Kopi TIMES

Resolusi Kontra Ekstremisme

Senin, 02 Desember 2019 - 13:46 | 69.47k
Penulis: Hasanudin, Pemerhati Sosial Keagamaan
Penulis: Hasanudin, Pemerhati Sosial Keagamaan

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ekstremisme dan populisme menjadi dua di antara sekian persoalan kebangsaan yang sepanjang tahun 2019 paling mendapatkan sorotan.

Banyak pihak menyadari, bahwa segregasi sosial yang semakin keras, emosi keagamaan yang mudah dibakar, hingga perilaku barbar atas nama agama, adalah sekian di antara symptom ekstremisme dan populisme.  

Populisme berbasis identitas agama mengambil bentuk yang lebih eufimistis dari ekstrimisme. Tetapi tidak dipungkiri, populisme berpotensi mendistraksi kehidupan berbangsa kita. Politik identitas agama (baca Islam) yang menandai populisme tersebut berpotensi menjadi ancaman terhadap keragaman bangsa Indonesia (Ma’arif, 2010). 

Populisme akhir-akhir ini telah nyata menjadi ancaman bagi tenunan kebangsaan kita. Populisme ini berbahaya karena senantiasa berangkat dengan narasi symbol agama yang rentan menghipnotis emosi massa. Di samping itu populisme merupakan penyimpangan dari moderasi beragama.

Survei yang dilakukan oleh Setara Institute sebagaimana dirilis 30 Juni 2019 menjadi peringatan bagaimana gerakan kontra moderasi agama semakin laku. Sikap kontra moderat ini tercermin dari data bahwa dalam konteks kenegaraan, 24 % mahasiswa di Perguruan Tinggi yang berpandangan formalistik, serta 8.1 % sangat formalistik (Setara Institute, 2019).

Dalam bentuk yang paling mengancam, ekstrimisme beragama adalah fenomena yang telah lebih dulu diteriakkan sebagai musuh bersama. Ekstrimisme sepertinya lebih tegas (clear/muhkam) dari pada kata radikalisme yang terlihat enigmatis (ambiguous/mutasyabih). Kata radikal masih menyimpan kemungkinan benar, sementara agama tidak sekalipun membenarkan perilaku ekstrem.

Kata radikal (latin radix), berarti akar. Merujuk Oxford Dictionary, kata ini mengacu kepada setiap aktivitas yang menekankan kepada hal-hal yang menjadi akar dan mendasar. Dalam implementasinya, aktivitas radikal ini juga bisa berbentuk sikap ekstrem, namun tidak selalu identik dengannya. 

Jika kata radikal masih terlihat enigmatis, kata ekstrem lebih tegas merujuk kepada perilaku keras (syiddah) dan berlebihan (alghuluw) dalam beragama. Dalam bahasa agama, kelompok ekstrem ini disebut sebagai al-mutanattiuna sebagaimana dalam hadits halaka al-mutanatthiuna (celakalah orang-orang ekstrem). 

Pancasila dan Moderasi Agama

Populisme dan ekstremisme beragama faktanya adalah deviasi dari semangat Pancasila. Gerakan identitas, sebagaimana dalam populisme, membawa satu kemungkinan menempatkan identitas tertentu lebih superior dari yang lain. Meski berangkat dari narasi ketertindasan, politik identitas secara nyata bergerak dengan jalan mempertentangkan satu identitas dengan identitas lainnya.
Pada ujungnya, politik identitas berupaya untuk menomorsatukan identitas golongan di atas identitas yang lain. Situsi ini adalah antiklimaks dari semangat menghargai keragaman.

Ekstrimisme beragama tanpa tabir jelas berusaha merobohkan negara. Atas nama agama, para ekstremis tidak hanya mengingkari keragaman, bahkan berusaha menyingkirkan dengan darah siapapun yang mereka anggap berbeda keyakinan serta garis perjuangan dengan mereka. Perilaku esktrim yang menebar teror ini jelas lebih berbahaya dari yang pertama.  

Padahal, menghargai keragaman adalah pondasi bagi tegak abadinya Pancasila sebagai ideologi negara. Pancasila menaungi keragaman entitas bangsa. Prinsipnya, semua sama dan setara. Semua entitas agama mendapatkan hak dan perlindungan yang sama dan setara. 

Umat Islam selalu terdepan menjaga pendirian ini. Bagi Umat Islam, Pancasila adalah akad agung (mitshaqan ghalidha). Sebagai akad agung, daya ikat Pancasila begitu kokoh, di mana seluruh anak bangsa wajib menjaganya. 

Pendirian umat Islam dalam konteks kebangsaan ini adalah ekspresi dari sikap moderat dalam beragama. Sikap moderat ini mengkristal dalam upaya untuk senantiasa menjaga dan memelihara keselarasan Islam dan Pancasila. Membela Pancasila adalah membela Islam.

Nahdlatul Ulama adalah salah satu representasi moderatisme Islam Indonesia yang senantiasa menjaga keberlangsungan hubungan harmonis antara Islam dan Pancasila. Sebagai ormas Islam terbesar, NU bahkan menjadi ormas pertama yang menerima Pancasila sebagai asas tunggal, serta menegaskannya sebagai ideologi final yang sila-silanya memiliki dasar di dalam ajaran agama (Fealy & Berton, 1997:197).

Moderatisme beragama ini yang turut menjaga keberlangsungan negara bangsa Indonesia hingga saat ini. Penerimaan terhadap Pancasila adalah buah dari moderatisme beragama tersebut. Bukan sekadar koinsidensi jika moderasi beragama berujung pada penerimaan terhadap Pancasila, sebab antara Pancasila dan Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah sama-sama berada pada titik keseimbangan antara dua tarikan titik ekstrem kanan atau kiri.

Ummatan wasathan, demikian Alquran menyebut kelompok moderat. Wasathan adalah ekuilibrium yang tegak di antara dua titik ekstrem (al-ghuluw) beragama. 

Islam Aswaja adalah Islam wasathan karena mampu keluar dari ekstrem fatalism (jabariyah) dan liberalisme (qadariyah). Pancasila juga merupakan ideologi wasathan, karena berhasil menyempal dari tarikan ekstrem kapitalisme dan sosialisme.         

Dalam konteks keragaman, Pancasila menjadi periuk besar yang mewadahi berbagai komunitas etnis, agama, adat-istiadat, dan bahasa daerah. Semua agama dan segmen identitas lain mendapatkan hak yang sama. Itulah hakikat bhinneka tunggal ika, bersatu dalam keragaman (unity in diversity).

Moderasi adalah jawaban bagi menguatnya populisme dan ekstremisme beragama. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan memperkuat nilai-nilai kebangsaan dengan dasar pemahaman keagamaan yang moderat. Para santri harus menjadi aktor yang secara proaktif terlibat dalam penguatan moderatisme agama sebagai penegak pondasi kebangsaan.

Pelibatan santri penting, karena jaringan luas yang dijangkau oleh mereka. Sebagai contoh, para santri dan alumni pesantren yang tersebar di perguruan tinggi dapat menjadi agen penguat nilai kebangsaan berbasis moderatisme beragama di ruang akademik. Mahasiswa Perguruan Tinggi yang sedang memiliki ghirah keagamaan kuat, harus diakui cukup rentan (vulnareble) terpengaruh hasutan narasi populisme dan ekstremisme berjubah agama.

Untuk itulah, para santri yang telah mengenyam pendidikan di perguruan tinggi harus menjadi katalisator dengan mempromosikan wajah Islam yang moderat. Dengan demikian, kampus akan menjadi medan bersemainya ajaran Islam yang sarat cinta kasih dan persaudaraan, ketimbang teriakan permusuhan maupun janji-janji bombastis khilafah.(*)

*) Penulis: Hasanudin, Pemerhati Sosial Keagamaan

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES