Peristiwa Nasional

PP GP Ansor Sikapi Kepala BPIP, Gus Yaqut: Jangan Benturkan Agama dengan Pancasila

Rabu, 12 Februari 2020 - 12:30 | 290.31k
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)
Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ketua Umum PP GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas menilai pernyataan Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila) Yudian Wahyudi yang menyatakan musuh Pancasila adalah agama, sebagai pernyataan yang perlu diluruskan.  Karena pernyataan itu terkesan membenturkan agama dengan Pancasila. 

“Pernyataan Pak Yudian Wahyudi ini seperti yang dimuat salah satu media siber, Rabu (12/2/2020), terkesan membenturkan agama dengan Pancasila. Kalau agama jadi musuh terbesar Pancasila, sama saja kelompok-kelompok radikal yang anti-Pancasila mendapat justifikasi,” tandas Gus Yaqut, Rabu (12/2/2020).

Menurut Gus Yaqut, menjaga Pancasila itu adalah dalam rangka menegakkan agama yang penuh kasih sayang sekaligus adil bagi semua. Dan, menjadi muslim yang baik, yang menjadi rahmat bagi semesta, itu juga bagian dari meninggikan derajat Pancasila. 

Gus Yaqut mengatakan, Pancasila yang selama ini diterima sebagai jalan kemaslahatan hidup berbangsa mampu menengahi berbagai macam perbedaan. Jika kemudian agama dan Pancasila dibenturkan, katanya, maka Pancasila akhirnya dijadikan musuh bersama. 

Kelahiran dan disepakatinya Pancasila sebagai dasar negara dan perekat berbagai macam perbedaan di Indonesia ini sudah melalui perjalanan panjang dan banyak pertimbangan. Rongrongan ideologi Islam transnasional terhadap Pancasila belakangan inilah yang makin nyata. Sebagai bangsa, Indonesia sedang diuji untuk bisa bersama-sama merawat Pancasila sebagai satu-satunya asas. 

"Saya yakin, Pancasila ini adalah kalimatun sawa’ alias titik temu antar suku, agama, etnis, ras, atau ragam identitas lainnya,” tandas Gus Yaqut.

Gus Yaqut mengatakan, setidaknya ada tiga masalah besar yang dihadapi bangsa ini. Pertama, kata dia, keberadaan sekelompok kecil masyarakat yang ingin mengubah konsensus nasional. Yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika. 

“Misalnya Al-Ikhwanu al-Muslimun (IM) dan Hizbut Tahrir (HT) yang masuk pada kisaran tahun 1980-an yang berkembang di kampus-kampus negeri. Sudah banyak survei yang menunjukkan hal itu. Survei Alvara Research Center, misalnya. Intinya adalah ideologi Islam transnasional sangat dominan memengaruhi sikap dan pandangan sebagian kecil masyarakat terhadap Pancasila dan NKRI sebagai ideologi dan bentuk negara,” ujarnya.

Masalah kedua, jelas Gus Yaqut, adalah klaim kebenaran (Islam) secara sepihak. Sebagian kecil umat Islam, sebut saja “salafi” atau “wahabi”. “Mereka menganggap gagasan dan praktik keberislaman mereka yang benar. Di luar kelompok mereka salah, sesat, kafir, musyrik, dll. Nah, klaim kebenaran ini marak di tengah-tengah muslim perkotaan,” ungkapnya. 

Gus Yaqut melanjutkan, masalah ketiga adalah kalangan mayoritas (silent majority) yang cenderung diam. “Kelompok yang menolak Pancasila jumlahnya sebenarnya tak signifikan. Tapi, karena silent majority hanya diam, tidak ‘melawan’, bersikap tak acuh, maka pengaruh propaganda khilafah menjadi meluas. Ini yang harus menjadi perhatian, bagaimana mendorong mayoritas berani bersuara, jangan hanya diam,” tegasnya.

Di sisi lain dia membenarkan bahwa untuk urusan Pancasila Nahdlatul Ulama (NU) sudah final. NU, katanya, telah mengakui keberadaan Pancasila sebagai ideologi dan falsafah hidup bangsa. 

“Pada Munas Ulama 1982, NU menerima Pancasila sebagai asas organisasi, dan dua tahun kemudian di Muktamar NU di Situbondo NU menyatakan Pancasila sebagai asas bangsa sudah final. Rais Aam Pengurus Besar NU KH Achmad Siddiq waktu itu secara gamblang menyatakan Pancasila merupakan ideologi dan dasar negara yang menjadi asas bangsa Indonesia,” ujarnya. 

Gus Yaqut menjelaskan, hubungan Islam dan Pancasila dalam pandangan Kiai Achmad Siddiq bukan berarti menyejajarkan Islam sebagai agama dan Pancasila sebagai ideologi. Sebab, hal itu dapat merendahkan Islam dengan ideologi atau isme-isme tertentu. 

“Islam yang dicantumkan sebagai asas dasar itu adalah Islam dalam artian ideologi, bukan Islam dalam artian agama. Ini bukan lantas menafikan Islam sebagai agama, tapi mengontekstualisasikan Islam yang berperan bukan hanya sebagai jalan hidup, namun juga ilmu pengetahuan dan tradisi pemikiran yang tidak lekang oleh zaman,” kata ketum PP GP Ansor ini merespons pernyataan Kepala BPIP. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES