Kopi TIMES

Open To All And Open-Exit Vocational Education

Minggu, 08 Desember 2019 - 11:07 | 108.72k
Jemmy A. Pakaja (Grafis: TIMES Indonesia)
Jemmy A. Pakaja (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Kebutuhan akan sumber daya manusia yang mampu bersaing dalam pasar bebas di era globalisasi ini menjadi semakin penting. Penyiapan tenaga kerja yang siap dengan pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan kompetensi standar internasional, serta mampu bertindak sebagai wirausahawan sangat perlu untuk digalakkan. Berbagai kendala dan tantangan yang dihadapi dalam pengembangan sistem pendidikan masih sangat kompleks, utamanya dalam bidang pendidikan kejuruan. Kurangnya guru produktif di Sekolah Menengah Kejuruan yang disampaikan oleh Pelaksana tugas Dirjen Kelembagaan Iptek dan Dikti dalam kegiatan 1st Indonesia Vocational Education and Training Summit 2019 bulan Oktober lalu di Jakarta menjadi salah satu indikator kendala yang dihadapi pendidikan kejuruan saat ini. Berbagai upaya dilakukan pemerintah untuk mengatasi kendala-kendala yang dihadapi, diantaranya dengan melibatkan Lembaga Pendidikan Tenaga Keguruan (LPTK) dalam menyelenggarakan program-program peningkatan dan pengembangan keterampilan.

Program-program pengembangan keterampilan yang ada saat ini umumnya masih terbatas bagi para guru, yang pesertanya pun telah ditetapkan oleh pemerintah pusat. Sementara  banyak masyarakat umum lainnya yang menginginkan dan membutuhkan program-program peningkatan pengetahuan dan keterampilan di bidang kejuruan yang terbuka secara umum, seperti misalnya guru yang ingin meningkatkan kompetensi maupun yang ingin mempelajari pengetahuan dan keterampilan baru; para pekerja yang ingin memperbaharui keterampilannya sesuai dengan perkembangan teknologi agar tidak terlindas oleh kecanggihan jaman; serta para pencari kerja yang ingin menambah pengetahuan dan keterampilan sebagai modal untuk memasuki pasar kerja. Mereka tidak terlayani di institusi-institusi pendidikan kejuruan karena berbagai hal, seperti terbatasnya usia untuk mengikuti pendidikan, tidak tersedianya program-program pelatihan bagi masyarakat umum serta berbagai kendala persyaratan lainnya. 

Belum adanya regulasi di institusi pendidikan kejuruan yang mengatur pelaksanaan program pengembangan keterampilan secara terbuka bagi masyarakat umum, serta kurangnya kepekaan para pemangku jabatan dalam melihat serta mengakomodir permasalahan ini, dapat menyebabkan hilangnya motivasi dan semangat masyarakat dalam mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya, yang pada akhirnya akan menimbulkan multi-efek di berbagai bidang. Hal ini kurang sejalan dengan prinsip-prinsip ataupun idealisme dalam pendidikan kejuruan. 

Tokoh-Tokoh terdahulu di awal lahirnya pendidikan kejuruan, berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memikirkan bagaimana kelangsungan dan perkembangan pendidikan kejuruan ditengah-tengah masyarakat. Morrill pada tahun 1862, yang menghibahkan tanah untuk membiayai pendirian perguruan tinggi kejuruan, Smith-Hughes pada tahun 1917 dalam Kongres Amerika Serikat yang mempromosikan dan menyediakan dana federal untuk pendidikan kejuruan, maupun Carroll S. Page pada tahun 1912 sebagai senator AS yang menyampaikan pandangannya dihadapan senat tentang pentingnya pendidikan kejuruan dalam kesejahteraan dan masa depan Amerika Serikat, serta berbagai usaha tokoh lainnya dalam kelangsungan pendidikan kejuruan. Semuanya berusaha dan berjuang agar pendidikan kejuruan dapat berjalan dan menjadikannya sebagai program prioritas nasional. 

Menurut Miller & Melvin (1984), salah satu prinsip yang sangat menentukan dalam pelaksanaan pendidikan kejuruan adalah “open to all”.  Mereka berpendapat bahwa pendidikan kejuruan adalah pendidikan yang terbuka untuk semua, dan dimaksudkan untuk melayani siapa saja yang membutuhkan program-program pendidikan/pelatihan tanpa dibatasi oleh usia, dan  belum terlayani dalam pendidikan formal. Akses untuk pendidikan kejuruan seharusnya berbanding lurus terhadap kebutuhan, Pemerintah dan institusi pendidikan merupakan salah satu kriteria akses yang juga sangat menentukan perkembangan pendidikan kejuruan. Mereka dapat bekerja sama melakukan berbagai studi, baik itu survei, monitoring, maupun analisis kebutuhan yang bisa dijadikan sebagai dasar dalam penentuan kebijakan maupun terobosan dalam penyelenggaraan pendidikan kejuruan. 

Konsep penyelenggaraan pendidikan kejuruan haruslah bersifat Open-entry atau open–exit, agar dapat melayani berbagai lapisan masyarakat. Hal ini berarti, jika ada kebutuhan dan permintaan terhadap suatu bidang pendidikan dan keterampilan, maka program pendidikan tersebut harus dibuka, tentunya harus sesuai dengan berbagai ketentuan dan prosedur yang berlaku, serta memberhentikan program tersebut ketika tidak ada lagi permintaan. Pemerintah dan Institusi pendidikan harus lebih jeli melihat berbagai kemungkinan dan perkembangan pendidikan kejuruan di lingkungan masyarakat. Pada akhirnya, dibutuhkan sebuah terobosan dan keberanian institusi pendidikan kejuruan dalam mengeksplorasi berbagai peluang tanpa harus terkungkung oleh regulasi yang ada, sehingga prinsip “open to all” dan “open-exit” dalam pendidikan kejuruan benar-benar dapat terwujud dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat umum. (*)

*) Penulis Jemmy A. Pakaja, Pembimbing Prof Dr Ir Djoko Kustono, M.Pd, Prodi Doktoral Pendidikan Kejuruan, Fakultas Teknik, Universitas Negeri Malang

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES