Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Pantaskah Mantan Napi Koruptor Maju Jadi Caleg?

Selasa, 28 Januari 2020 - 15:36 | 112.51k
Siska Dwiyanti, Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Islam Malang (Unisma)
Siska Dwiyanti, Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Islam Malang (Unisma)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Korupsi merupakan hal yang sangat merugikan bagi semua orang, yaaa kecuali bagi koruptor itu sendiri. Ironis memang, tapi mau bagaimana lagi banyak elit pejabat, swasta hingga kepala daerah yang melakukan korupsi.

Angka korupsi di Indonesia sangatlah tinggi, pada tahun 2018 KPK menangani 178 kasus korupsi dimana sebanyak 152 adalah kasus penyuapan. Berdasarkan skor CPI (Corruption Perception Index) pada tahun 2018 Indonesia berada di peringkat 89 dengan angka 39 di dunia.

Pada tahun 2018, MA memutuskan bahwa mereka yang pernah dipenjara atas kasus korupsi bisa mencalonkan diri menjadi anggota legislative. Hal tersebut disambut gembira oleh mantan napi kasus korupsi, meraka merasa memiliki kesempaatan untuk menjadi caleg lagi.

Presiden Jokowi mengatakan bahwa mantan napi koruptor bisa nyaleg adalah hak, hak seseorang untuk berpolitik. Terus bagaimana dengan mereka yang memakan uang rakyat, apakah itu bukan termasuk pelanggaran hak kepada rakyat?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Ada seorang napi koruptor dengan percaya diri menggatakan bahwa ia maju menjadi caleg bukan keinginan pribadi tetapi anggota parpol yang  menyuruhnya, jika ia tidak maju menjadi caleg maka yang lain tidak semangat.

Tidak sedikit bahkan hampir semua parpol mengajukan caleg mantan napi koruptor pada pemilu 2019. Hanya dua partai yang tidak mencalonkan anggotanya yang mantan koruptor, mereka memiliki syarat dan kriteria untuk diajukan menjadi caleg. Terhitung total caleg mantang koruptor yang diajukan untuk pemilu 2019 ada 81 orang.

Partai Politik seharunya memilih caleg yang benar-benar memiliki integritas yang baik, tetapi kenyataanya banyak parpol yang mencalonkan kader yang memiliki rekam jejak buruk sebut saja mantan koruptor untuk pemilu 2019.

Parpol memberikan alasan bahwa mereka mengajukan caleg mantan koruptor karena caleg tersebut dianggap memiliki dana dan popularitas yang besar serta kedudukannya di parpol tersebut kuat, sehingga mereka berpendapat bahwa ada kemungkinan mereka akan menang.

KPU memberi syarat kepada caleg mantan koruptor untuk dengan mengumumkan nama mereka sebagai mantan koruptor dan mereka memiliki rekam jejak yang tidak baik, juga caleg mantan koruptor harus menyatakan kepada rakyat saat kampanye bahwa ia merupakan mantan koruptor atau mantan narapidana. Tetapi KPU memutuskan tidak mengumumkanya di TPS pada saat pemilu berlangsung.

Dengan banyak partai yang mengusung kader dengan rekam jejak yang buruk apalagi yang bermasalah dengan uang negara, menjadikan partai tersebut gagal dalam tugasnya yang seharunya menyaring orang-orang yang benar-benar baik dan bisa dipercaya oleh rakyat sebagai wakil rakyat.

Tindakan parpol yang demikian itu, membuat masyarakat kesulitan dalam memilih wakil rakyat yang berkualitas dan yang baik. Tetapi di lain sisi, dengan parpol mengajukan nama caleg yang mantan koruptor  secara tidak langsung menyatakan bahwa pihaknya tidak mendukung sepenuhnya atas pemberantasan korupsi yang ada di Indonesia.

Kembali lagi, pantaskah seorang mantan koruptor menjadi caleg? Menurut saya itu sesuatau hal yang sensitif jika disangkut pautkan dengan kepercayaan rakyat. Sebagai perumpaan, maukah anda memilih seorang mantan pencuri? Tentu saja tidak. Karena mereka memiliki potensi menjadi seorang pencuri lagi.

Kucing yang pernah dihukum akibat mencuri ikan kemudian  ditempatkan pada tempat yang ikannya banyak tentu saja kucing tersebut senang. Tetapi mungkinkah kucing tersebut akan mencuri lagi? Jawabannya adalah ada kemungkinan kucing itu mencuri lagi entah itu kemungkinannya besar atau kecil.  

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bisa saja dengan mantan koruptor tersebut menjadi caleg nantinya bisa membuat kebijakan yang menyangkut dana atau keuangan lembaga yang ditempatinya kelak. Dengan belajar dari pengalaman sebelumnya diharapkan mereka lebih tegas dalam membuat keputusan dan lebih mementingkan kepentingan rakyat.

Untuk memilih caleg mantan koruptor atau tidak itu semua dikembalikan lagi ke masyarakat. Indonesia adalah demokrasi jadi siapapun bisa mengajukan pendapat, tetapi pemerintah juga harus lebih tegas dalam membuat suatu kebijakan agar Indonesia lebih baik dalam menyelenggarakan pemerintahan yang demokrasi.

Korupsi memang tidak bisa dibasmi secara total dan pasti korupsi selalu ada dan sudah melekat di kehidupan perpolitikan, swasta maupun masyarakat. Tetapi untuk mencagah terjadinya korupsi lagi oleh caleg mantan koruptor lebih baik pemerintah tidak membuat kebijkan mantan koruptor boleh menjadi caleg.

Jika hal tersebut tetap diberlakukan, partai politik harus lebih transparasi dalam mengajukan kadernya dan rakyat juga harus lebih pintar dalam memilih wakil rakyat yang benar-benar memiliki integritas yang baik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Siska Dwiyanti, Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Islam Malang (Unisma)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES