Kopi TIMES

Membangun Rumah Peradaban

Kamis, 12 Desember 2019 - 21:53 | 90.17k
Edi Sugianto, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Ghuraba Jakarta
Edi Sugianto, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Ghuraba Jakarta

TIMESINDONESIA, JAKARTA – dir="ltr">Sejarah mencatat bahwa masjid adalah rumah peradaban umat Islam sejak awal kejayaan. Nabi Muhammad Saw. tidak hanya memfungsikan masjid sebagai tempat ibadah, tetapi juga rumah ekonomi, politik, militer, dan pendidikan. Quba dan Nabawi adalah saksi zaman yang tak diragukan.

Nabi membangun rumah peradaban dengan fondasi takwa yang kokoh (QS, 9: 108), menghiasnya dengan keteladanan yang sempurna (QS, 33: 21). Tak heran di masanya lahir manusia-manusia istimewa, sekaligus menjadi era yang bergelimang berkah. Sungguh, karena mereka memegang teguh nilai-nilai agama. 

Jadi, dimensi takwa sebagai dasar rumah peradaban adalah bermakna holistik, baik nilai agama yang vertikal; hubungan dengan Allah Swt. dan horizontal; hubungan dengan sesama manusia.

Norma agama tidak hanya menggema di sudut menara rumah peradaban, namun juga menembus pusat-pusat ekonomi, budaya, dan ilmu pengetahuan. Rumah peradaban mampu menjembatani masyarakat dan problematika kehidupan.

Rumah peradaban menjadi sentral pembebasan dari kukufuran, kebodohan, dan kemiskinan. Kala itu, spirit religius dan spirit keadilan tumbuh menyatu dalam kehidupan umat Islam. Tak mengenal kasta, harta, dan tahta. Semua diberlakukan dengan adil (by equity).

Masyarakat hidup sejahtera penuh kedamaian. Sebab, mereka tulus menyembah Allah Swt. di waktu siang dan malam (QS. 106: 3-4). Shalat Subuh dan Jum'at adalah nyaris tak ada perbedaan. Saf terdepan selalu menjadi rebutan, mereka tahu tentang keutamaan yang dijanjikan.

Sekarang, apakah demikian? Nampaknya sangat sulit diiyakan. Mungkinkah membangun kembali rumah peradaban? Adalah pertanyaan yang membutuhkan jawaban faktual. Lalu, bagaimana mewujudkan?

 

Shalat Berjamaah

Sebagai rumah peradaban, secara umum masjid memiliki empat misi. Pertama, membina masyarakat agar senantiasa beriman kepada Allah Swt. dan hari akhir. Kedua, membimbing masyarakat supaya mendirikan shalat dengan kontinuitas dan kualitas terbaik. Ketiga, menyejahterakan dan membina masyarakat untuk hidup sejahtera. Keempat, menjadikan masyarakat merdeka, hanya takut kepada Allah Swt semata (QS. 9: 18).

Pertanyaannya, bagaimana mengukur kemakmuran masjid? Menurut takmir masjid Jogokariyan (2018), ada tiga hal ukuran kemakmuran masjid. Pertama, seberapa banyak jumlah jamaah shalat 5 waktu. Kedua, seberapa luas masyarakat menjadikan masjid sebagai sarana beraktivitas dan kreativitas. Ketiga, seberapa efektif masjid membentuk dan membimbing masyarakat. 

Di Indonesia, jumlah masjid dan mushalla sudah tak terhitung, perkiraan data terakhir adalah 800 ribu. Memang, semangat membangun rumah peradaban ini adalah luar biasa, tetapi lupa memakmurkannya. Faktanya, di banyak masjid, jamaah shalat lima waktu saja tidak lebih dari dua atau tiga saf. Benar kata Buya Hamka, kalau mau melihat orang Islam (KTP) lihatlah saat Hari Raya Idul Fitri, tetapi jika ingin menyaksikan orang beriman datanglah ketika shalat Subuh berjamaah.

Allah Swt. melalui lisan nabi-Nya telah memberikan bonus pahala berlipat hingga 27 derajat, anehnya tak banyak yang mengambilnya. Padahal, jika itu urusan dunia, pastilah manusia berbondong-bondong mengantre gilirannya.

Shalat merupakan barometer keshalehan hidup seseorang, individu atau pun sosial. Bahkan al-Faruq, Umar bin Khattab ketika menjadi khalifah, menjadikan shalat sebagai tolak ukur profesionalisme kinerja dan konsistensi para pejabat negara. (QS. 29: 45).

Bahkan menurut hadis, shalat adalah perkara yang pertama dihitung di akhirat kelak. “Hal pertama yang dihisab dari seorang hamba pada hari kiamat dari amalannya adalah shalat. Apabila shalatnya baik maka sungguh ia telah sukses dan selamat. Sebaliknya, apabila rusak maka sungguh ia telah gagal dan merugi.” (HR. Abu Dawud: 864, Tirmidzi: 413, an Nasa’i: 465).

 

Pelayanan Masjid

Masjid sebagai rumah peradaban mesti memiliki sistem pelayanan yang prima. Di antaranya adalah melayani umat dalam masalah pendidikan. Pendidikan menjadi fokus utama dan pertama ketika nabi memakmurkan masjid. Sebab, pendidikan sangat erat hubungannya dengan kualitas generasi selanjutnya.

Mirisnya, kini generasi Islam lebih bersemangat untuk pergi ke sekolah daripada pergi ke masjid. Padahal, masjid dan pendidikan tempo dulu adalah kesatuan yang tak bisa dipisahkan. Di rumah peradaban ini, generasi Islam mempelajari logika, bahasa, matematika, dan lain-lainnya.

Karena itu, masjid sebagai rumah peradaban perlu didesain ulang menjadi tempat belajar yang asyik dan representatif, sebagaimana kala itu nabi Muhammad Saw. mengkader para sahabat menjadi umat terbaik.

Selain pelayanan pendidikan. Di Indonesia, beberapa masjid mulai memperhatikan pelayanan kesehatan, sosial, bahkan menyediakan fasilitas kesenian, dan olahraga agar anak-anak muda betah berkreativitas di lingkungan masjid.

Tak ada batasan dalam kegiatan di masjid. Diskusi politik adalah tidak haram, apalagi masalah ekonomi yang terus menjadi sorotan. Batasan masjid tidak lain adalah apa yang dilarang Al-Qur'an itu sendiri, seperti penghasutan dan perpecahan umat. (QS. 3: 105). 

Dari masjid, dulu umat Islam menggapai puncak kajayaan dan kegemilangan yang luar biasa. Saya kira, kini saatnya umat Islam membangun kembali rumah peradaban yang sejati. Semoga! (*)

 

*)Penulis: Edi Sugianto, Dosen Institut Agama Islam (IAI) Al-Ghuraba Jakarta

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES