnnya.

Sekarang terserah para pecinta negeri ini untuk menghentikan mereka. Mau ikut-ikutan cara yang digunakan para koruptor, ataukah menempuh pola militansi dengan menunjukkan sikap tanpa takut mati menghadapi para pendestruksi total dan massif negeri ini.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

***

*)Penulis: Abdul Wahid, Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Malang (UNISMA) dan Penulis sejumlah buku.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES