Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Korupsi dan Partisipasi Publik

Selasa, 28 Januari 2020 - 12:22 | 76.43k
Risky Dwi Jayanti, Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Islam Malang (Unisma)
Risky Dwi Jayanti, Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Islam Malang (Unisma)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali melakukan Operasi Tangkap Tangan (OT) terhadap Bupati Sidoarjo Saiful Ilah, Selasa (07/01). Saiful Ilah diduga terlibat rasuah dalam kasus pengadaan barang dan jasa di Kabupaten Sidoarjo.

Selang sehari kemudian, KPK kembali melakukan OTT Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan. Wahyu ditangkap di dalam pesawat yang hendak pergi ke Bangka Belitung.

Penangkapan terhadap Bupati dan Komisioner KPU tersebut tentu sangat mengejutkan. Di tengah ekspektasi publik yang menurun terhadap KPK, namun hal itu tidak membuat KPK patah arang.

Terbukti, OTT terhadap pejabat sekelas Bupati dan Komisioner menjadi jawaban KPK. Tentu saja ini menjadi titik balik untuk menaikkan level kepercayaan publik terhadap KPK. Kendati begitu, publik tidak boleh mabuk kepayang. Sebab, masih terlalu dini menyimpulkan bahwa KPK sudah berada di jalur yang benar sesuai dengan kehendak publik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bagaimana pun, KPK harus terus membuktikan diri dalam komitmen pemberantasan korupsi agar ekspektasi publik terus meningkat. Di sisi lain, sembari berharap KPK terus fokus memberantas korupsi, dukungan publik juga diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan diri KPK. Bagi KPK, partisipasi publik sangat dibutuhkan. Pertanyaannya, seberapa jauh partisipasi publik terhadap pemberantasan korupsi?

Dalam kondisi seperti sekarang ini, kita memang tidak banyak berharap terhadap partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi. Sebab publik sudah semakin cerdas dalam merespon berbagai fenomena korupsi yang terjadi di negeri ini.

Namun, kecerdasan tersebut tidak dalam ruang pemberantasan korupsi, namun hanya sebatas salah kaprah. Artinya, salah kaprah tersebut dapat dilihat dari ungkapan ketika terjadi OTT terhadap pejabat, dimana publik meresponnya dengan nada sumir, alias dianggap sebagai hal yang wajar. Sebab bagi publik, hampir semua pejabat publik sama saja. Hanya saja, mereka yang tertangkap OTT bernasib apes.

Dalam situasi normal, keterlibatan publik terhadap pemberantasan korupsi memang tidak dapat diragukan. Publik bahkan cenderung berikrar siap memberantas korupsi. Publik juga tidak ragu mengikuti training dan pendidikan anti korupsi. Namun dalam situasi tertentu, publik justru menjadi salah satu penguat moral terhadap pelaku korupsi. Penguatan moral ini bisa dilacak ketika publik mereka merasa iba. Sebab yang menjadi pelaku korupsi merupakan tetangga, atau paling jauh satu Rukun Tetangga (RT).

Alasan memberikan penguatan moral masyarakat bagi pelaku korupsi tidak datang dari ruang hampa. Mereka yang melakukan korupsi rata-rata memiliki jasa yang luar biasa terhadap pembangunan di daerah tersebut. Bahkan, tidak jarang pelaku korupsi menjadi donatur tetap terhadap aktivitas warga dengan memberikan berbagai sumbangan dan fasilitas publik.

Dengan kondisi seperti itu, derajat pelaku korupsi tentu saja sangat tinggi dibandingkan dengan warga sekitar yang hanya bisa mendonasikan tenaga dan pikiran. Bagi masyarakat sekitar, pelaku korupsi merupakan “pahlawan” atas terbangunnya fasilitas dan ruang publik di sekitar.

Bahkan demi membalas semua jasa-jasa yang diberikan, proses-proses demokrasi pun digadaikan dengan memilih mantan narapidana korupsi sebagai kepala daerah. Kepentingan publik dikorbankan hanya demi membalas seluruh jasa-jasa pelaku korupsi.

Padahal dalam keadaan normal, mereka akan menolak seluruh proses yang bertentangan dengan demokrasi, termasuk menolak napi korupsi menjadi kepala daerah. Namun karena ada sisi gelap “balas budi” tersebut, kepentingan publik terabaikan dengan memilih narapidana korupsi.

Membaca berbagai fenomena korupsi di negeri ini, ternyata ada dua fenomena baru. Pertama, proses pemberantasan korupsi di negeri ini ternyata sudah dijinakkan dari bawah (top down) oleh para koruptor melalui berbagai fasilitas publik.

Pembonsaian semacam ini ternyata ampuh menjahit sikap kritis publik terhadap praktik korupsi. Tanpa sadar, fasilitas publik dan saluran bantuan ke lembaga pendidikan dan tempat Ibadah ternyata mampu melumpuhkan nalar kritis publik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Konsekuensi yang dikhawatirkan di kemudian hari adalah menipisnya sikap kritis publik dan berubah menjadi apatis, dimana sikap apatis tersebut lahir karena mereka sama-sama menikmati hasil korupsi. Artinya, apa yang dinikmati selama ini, baik fasilitas publik dan tempat Ibadah merupakan hasil korupsi. Jadi, mereka sama-sama menikmati hasil korupsi.

Atas dasar itulah, mereka memilih bungkam dan tidak lagi bersuara atas praktik korupsi di negeri ini. Mereka takut jika bersuara akan ikut terseret dan berurusan dengan penegak hukum.

Kedua, ternyata proses pembonsaian semacam itu telah menelurkan citra positif terhadap koruptor. Artinya, koruptor dicitrakan dermawan oleh publik. Sehingga, meneguhkan diri sebagai pemimpin. Dengan demikian, image yang terbangun di ruang publik adalah pemimpin yang tidak bersifat agresif-ofensif dalam menawarkan diri menjadi kepala daerah.

Akan tetapi, atas kehendak publik yang mengangkatnya menjadi pemimpin. Pola ini persis seperti sistem gotong royong. Publik ditolong melalui fasilitas dan bantuan, sementara publik membalasnya dengan menyerahkan suaranya ketika maju menjadi calon kepala daerah.

Secara umum, nalar publik akanterbingkai bahwa mencuri uang negara bukanlah hal yang memalukan dan menjijikkan bagi publik. Sebab uang hasil korupsi juga tersalur ke rakyat melalui fasilitas publik dan bantuan sosial.

Itu justru sangat berdampak secara langsung terhadap kesejahteraan publik. Tempat Ibadah, sarana pendidikan, dan fasilitas publik lainnya menjadi lebih baik. Padahal jika disadari, bantuan sosial melalui uang hasil korupsi merupakan penggadaian harga diri.

Akhirnya, apa yang terjadi di atas merupakan sebuah anomali di tengah-tengah masyarakat dalam proses pemberantasan korupsi.

Segala sesuatu yang dianggap buruk, dengan mudahnya berbalik arah hanya demi kepentingan balas jasa atas apa yang telah dilakukan terhadap masyarakat sekitar. Salah satu ancaman terbesar dalam pemberantasan korupsi saat ini bukan lagi banyaknya koruptor yang menjarah uang rakyat atau korupsi berulang pejabat publik.

Namun pembungkaman yang bergerak dari bawah, yakni pembungkaman nalar kritis publik melalui berbagai fasilitas dan bantuan sosial. Dalam keadaan normal, kita memang sangat membutuhkan keterlibatan publik. Namun di saat yang sama, publik juga bisa menjadi menguat moral koruptor hanya karena jasa-jasa koruptor yang sudah mengikis rasionalitas publik. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Risky Dwi Jayanti, Mahasiswa Prodi Ilmu Administrasi Negara, Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Islam Malang (Unisma)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES