Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Anak Depresi Salah Siapa?

Sabtu, 18 Januari 2020 - 10:14 | 105.09k
Mahirotul Alawiyah, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Islam Malang (UNISMA)
Mahirotul Alawiyah, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Islam Malang (UNISMA)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG“Taking care of your mental health is not selfish or crazy”

Yeshna, 21 (Unicef)

Akhir-akhir ini, berbondong-bondong baik anak maupun orang dewasa memeriksakan kejiwaannya pada psikolog atau psikiater. Mirisnya, semua itu sudah terlambat. Stigma masyarakat awam “kalau kamu sakit ke dokter” rupanya masih sangat mengakar dalam alam bawah sadar manusia khususnya masyarakat Indonesia. Sementara hal itu adalah pemikiran yang keliru. Adanya dokter bukan hanya sebagai penyembuh tapi juga pencegah. Tindakan yang dilakukan saat sudah “sakit” itu bukan merupakan tindakan pencegahan (preventif) melainkan tindakan pembasmian (represif). Sehingga saat sudah mendapatkan vonis menderita penyakit tertentu, mereka akan kelimpungan mencari solusi untuk menyembuhkan. Beruntung jika penyakit itu mudah disembuhkan tapi bagaimana jika sukar?

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Hal inilah yang patut kita sadari sebagai orang yang katanya “dewasa”. Agar mencegah dan menyelamatkan anak sebagai generasi penerus bangsa dari mental illness, pekalah terhadap kesehatan mental anak. Tak jarang kita temui anak nakal atau anak anti sosial dalam lingkaran depresi dikarenakan pengaruh faktor internal maupun eksternal.  Romli Atmasasmita mengemukakan pendapatnya Dalam teori motivasi (juvinel deliquency) pengaruh kenakalan anak disebabkan oleh dua motivasi yaitu motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, mencakup faktor intelegentia, kelamin, usia, dan kedudukan anak dalam keluarga. Sedangkan motivasi ekstrinsik berupa faktor keluarga, pendidikan, pergaulan, dan pengaruh media massa. Dari semua faktor tersebut adalah tugas orang dewasa untuk menjauhi anak dari kenakalan dan mental illness.

Saya menghubungkan kenakalan anak dan mental illness karena dua-duanya dalam lingkaran yang sama. Anak nakal bukanlah tanpa alasan, mereka yang nakal umumnya karena tertekan dengan lingkungannya atau perlakuan orang-orang di sekitarnya dan tak jarang saat sudah terlambat mereka bisa saja mengidap depresi tertentu. Dr. Bruce Holland Lipton seorang ahli biologi yang mendukung teori bahwa ekspresi gen dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan,  mengatakan “95 % kehidupan kita ditentukan dari 7 tahun pertama kehidupan kita”. Pernyataan Bruce memiliki korelasi dengan yang disebutkan oleh Romli, bahwa lingkungan anak memiliki pengaruh besar dalam pola pikir dan kesehatan mental anak. Sehingga tidak salah sebuah penelitian menyatakan bahwa penderita Dissociative Identity Disorder (kepribadian ganda) umumnya diderita sejak usia anak 5 tahun yang disebabkan 90% karena kejadian traumatis sejak kecil. Walaupun berbeda dua tahun dari apa yang dikatakan oleh bruce namun hal ini dapat menjadi tamparan yang keras bagi kita “orang dewasa” bahwa apa yang terjadi pada tumbuh kembang anak kitalah ikut andil di dalamnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Karena sungguh, menderita gangguan kejiwaan itu sangat menyakitkan. Disaat orang lain tampak nyaman berinteraksi dengan orang banyak, kau hanya bisa bersembunyi di bilik toilet karena serangan panik, bergetar, dan jantung berdebar bahkan hingga pingsan karena phobia social. Saat orang lain dapat mengekspresikan rasa kecewa dan emosinya dengan normal, yang kau lakukan adalah melukai kulitmu dengan benda tajam. Saat orang lain dapat merasakan sedih dan bahagia yang stabil, justru saat fase manik kau akan bahagia berlebih dan menghambur-hamburkan uangmu untuk hal yang tidak penting, namun saat fase depresimu datang kau merasa tidak bisa menerima dirimu sendiri, menangis tanpa alasan yang jelas di pojok kamar atau yang lebih ekstrim melampiaskan amarahmu dengan memukuli orang lain dan membanting segala macam barang di dekatmu karena gangguan bipolar yang diderita. Namun itu tidak seberapa jika hal yang paling ditakutkan terjadi “suicide” saat kau merasa tidak lagi pantas hidup.

Semua penderitaan itu tidak akan terjadi jika kita orang dewasa lebih peka dan peduli terhadap kesehatan mental anak. Dampingi ia saat ia butuh, ajari ia jika tidak tau, nasehati ia dengan cara yang baik jika ia salah. Tapi jika kita tidak mampu mengurus dan mendidik anak dengan benar, maka tak perlu percaya diri membangun  rumah tangga impian dengan anak-anak yang lucu di dalamnya. Dan juga rajin-rajinlah memeriksakan kesehatan mental anak pada psikolog. Ingat, bukan berarti anak itu sakit melainkan mencegahnya dari sakit.(*)

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Mahirotul Alawiyah, Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas Islam Malang (UNISMA)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES