Kopi TIMES

Reintegrasi Sosial: Sebuah Metronom Penegakan Hukum yang "Hilang"

Sabtu, 18 Januari 2020 - 14:03 | 619.77k
Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H. (Grafis: TIMES Indonesia)
Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JEMBER – Negara sedang kehilangan sebuah metronom penegakan hukum, disharmoni kebijakan yang dideklarasikan tidak tersortir secara urut dan sistematis. Menakar kebutuhan primaritas ibarat mencari titik yang metropolis dalam sepasang kanvas hitam beserta tinta hitamnya juga. Salah satu dampaknya adalah fenomena over-crowded. Fenomena yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan atau Rumah Tahanan Negara (selanjutnya disebut Lapas atau Rutan) sudah bukan lagi isu strategis penegakan hukum, melainkan penyakit kronis yang kerap kali mendapat tindakan khusus namun tak kunjung sembuh.

Publik dan media menyudutkan Pemasyarakatan akibat aksi provokatif dan reaktif oknum Warga Binaan Pemasyarakatan (selanjutnya disebut WBP). Kerusuhan, pelarian, pembakaran, pemberontakan, dan aksi reaktif lainnya menimbulkan banyak kerugian bagi khalayak umum, khususnya bagi institusi Pemasyarakatan.

Over-crowded merupakan fenomena pengurangan mobilitas ruang gerak WBP dalam Lapas/Rutan. Idealnya, satu orang WBP memiliki kapasitas ruang gerak sebesar 5,4 m2 (termasuk ukuran tempat tidur, dll), hal ini tercantum dalam instrumen hukum internasional tentang The Standard Minimum Rules for Treatment of Prisoners. Kepadatan penghuni Lapas maupun Rutan menyebabkan beberapa tujuan dari Pemasyarakatan tidak berhasil dicapai.

Menurut Sistem Database Pemasyarakatan pada 18 Januari 2020, Lapas dengan tingkat over-crowded yang tinggi diduduki oleh Lapas Kelas IIA Banjarmasin dengan kapasitas 361 orang namun kini harus disesaki oleh 2.606 penghuni, sehingga lapas ini sudah mengalami over-crowded mencapai 712%. Kemudian Lapas Kelas IIA Bagan Si Api-Api, Lapas dengan kapasitas 98 orang ini dihuni oleh narapidana dan tahanan sebanyak 784 orang, sehingga cabang rutan ini mengalami over-crowded mencapai 790%. Seyogyanya informasi numerik tersebut dapat menggugah nurani kita untuk berempati terhadap kondisi Lapas/Rutan di Indonesia.

Reintegrasi sosial adalah tujuan dari sistem Pemasyarakatan, yang berfokus pada upaya pemulihan kembali hubungan hidup, kehidupan, dan penghidupan WBP. Reintegrasi sosial dinilai sebagai upaya politik hukum yang dapat menjadi pemecah masalah klasikal ini. Apabila bercermin pada sistem pemidanaan di negara Jerman, Belanda, dan Amerika Serikat, negara-negara besar tersebut menempatkan sistem Pemasyarakatan menjadi tujuan utama dari pemidanaan.

Sebuah fenomena yang aneh dalam diskursus Pemasyarakatan di Belanda, negara kincir angin ini tidak memiliki cukup tahanan dan narapidana untuk mengisi Lapas di sana. Bahkan institusi tersebut disewakan kepada negara tetangganya, yakni Norwegia dan Belgia. Sejak 2014, 23 Lapas telah ditutup. Negara ini memiliki tingkat penahanan terendah ketiga di Eropa, yaitu 54,4 per 100.000 penduduk.

Fenomena lain pun terjadi di Jerman, tidak ada kasus pelarian, minimnya resistensi terhadap petugas, bahkan tidak adanya penggunaan sel isolasi di Lapas yang berada di negara tersebut. Begitu juga di Amerika Serikat, pada tahun 2016, U.S Sentencing Commission (Komisi Penghukuman A.S) menyatakan bahwa hanya 34% dari narapidana yang telah bebas dari tahun 2005 ditangkap kembali atau pengawasannya dicabut selama tiga tahun. Jumlah tersebut mencerminkan terjadinya penurunan tingkat residivisme sebanyak 16% selama beberapa dekade terakhir, dan setengah dari banyaknya laporan insitusi Pemasyarakatan di negara-negara besar seperti yang dilaporkan oleh The Bureau of Justice Statistics (Biro Statistik Keadilan di U.S).

Pada 21 Desember 2018, Presiden Amerika Serikat menandatangani Undang-Undang The First Step Act (FSA) Tahun 2018 (P.L. 115-391). Langkah tersebut merupakan puncak dari upaya pemerintah untuk meningkatkan kualitas sistem peradilan pidana, mengurangi ukuran populasi penjara melalui paradigma reintegrasi sosial, dan menciptakan mekanisme yang tepat untuk menjaga keselamatan publik.

Bagaimana fenomena-fenomena tersebut dapat terjadi? Jawabannya singkat, yakni negara hadir dalam mereposisi Pemasyarakatan sebagai tujuan pemidanaan. Kebijakan ini dilaksanakan oleh ketiga negara tersebut.

Doktrin reintegrasi sosial mentransmisikan kebijakan penegakkan hukum yang modern dengan melahirkan keputusan hukum dalam forma pidana alternatif, yang berupa pidana pengawasan dan pidana denda yang mengesampingkan total institution. Setengah dari narapidana di penjara Belanda menerima hukuman pidana penjara satu bulan, dan administrasi peradilan yang adil, cepat, dan tepat menjadi kunci berhasilnya upaya kontrol kapasitas penjara di Belanda melalui upaya diskresi, diversi, atau alternative dispute resolution.

Selanjutnya yakni kesamaan dan kesadaran pemikiran aparat penegak hukum melalui upaya mediasi yang diinisiasi oleh institusi Pengadilan, serta pendekatan zero recidivist pun turut serta memerankan dirinya dengan optimal.

Sejatinya reintegrasi sosial di Indonesia sudah dilaksanakan sejak tahun 1964 seiring lahirnya sistem Pemasyarakatan Indonesia. Kebijakan revitalisasi Pemasyarakatan, pelayanan hak reintegrasi WBP, pendekatan restorative justice bagi anak yang berkonflik dengan hukum, pembangunan Lapas, pembaharuan kebijakan melalui pengalihan fungsi Rutan menjadi Lapas, dan kebijakan-kebijakan lain merupakan upaya preemtif, preventif, dan represif dalam upaya menanggulangi terjadinya over-crowded.

Apakah upaya ini sudah berhasil? Nampaknya belum. Institusi Pemasyarakatan masih perlu melakukan upaya-upaya caesar (1) di luar Pemasyarakatan dalam menghadapi permasalahan ini.

Kajian terhadap permasalahan over-crowded ini seharusnya dikaitkan dengan tujuan pemidanaan. Pemasyarakatan bukanlah menjerakan seperti “Penjara” yang menganut paradigma detterence, bukanlah pembalasan dalam paradigma retributive, juga bukan rehabilitasi maupun resosialisasi yang memandang pelanggar hukum sebagai manusia yang mengalami kesakitan.

Transformasi paradigma penghukuman memberikan penegasan bahwa assembly line tujuan pemidanaan adalah Pemasyarakatan. Perlu adanya pembaharuan paradigma dalam berjalannya sistem peradilan pidana di Indonesia.

Sistem peradilan pidana (criminal justice system) merupakan sebuah sistem kinerja yang unsur-unsurnya terdiri dari lembaga kepolisian, kejaksaan, kepengacaraan atau advokat, pengadilan dan pemasyarakatan. (2)

Ada keseimbangan framework yang bekerja dalam sistem peradilan pidana ini, sehingga perlu digambarkan bagaimana framework pra-ajudikasi yang merupakan kewenangan kepolisian dan kejaksaan, tahap ajudikasi dengan kewenangan Peradilan, dan tahap pasca-ajudikasi dengan kewenangan penuh Pemasyarakatan. Subsistem ini bekerja secara simultan dengan mengacu pada kebijakan hukum negara, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP).

Reformasi terhadap sistem peradilan pidana dapat dilakukan dengan melakukan kodifikasi (3) terhadap jantung hukum Indonesia, yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disebut KUHP). Kita ketahui bersama bahwa pidana pokok yang dijelaskan dalam KUHP yang tersortir dalam urutan pertama adalah pidana penjara, Indonesia memiliki terlalu banyak tindak pidana dalam peraturan perundang-undangannya. Pemahaman bahwa pidana penjara harus selalu diposisikan sebagai pilihan terakhir untuk menyelesaikan permasalahan hukum. Pidana penjara kerap kali dinilai sebagai bentuk pemidanaan yang efektif dalam penegakan hukum.

Tercatat sejak era reformasi 1998 sampai pada tahun 2014, tercatat ada 563 Undang-Undang yang telah dibentuk dan disahkan oleh pemerintah. Dari jumlah tersebut, sebanyak 154 Undang-Undang mencantumkan Bab “Ketentuan Pidana” dan ada sekitar 1.601 perbuatan melanggar hukum yang bisa dikategorikan sebagai tindakan pidana. Kemudian terdapat 716 perbuatan merupakan jenis tindak pidana yang baru diperkenalkan. Selanjutnya, pidana penjara dirumuskan sedemikian represifnya dari tindakan pidana tersebut. Dari 1.601 tindak pidana tersebut, sebanyak 1.424 (88.9%) mencantumkan pidana penjara sebagai sanksinya.

Tidak sampai di sini saja, sistem peradilan pidana di Indonesia lebih menyukai sanksi kumulatif sebagai bentuk perumusan sanksi pidananya. Sanksi kumulatif ini biasanya menggabungkan pidana penjara dengan pidana denda dalam satu rumusan. Konsekuensinya adalah narapidana harus menjalani masa hukuman penjaranya dan membayar denda sebagai hukuman atas tindakan pidana yang dilakukannya.

Kasus yang demikian ditemukan pada 779 (49%) dari 1.601 tindakan pidana yang ada sejak 1998-2014.(4) Permasalahan baru pun kembali muncul apabila denda yang telah diatur dalam ketentuan pidana dipelbagai peraturan perundang-undangan yang ada sangat tidak rasional dengan kemampuan terpidana.

Sebagai contoh, UU. Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika, misalnya, memiliki denda paling sedikit sebesar 400 juta Rupiah dengan konsekuensi apabila denda tersebut tidak dibayar, terpidana harus menjalani pidana tambahan yakni pidana penjara paling lama 2 tahun. Dengan kondisi yang demikian, kita dapat berfikir logis bahwa narapidana justru mengambil konsekuensi tersebut dibandingkan dengan membayar denda yang begitu tinggi.

Selanjutnya, pandangan masyarakat Indonesia terhadap sistem hukum nasional juga masih bersifat konvensional. UU. Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, merupakan konstitusi nyata yang menegaskan bahwa tujuan pemidanaan adalah pemasyarakatan, yakni memandang pelanggar hukum sebagai manusia yang tersesat, dan perlu diberikan pembinaan untuk menjadi manusia seutuhnya kembali. Keberadaan undang-undang ini masih belum diketahui oleh banyak masyarakat Indonesia, sehingga terjadi kesalahpahaman dalam memandang pelanggar hukum.

Masyarakat masih menganut paradigma retributive maupun deterrence, yakni “siapa yang bersalah, dihukum seberat-beratnya, diberikan penggentaran dan penjeraan.” Terminologi hukuman penjara selalu ditempatkan sebagai alasan di balik penyusunan kebijakan pidana di Indonesia. Perlu diingat bahwa kita tidak bisa terus-menerus berlindung pada efek jera yang terasosiasi dalam hukuman penjara dengan mengeluarkan kebijakan yang punitif. Efek jera harus diukur dengan menggunakan indikator ilmiah yang didasarkan pada cabang keilmuan yang ada dan tidak berbasis hanya pada persepsi argumentatif dan tendensius.

Mereposisi Pemasyarakatan sebagai tujuan pemidanaan dan mempercepat pengesahan R-KUHP dapat menciptakan sebuah upaya penyelesaian perkara dalam framework pra ajudikasi melalui pendekatan restorative justice. Mengingat Indonesia telah memberlakukan UU. Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, tidak ada salahnya apabila meniru konsep penyelesaian perkara pidana dengan proses di luar pengadilan (transactionary out of judiciary) seperti yang telah dilaksanakan kepada anak dan negara-negara dengan penegakan hukum yang maju. Konsep hukum pidana yang positivistik dan modern dalam memandang pelanggar hukum dapat menjadi alat yang sahih untuk mengurangi permasalahan over-crowded di Lapas/Rutan.

Penyelesaian perkara pidana secara non-yustisial ini perlu dilakukan atas banyaknya runutan permasalahan sejumlah kasus tindak pidana ringan (insignificant cases) yang berakhir dipengadilan dan para pelakunya dijatuhi pidana penjara sehingga bermuara ke Lapas/Rutan yang menyebabkan uncontrolled over-crowded. Pemerintah perlu menjadikan sistem peradilan pidana non-yustisial ini sebagai upaya primaritas dalam framework pra ajudikasi. Menyamakan persepsi aparat penegak hukum dengan memprioritaskan paradigma Pemasyarakatan tersebut.

Upaya diskresi, diversi, atau alternative dispute resolution dapat ditempuh dalam rangka penyelesaian perkara pidana yang tergolong kasus-kasus ringan. Sub-sistem pada framework pra-ajudikasi lebih diberdayakan untuk dapat menyelesaikan perkara pidana secara mandiri di level Kepolisian, Kejaksaan, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban beserta Pemasyarakatan melalui Pembimbing Kemasyarakatannya. Penanganan perkara pidana dengan pendekatan Restorative Justice menawarkan pandangan dan pendekatan berbeda dalam memahami dan menangani suatu tindak pidana.(5)

Pendekatan ini dapat melawan otoritas negara yang penuh atas pemidanaan yang dibuktikan dengan lahirnya sistem peradilan pidana konvensional yang hanya berorientasi pada penyelesaian perkara pidana hanya melalui satu jalur, yakni melalui proses peradilan dengan hukuman penjara sebagai penetapan hukumnya, yang mana apabila dilakukan pembiaran terhadap permasalahan yang masif ini, maka over-crowded di lapas/rutan akan menjadi permasalahan mengakar.

Dapat ditarik benang merah, sistem peradilan pidana formal lebih diorientasikan terhadap tindak pidana yang lebih bersifat khusus, sedangkan sistem peradilan pidana dengan pengambilan keputusan dalam framework pra-ajudikasi melalui pendekatan Restorative Justice diorientasikan kepada tindak pidana yang bersifat lebih umum dan ringan. Sehingga, dengan upaya yang difokuskan pada framework pra-ajudikasi dapat mengontrol dan mencegah terjadinya over-crowded di Lapas/Rutan.

Opini ini berakhir dengan harapan agar negara dapat hadir memperbaiki tujuan pemidanaan dalam sistem peradilan pidana serta menegasikan paradigma masyarakat yang punitif, agar bertransformasi pada tujuan pemidanaan reintegrasi sosial dan paradigma masyarakat yang meninggikan nilai-nilai kemanusiaan, pemaafan, dan kedamaian. (*)

*) Oleh: Andi E. Sutrisno, A.Md.P., S.H., PJFU pada Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Jember

Kementerian Hukum dan HAM

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

keterangan pustaka:

1. Upaya caesar (ungkapan Moh. Mahfud MD) merupakan upaya luar biasa yang digunakan dalam menghadapi permasalahan dengan kompleksitas permasalahan yang rumit.

2. Reksodiputro, Mardjono. 2014. Tulisan “Pembaharuan Sistem Peradilan Pidana di Indonesia” dalam buku Demi Keadilan : Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta : Pustaka Kemang.

3. Kodifikasi merupakan pemuatan semua norma hukum (atau sekurang-kurangnya norma dasarnya) secara tertulis dan sistematis dalam suatu buku undang-undang.

4. Diakses di www.mappifhui.org tentang ‘Data Hukuman Pidana Penjara’ pada 17 Januari 2020.

5. Achjani Zulfa, Eva. 2014. Tulisan “Restorative Justice dan Reorientasi Bekerjanya Sistem Peradilan Pidana” dalam Buku Demi Keadilan : Antologi Hukum Pidana dan Sistem Peradilan Pidana. Jakarta : Pustaka Kemang.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dody Bayu Prasetyo
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES