Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Implementasi Reformasi dalam Pembangunan Otonomi Daerah

Kamis, 12 Desember 2019 - 13:39 | 199.50k
Viki Anggraeni Ayu V. (Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik, FIA Unisma Malang), Peresensi Buku Reformasi Kebijakan Publik
Viki Anggraeni Ayu V. (Mahasiswa Ilmu Administrasi Publik, FIA Unisma Malang), Peresensi Buku Reformasi Kebijakan Publik
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Reformasi Kebijakan Publik dalam kata reformasi dapat kita pahami memiliki arti sebuah perubahan dimana perubahan yang dimaksud yaitu sebuah perubahan yang membawa suatu kondisi menjadi lebih baik. Reformasi kebijakan publik sendiri lebih berorientasi pada kebijakan, sistem dan tatanan pemerintah. Suatu perubahan yang diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat yang mencakup khalayak luas, perubahan yang diharapkan mampu untuk mencapai tujuan bersama dan nantinya perubahan itu dapat kita lihat apakah berdampak baik atau malah sebaliknya. Seperti halnya dapat kita flashback tentang Sejarah Indonesia terkait bergulirnya Reformasi pada tahun 1998 yang telah menimbulkan sebuah perubahan besar pada tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Sebuah peristiwa sejarah yang fundamental bagi perjalanan bangsa Indonesia karena pada masa itu sebuah perubahan besar tejadi dari beralihnya Masa Orde Baru ke Masa Reformasi hingga saat ini, yang akhirnya melahirkan sebuah amanat reformasi 1998 yaitu Amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Dalam amandemen tersebut terdapat pasal-pasal krusial yang salah satunya adalah pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi tentang beberapa peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pemerintahan daerah dan menjadi payung hukum dalam implementasi otonomi daerah dan juga tentang pelaksanaan desentralisasi di Indonesia, beberapa perubahan yang terjadi pada peristiwa tersebut dinamakan sebagai reformasi birokrasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Reformasi Kebijakan pada dasarnya menganut sistem desentralisasi dimana semua kegiatan pemerintahan atas tugas dan wewenangnya dibagi antara pusat dan daerah, sistem ini menyeimbangkan antara urusan pusat dan daerah yang memiliki porsinya masing-masing. Pada masa orde baru otonomi daerah diseragamkan dengan semua daerah yang menyebabkan sebuah pemerintah daerah tidak dapat berkembang dikarenakan keseragaman yang tidak cocok dengan ciri-ciri negara Indonesia yang memiliki banyak perbedaan yang disebut “Bhineka Tunggal Ika”. Karena semua jenis urusan dilimpahkan kepada daerah dan diimplementasikan seragam, akibatnya daerah tidak berdaya dan tidak berkembang dalam melaksanakan otonomi yang sifatnya semu dan simetris.

Pada masa orde baru melalui UU no. 5 tahun 1979 tentang desa, pada peraturan tersebut desa tidak memiliki otonomi untuk diberdayakan dan dikembangkan guna menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Namun, pada periode UU no. 22 tahun 1999 dan UU no. 32 tahun 2004, posisi desa sudah dibenahi oleh pemerintah dengan mengeluarkan PP no. 76 tahun 2001 yang kemudian digantikan dengan PP no. 72 tahun 2005. Dengan demikian pada pemerintahan yang baru dibuatlah Undang-Undang khusus yang mengatur tentang desa, yaitu UU No. 6 Tahun 2014. Dengan peraturannya yang baru ini membuat desa lebih berkembang dan berdaya dalam mejalankan pemerintahan dan pembangunan karena desa memiliki otonomi sendiri melalui pemberian bantuan dana desa melalui Alokasi Dana Desa oleh pemerintah pusat yang diharapkan dapat memicu pembangunan yang cepat dan merata diseluruah tanah air.

Pemerintahan desa umumnya meliputi kelurahan, rukun warga hingga rukun tetangga. Kecamatan menjadi pemerintahan pusat yang mengkoordinator desa-desa yang menjadi tanggung jawabnya. Dengan adanya pemerintahan desa, pembangunan dirasa lebih cepat dan merata berkat bantuan dana desa, dan hal tersebut memudahkan pemerintah dalam memonitor dan mengatur daerah. Pembangunan desa pun hendaknya tidak hanya menjadikan desa sebagai objek pembanguan tetapi sekaligus menjadikan desa sebagai subjek pembanguan yang mantap, artinya subjek pembangunan adalah desa secara keseluruhan meliputi potensi manusia (SDM), sumber daya alam (SDA), dan teknologinya, serta mencakup segala aspek kehidupan dan penghidupan yang ada di pedesaan (Rozaki, 2005:7). Sehingga menjadikan desa memiliki klasifikasi desa swasembada, yaitu desa yang berkembang dimana taraf hidup dan kesejahteraan masyarakatnya meningkat. Swasembada desa tentunya penting sekali ditunjang oleh sumber daya manusia yang mumpuni oleh sebab itu perlu dilakukan kegiatan-kegiatan yang merubah pola pikir masyarakat setempat agar lebih berkembang dan inovatif. Kegiatan perubahan ini biasa disebut juga pemberdayaan, yaitu kegiatan yang dilakukan atas pemberkuasaan maksudnya kegiatan yang dilakukan atas kemauan sesorang yang memiliki kekuasaan yang terlepas dari keinginan dan minat mereka. Memang pemberdayaan ini bersifat sedikit memaksa namun pemaksaan untuk hal yang positif, karena dalam kegiatan pemberdayaan ini masyarakat memperoleh ilmu-ilmu tentang bagaimana cara mengelola sumber daya yang berpotensi disekitarnya. Dengan adanya kegiatan pemberdayaan ini diharapkan mampu merealisasikan strategi pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam kegiatan pemberdayaan melibatkan tiga pihak, yaitu pemerintah, swasta dan warga desa.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Otonomi daerah memang dapat membawa perubahan positif dalam hal kewenangan daerah untuk mengatur urusan daerahnya sendiri. Tentunya sistem desentralisasi inilah yang sangat diimpikan oleh daerah-daerah di Indonesia karena pada masa orde lama dan orde baru tidak ada yang namanya otonomi daerah, semua urusan terpusat dengan menganut sistem sentralisasi dan itu yang membuat daerah merasa tertinggal karena pemerintahan pusat sibuk dengan urusan negara dan tidak peduli dengan urusan daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini banyak dampak positif yang didapat namun juga ada dampak negatifnya yaitu salah satunya KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Berdasarkan data Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) sejak tahun 2005 hingga sekarang, jumlah bupati/walikota/gubernur yang terjerat korupsi mencapai 297 kepala daerah. Data berbeda tetapi dengan substansi yang sama dilansir oleh Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, yang mencatat dalam rentang kurun 10 tahun terakhir atau dari tahun 2004-2013, ada 42 kepala daerah yang terjerat kasus hukum. Angka itu terdiri dari gubernur 8 orang, walikota 10 orang, wakil walikota 1 orang, bupati 22 orang, dan wakil bupati 1 orang (Eputar Indonesia, 2 Agustus 2013,4).

Desentralisasi yang merupakan amanah UU No. 22 tahun 1999 bagaimana telah diubah dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, yang mengubahn pandangan kita tentang bagaimana keefektifan serta efisiennya kegiatan pemerintah daerah dengan adanya Otonomi Daerah namun malah melahirkan para koruptor dikalangan daerah. Korupsi yang awalnya dilakukan oleh para pejabat yang ada dipusat karena pada saat itu semua urusan negara dan semua urusan pemerintah dijalankan oleh pusat dengan menganut sistem Sentralisasi atau terpusat. Jadi apakah kegiatan pemerintahan daerah dengan adanya Otonomi Daerah dapat dinilai positif atau malah sebaliknya? jawabannya terdapat pada buku Reformsi Kebijakan Publlik Perspektif Makro dan Mikro dengan berbagai macam teori dari para ahli di bidang administrasi publik, kebijakan publik dan birokrasi. Buku ini juga dilengkapi dengan contoh implementasi  dari beberapa teori terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah yang dimana ini membantu menemukan titik permasalahan yang dapat dijadikan bahan evaluasi untuk diterapkan pada kebijakan selanjutnya. Buku ini juga dapat menjadi referensi bagi para akademisi, tenaga pengajar maupun mahasiswa untuk bisa diterpkan pada sektor publik.

Resensi-Reformasi-Kebijakan-Publik-hayat.jpg

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES