Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Perubahan Sosial Desa yang Seperti Apa?

Kamis, 13 Februari 2020 - 10:59 | 105.14k
Dimas Aditya E.W, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Islam Malang (Unisma).
Dimas Aditya E.W, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Islam Malang (Unisma).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Tepat tujuh tahun lalu, sebuah Undang-Undang disahkan, Undang-Undang yang mengibarkan tanda berakhirnya peran (pembangunan) dominasi negara yang legal di mata hukum terhadap suatu wilayah strategis dan menyentuh akar rumput, yakni desa. UU No 6 Tahun 2014 memang sangat berkesan bagi segenap pemangku kepentingan desa, dan masyarakat desa. Sebab ada beberapa hal yang terkandung dalam UU yang biasa dikenal sebagai UU Desa tersebut, seperti salah satunya mengembalikan “marwah” desa yakni asas subsidiaritas dan asas rekognisi.

Asas subsidiaritas atau kewenangan lokal berskala desa, dengan asas tesebut desa dapat merencanakan, merumuskan, dan memutuskan masa depannya demi menjaga harmonisasi kehidupan desa, dan masyarakat desa diharapkan dapat memprakarsai setiap proses perkembangan (pembangunan) desa. Dan asas rekognisi menghentikan polemik perdebatan para intelektual tentang penyeragaman sebuah keberagaman desa (berlakunya UU No 5 Tahun 1979), karena asas rekognisi sebagai bentuk pengakuan negara akan adanya desa adat terbentuk atas sejarah dan asal-usulnya dengan memiliki kewenangan yang bersumber pada adat-istiadat, selain juga mempunyai asas subsidiaritas.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Tidak menutup kemungkinan dua asas yang terkandung dalam UU Desa tersebut dianggap penting dalam perubahan paradigma pembangunan desa, yang pada awalnya masyarakat desa dituntut menjadi penonton atas pembangunan desa atau disebut menjadi subordinat (objek) pembangunan. Namun kini masyarakat desa menjadi subjek pembangunan dengan kata lain mereka diletakkan sebagai pelaku utama penentu sejarah perubahan sosial mereka sendiri.

Tentu, UU Desa dengan matan luhur yang terkandung di dalamnya bukan hanya untuk dipahami, atau malah hanya dihafal saja tetapi seharusnya menjadi landasan berpijak praksis-praksis perubahan sosial. Sebaliknya, apabila UU Desa hanya menjadi bongkahan “emas” yang tidak dapat diraih oleh masyarakat desa dan meskipun “emas” tersebut diperuntukkan untuk masyarakat desa, maka “emas” itu tidak akan bernilai sama sekali di tengah-tengah masyarakat desa. Hal-hal ini merupakan hambatan dan sekaligus tantangan pemerintah dalam menginisiasi proses pemahaman, penghayatan, pengkajian bersama masyarakat desa.

Inisiasi itu harus negara lakukan, agar paradigma lama yang menjadikan desa sebagai objek pembangunan (subordinat) dapat terpendam dan menjadi masa lalu yang harus terkubur dalam-dalam. Sebab paradigma yang baru pasca UU Desa melimpahkan kewenangan sekaligus mengembalikan “marwah” desa kembali, sehingga nasib dan masa depannya berada di tangan desa sendiri. Negara hadir hanya menginisiasi, akan tetapi bukan untuk memberikan efek ketergantungan masyarakat desa kepada negara dalam konteks pembangunan desa.

Puncak dari inisiasi, menciptakan masyarakat desa yang mampu berdiri di kaki sendiri terutama dalam hal inovasi-inovasi desa. Sehingga inovasi-inovasi desa bukan muncul dari idea dari seorang pakar atau orang lain yang sama sekali bukan dari bagian desa terkait. Dengan artian mengurangi bahkan menghilangkan dominasi gagasan terhadap desa, karena ini akan menjadi pembeda paradigma membangun desa dengan paradigma pasca UU Desa yakni dengan paradigma desa membangunnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

Penyadaran Kritis

Upaya negara mendekatkan UU Desa dengan masyarakat desa tidak lain hanya untuk memberikan “pemberitahuan” kewenangan yang desa miliki sekarang. Selebihnya adalah menempatkan masyarakat desa sebagai subjek perubahan sosial dengan melakukan penyadaran kritis. Melalui paradigma yang telah dibangun dan peningkatan literasi-literasi desa (peningkatan pengetahuan masyarakat desa) maka akan menjadi pisau analisa masyarakat desa dalam melihat realitas sosial yang bisa dikatakan tidak dalam baik-baik saja atau mengalami gersangnya keadilan sosial.

Dua hal itu baik perubahan paradigma dan peningkatan literasi-literasi desa bukan berdasarkan anggapan bahwa sumber masalah yang terjadi dikarenakan aspek kemanusiaan sebagai akar permasalahannya, namun karena melihat sebuah struktur dan sistem sosial sebagai akibat dari permasalahannya.

Pada akhirnya penyadaran kritis tersebut memberikan makna dan bahkan menentukan model pemberdayaan yang masif dan tepat. Lalu melakukan perubahan sosial dengan menciptakan struktur dan sistem sosial yang adil, tanpa persaingan bebas eksploitasi, tanpa dominasi peran negara dalam pembangunan desa dan melibatkan masyarakat desa sebagai subjek pembangunan.

Tentu saja apabila kita kembali pada semangat ekonomi kerakyatan berdasarkan Pasal 33 Ayat 1 sampai 3 UUD 1945 bahwa perekonomian nasional harus dibangun bernafaskan kekeluargaan tanpa persaingan bebas. Dengan begitu cepat atau lambat keadilan sosial yang menjadi elemen penting dalam pemerataan ekonomi akan dapat terwujud.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI unisma.ac.id

***

*)Penulis: Dimas Aditya E.W, Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*)Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 

*)Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES