Kopi TIMES

Siapa 'Tuan Baru' di Tahun Baru Untuk Purbalingga 2020?

Jumat, 13 Desember 2019 - 08:27 | 262.09k
Imam Fauzi Surahmat, S. AB., M. AB Supervisi Riset di Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny J A) dan Kandidat Doktor Bidang Kebijakan Publik di Universitas Brawijaya.
Imam Fauzi Surahmat, S. AB., M. AB Supervisi Riset di Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny J A) dan Kandidat Doktor Bidang Kebijakan Publik di Universitas Brawijaya.

TIMESINDONESIA, PURBALINGGATAHUN akan segera berganti, menuju tahun 2020. Di mana tahun 2020 akan menjadi tahun politik karena ada 270 pilkada yang digelar secara serentak. Pilkada akan dilaksanakan pada tanggal 23 September 2020 nanti, tidak terkecuali Purbalingga di dalamnya.

Pertanyaannya kemudian adalah, siapakah yang akan menjadi tuan baru di tahun 2020 mendatang? Akankah Purbalingga mendapatkan tuan yang baru? Ataukah tuan yang hari ini menjabat masih kuat di hati masyarakat Purbalingga?.

Tentu jawaban itu sangat beragam ketika ditanyakan untuk sekarang ini. Berbagai spekulasipun akan beriring menyertai tiap opini yang berkembang di dalamnya dengan versi optimistis masing-masing tentunya. Namun, jawaban pastinya adalah di penghujung bulan September 2020 yang akan datang.

Akan tetapi, setidaknya ada beberapa gambaran-gambaran awal saat ini yang bisa menjadi indikator untuk disimulasikan akan seperti apakah proyeksi konstalasi tahun 2020 nantinya di Purbalingga.

Pertama, adalah faktor incumbent (petahana). Variabel petahana tentu menjadi magnitude awal dalam konstalasi yang ada ketika masa jabatannya masih di periode pertamanya. Dalam hal ini incumbent ada dalam dua sisi baik menguntungkan atau malah menjadi sisi kerawanan. Bicara sisi menguntungkannya adalah, sudah menjadi rahasia umum bahwa incumbent dianggap mempunyai ruang dan “logistik” pemilu yang lebih well prepare dibandingkan kandidat yang lain.

Penguasaan struktur birokrasi dalam fungsinya sebagai kepala daerah bukan tidak mungkin akan menjadi ruang efektif internalisasinya, dan ketika kandidat yang lain hanya mempunyai ruang dan waktu kampanye kurang dari satu tahun. Sedangkan seorang incumbent diyakini telah “berkampanye” dalam empat tahun terakhir yang bisa jadi di breakdown dalam berbagai kebijakan strateginya yang langsung bersentuhan dengan publik.

Hal ini merupakan hal jamak yang terajadi dalam kontestasi pilkada secara langsung. Meskipun segala kewenangan incumbent tentunya secara Undang-Undang Kepemiluan dibatasi dalam aturan-aturan yang ada. Namun, fakta di lapangan seringkali berbicara lain.

Sedangkan faktor kerawanan atas konsekuensi sebagai incumbent adalah, harus siap menjadi “common enemy” ketika arus perubahan menjadi narasi oleh para penantang. Segala gerak-gerik incumbent akan menjadi perhatian serius oleh mereka.

Ketika ada sedikit saja celah atas kecelakaan politik yang dilakukan oleh pihak incumbent baik yang disengaja ataupun tidak, maka itu akan dijadikan sansak bersama oleh arus yang menempatkan sebagai lawan politiknya.

Kerawanan-kerawanan terhadap incumbent sangat mungkin terjadi tatkala tingkat kepuasan dan kepercayaan publik terhadap incumbent itu lemah. Pertanyaannya sekarang, di posisi manakah incumbent di Purbalingga? Kuat atau lemah dalam perspektif dan ekspektasi publiknya?

Pertanyaan di atas tentunya bisa dijawab oleh dua pendekatan-pendekatan ilmiah dengan survei opini publik atau pendekatan observatory atas arus pemberitaan kemediaan yang ada.

Pertama pendekatan ilmiah, yaitu pendekatan secara kuantitatif berbasis survei opini publik yang dilakukan oleh lembaga kredibel di luar pemerintah yang mampu memberikan gambaran data secara objektif dalam skala parametik yaitu ada diprosentase manakah posisi kepuasan publik terhadap kinerja incumbent. Sayangnya belum ada sajian data akan perihal tersebut, atau mungkin bisa dilihat dari data laporan RPJMD yang ada. Meskipun tentu ini versinya akan sangat govermently.

Pada konteks arus pemberitaan kemediaan di satu bulan terakhir mungkin bisa menjadi indikator akan perihal di atas. Di mana arus pemberitaan banyak diisi oleh kemunculan kandidat-kandidat yang mendeklarasikan sebagai calon bakal Bupati.

Dari review kemediaan yang ada, kurang lebih ada 10 orang yang ancang ancang untuk ikut berkompetisi, dimana mereka masih didominasi oleh kalangan politisi dan hanya beberapa yang dari ranah profesional. Banyaknya bakal calon yang bermunculan setidaknya menjadi ruang konfirmatif bahwa mereka melihat adanya keterbukaan peluang dalam kontestasi pilkada 2020. Jika diartikkan lebih lagi, setidaknya para penantang yang siap maju ini menafikkan keberdaan dan kekuatan incumbent.

Tentu ini harus menjadi point perhatian sendiri bagi incumbent dalam breakdown strategi politiknya untuk mengamankan tahtanya di tahun 2020 mendatang.

Fakta menarik di pilkada serentak tahun 2018 yang lalu, dari 170 gelaran pilkada yang ada, hanya 64 (38%) incumbent  yang dapat memenanginya lagi. Artinya, kekuatan incumbent bukanlah tembok besar yang seolah tidak mungkin untuk diruntuhkan.

Namun banyaknya bakal calon yang muncul sejatinya juga menjadi PR tersendiri dari wacana poros penantang dalam payung koalisi besar yang coba akan dideklarasikan. Tentunya tidak akan mudah mengakomodir banyaknya kepentingan politik untuk ada dalam satu frame koalisi. PR besarnya juga adalah, mampukah koalisi besar menghadirkan dua putra terbaik dari sedemikian banyak bakal calon yang mencoba peruntungan lewat gerbong ini. Tanpa ada yang merasa diabaikan, tanpa ada yang merasa dirugikan dan pastinya tanpa ada yang merasa dikalahkan.

Sosok “GoodFather” atau “KingMaker” dalam koalisi besar seharusnya ada untuk menjadi katalis akan semua kepentingan yang ada, namun sayangnya figur King Maker tersebut belum tampak ada di barisan koalisi besar tersebut. Padahal perannya akan cukup signifikan untuk mampu mendirijeni dan  kemudian mampu mengkerucutkan dalam bentuk satu pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati yang kompetitif dan punya peluang besar memenangkan kontestasi yang ada.

Salah dalam merangkum kepentingan-kepentingan para bakal calon yang ada dan justru ego yang muncul dari tiap-tiap mereka. Maka yang terjadi bisa jadi adalah sebaliknya yang justru akan kontra produktif terhadap wacana koalisi besar yang sedang dibangun.

Lagi-lagi hal ini bisa menjadi keuntungan tersendiri bagi pihak incumbent untuk terus melakukan cara agar koalisi besar ini tidak terbentuk, karena bagi incumbent semakin banyak kandidat yang akan muncul dalam kontestasi ini merupakan peluang tersendiri. Karena dalam pilkada sekarang ini sudah tidak ada lagi format putaran kedua, artinya berapapun tingkat keunggulannya akan otomatis memenangi kontestasi ini.

Strategi mengalahkan pertahanan yang masih efektif sampai hari ini adalah head to head, artinya hanya ada dua pasang kandidat. Hal ini akan sangat menguntungkan bagi pihak penantang. Tidak lupa di pilkada 2015 yang lalu sang Bagong yang sejatinya hanyalah “boneka” hampir saja memenangi kontestasi ini.

Artinya Purbalingga punya “Yurisprudensi” akan perihal tersebut. Review itu yang harusnya dibaca oleh kedua belah pihak, baik incumbent dan penantang dalam meracik strateginya kedepan.

Salah satu way out yang bisa dilakukan oleh koalisi besar dalam penentuan sikap akhirnya tentang siapa nantinya yang secara final diusung adalah dengan melakukan konvensi secara terbuka dan objektif dalam proses penjaringannya, yang kemudian masyarakat secara langsung bisa ikut melakukan penilaian dalam konteks uji publik.

Koalisi besar ini juga seharusnya terus membuat road show dalam bentuk talk show antar kandidat dalam berbagai tema ke berbagai penjuru wilayah Purbalingga.

Setidaknya wahana tersebut bisa menjadi uji kompetensi bakal calon untuk bisa dilihat secara langsung kadarnya masing-masing. Hal ini penting untuk menjadi filter awal dalam memperoleh kandidat terbaiknantinya. Sekaligus juga, menjadi uji nyali para kandidat dalam meyapa publik.

Pun para kandidat yang mencoba masuk gelanggang lewat tiket koalisi besar ini juga harus menunjukan keseriusannya masing masing secara utuh, yang tentunya harus juga didukung akan akurasi data survei tentang bagaimana tingkat pengenalannya, pupolaritas, kesukaan serta elektabiltasnya karena itulah hukum besi dalam proses pilkada langsung saat ini, dan juga track recordnya yang kemudian harus menjadi landasan utama dalam penetuannya.

Artinya siapakah yang mendapatkan kans terbesar dari maping yang ada dari hasil survei oleh lembaga survei yang kredible yang biasanya sudah terdaftar dalam list lembaga lembaga survei yang di rekomendasikan oleh masing masing DPP Partai Politik, konsesus awal sperti ini penting agar nantinya hasil dari finalisasi kandidat yang akan diusung oleh koalisi besar tidak menjadi kontra produktif.

Siapa Tuannya di tahun 2020 mendatang? Penentunya adalah tetap anda warga masyarakat Purbalingga dan tetaplah cerdas dalam memilih. Tetaplah cedas dalam mengkritisi akan siapa yang akan anda pilih. Selamat berdemokrasi warga masyarakat Purbalingga.

* Penulis Imam Fauzi Surahmat, S. AB., M. AB Supervisi Riset di Lingkaran Survei Indonesia (LSI Denny J A) dan Kandidat Doktor Bidang Kebijakan Publik di Universitas Brawijaya.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES