Kopi TIMES

Khilafah, Imamah dan Khalifah

Rabu, 11 Desember 2019 - 20:52 | 722.04k
Harjoko Sangganagara, adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Kab Bandung.
Harjoko Sangganagara, adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Kab Bandung.

TIMESINDONESIA, BANDUNG – Hari ini dunia medsos diramaikan dengan pernyataan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Sukarnoputri soal khilafah. Ada baiknya kita sedikit membahas soal tersebut agar jelas duduk perkaranya. Tulisan ini saya tujukan ke dalam PDI Perjuangan dan ke luar, ke khalayak ramai.

Pada tahun 1924 Turki di bawah Kemal Attaturk, menghapuskan jabatan khalifah. Dengan adanya kekosongan kekhalifahan tersebut, Raja Faruq dari Mesir dan Raja Ibn Saud dari Arab Saudi bermaksud menyelenggarakan suatu Konferensi Islam internasional guna membahas masalah kekhalifahan tersebut. Kaum muslim Indonesia membentuk komite-komite yang akan menghadiri dua konferensi tersebut.

Seputar Khilafah
Sepeninggal Nabi Muhammad SAW, kondisi yang dihadapi oleh umat Islam makin kompleks. Termasuk menyangkut kepemimpinan politik masyarakat Islam, yang lazim disebut khilafah.

Secara etimologis, kata khilafah berarti perwakilan, penggantian. Dalam sejarah, khilafah dikenal sebagai institusi politik Islam pengganti atau penerus fungsi Rasulullah SAW sebagai pembuat syarat dalam urusan agama dan politik.

Ibn Khaldun mengatakan bahwa sinonim khilafah adalah imamah, yang berkaitan dengan penggantian fungsi Rasulullah SAW oleh seseorang untuk memelihara agama dan mengatur kehidupan dunia (harasat ad-din wa siyasah ad-dunya). Dengan kata lain, sebagaimana khilafah, imamah adalah kepemimpinan menyeluruh yang berkaitan dengan urusan agama dan dunia.

Kata lain yang terkait dengan khilafah adalah khalafah yang berarti wakil, pengganti, mandataris atau deputi. Khalifah ialah seseorang yang menggantikan atau melanjutkan kedudukan orang sebelumnya, atau seseorang yang menggantikan kedudukan orang lain untuk melaksanakan fungsi-fungsi khilafah.

Secara historis, istilah khalifah dan khilafah muncul sejak terpilihnya Abu Bakar as-Siddiq sebagai pemimpin umat yang menggantikan atau melanjutkan kepemimpinan Nabi SAW sehari setelah Nabi SAW wafat.

Setelah Abu Bakar meninggal, secara berturut-turut terpilih Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Mereka berempat dikenal sebagai al-Khulafa' ar-Rasyidun atau para khalifah yang terpercaya atau yang mendapat petunjuk (dari Allah SWT). Sebutan ini berkaitan dengan kepemimpinan atau kapasitas mereka sebagai kepala negara dan pemimpin negara.

"Pemerintahan empat khalifah tersebut merupakan khilafah yang sejati..." Setelah kepemimpinan empat khalifah berakhir, model kepemimpinan khilafah selanjutnya ialah dinasti atau kerajaan yang mengikuti tradisi pengangkatan raja-raja secara turun temurun. Hal itu bisa dilihat dalam praktik yang diterapkan:
(1) Dinasti Umayyah di Damaskus dengan 14 khalifah.
(2) Dinasti Abbasiyah di Baghdad (740-1258) dengan 37 khalifah.
(3) Dinasti Umayyah di Spanyol (756-1031) dengan 18 khalifah.
(4) Dinasti Fatimiah di Mesir (909-1171) dengan 14 khalifah.
(5) Dinasti Usmani di Istanbul (1299-1924) dengan 37 khalifah.
(6) Dinasti Safawi di Iran (1501-1722) dengan 9 syah.
(7) Dinasti Mogul di India (1526-1858).

Dalam tradisi historiografi Islam umumnya bertolak dari anggapan bahwa kekhalifahan sejati berakhir hanya sampai Ali bin Abi Thalib. Selanjutnya kekhalifahan berubah menjadi kerajaan (mulk) dan bersifat turun temurun, serta banyak dari mereka tidak memperlihatkan sifat yang saleh seperti al-Khulafa' ar-Rasyidun. Oleh karena itu praktik pada masa Khulafa' ar-Rasyidun menjadi patokan dasar bagi teori-teori kekhalifahan sesudahnya.

Secara umum, praktik kepemimpinan sosial politik era Khulafa' ar-Rasyidun tidaklah terikat dengan suatu sistem tertentu. Polanya merupakan penggabungan kepemimpinan militer-politik dengan kharisma agama. Sistem yang diterapkan Khulafa' ar-Rasyidun nampak dalam soal suksesi. Mereka mengintroduksi mekanisme musyawarah (konsultasi) termasuk dalam suksesi kepemimpinan politik. (Din Syamsuddin & Sudarnoto, Khilafah, ETDI, 2003:2).

Upaya mengimplementasikan gagasan pembaruan bukan tanpa risiko. Sering terjadi perdebatan bahkan benturan keras. Misalnya antara Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bin Abi Sufyan, yang masing-masing mewakili pandangan tentang masyarakat Islam yang dicita-citakan. Ali merepresentasikan mazhab yang memperjuangkan suatu masyarakat ideal yang dipimpin oleh pemimpin yang memperoleh petunjuk suci dan harus merupakan keturunan atau keluarga dekat Nabi Muhammad SAW.

Sementara Mu'awiyah merupakan wakil dari garis realis praktis (practical realist) yang lebih condong menawarkan gagasan menegakkan Imperium Arab (tribal state) yang didasarkan pada prinsip-prinsip realitas politik. Karena itu John Obert Voll menganggap Mu'awiyah sebagai Caesar of the Arabs ketimbang menjadi khalifah sebagaimana empat khalifah sebelumnya, sementara Ali merefleksikan kekuasaan ideal yang dipimpin oleh orang saleh dan memperoleh petunjuk suci dari Allah SWT.

Ketegangan masalah agama dan politik ini juga diramaikan oleh fenomena Aisyah (istri Nabi SAW) dan kelompok Khawarij. Aisyah muncul pada era Ali untuk menuntut dua hal. Pertama, menindak tegas pelaku pembunuhan terhadap Usman bin Affan. Kedua, pemilihan khalifah pengganti Usman, yang berarti menggugurkan kekhalifahan Ali.

Sementara kelompok Khawarij yang muncul di tengah-tengah konflik antara Ali dan Mu'awiyah menegaskan adanya kaitan kuat antara ketaatan terhadap agama dan implikasi wahyu terhadap tatanan kehidupan.

Atas dasar ini, Khawarij menandaskan bahwa sesungguhnya tidak ada kekuasaan kecuali kekuasaan Allah. Menurut mereka siapapun berhak menjadi khalifah sepanjang dia tetap konsisten terhadap aturan Tuhan. Jargonnya "la hukma illa Allah".

Kelompok ini menawarkah prinsip-prinsip egalitarianisme kepimpinan. Kelompok ini kemudian berhadapan baik dengan legitimisme Syiah dan pragmatisme Umayyah. Khawarij tidak pernah menjadi arus utama agama politik, namun mereka senantiasa agresif mengkampanyekan gagasan-gagasan dasarnya dalam rangka mewujudkan perubahan masyarakat Islam. Garis Umayyahlah yang cukup kokoh dan berhasil menegakkan imperium yang sangat efektif. Keberhasilan Ummayah ini menjadi awal perjalanan yang sangat panjang sejarah imperium Islam. (*)

*) Penulis: Harjoko Sangganagara, adalah Ketua DPC PDI Perjuangan Kab Bandung

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES