Kopi TIMES

Dialektika Rasio, Percaya dan Nyaris Pasrah

Selasa, 12 November 2019 - 15:16 | 114.15k
Setobuono, Mahasiswa jurusan Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Setobuono, Mahasiswa jurusan Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Tuntutan-tuntutan zaman yang kian ganas membuat manusia semakin memeras tiap tiap bagian dari tubuhnya untuk selalu oke dalam kondisi dan situasi apapun, menyangkut cara berfikir dan setelah itu cara bertindak. Manusia selalu berkompetisi dalam banyak hal seperti, siapa yang mampu berkembang ditengah kemajemukan.

Diakui atau tidak yang terjadi saat ini adalah manusia dengan cara berpikir terbelakang (tidak improvisasi) akan kalah dengan manusia yang mengimprove dirinya. 

Sebagai lulusan salah satu Pesantren di Yogyakarta,  saya merasa (mungkin juga pembaca rasakan) gaya belajar dipesantren adalah gaya belajar yang jujur harus diakui kurang relevan jika masih terus diterapkan di zaman yang maha oke ini.

Salah satu gaya belajar yang saya masih ingat betul sering diucapkan pengurus pondok “ngantuk ya ndak papa, berangkat aja dikelas tidur, yang penting dapet barokah mbah yai”  jika kepercayaan yang seperti ini masih terus tumbuh subur hingga menjadi candu dilingkungan pesantren efeknya adalah pada santri ketika ia lulus besok, ia akan terbiasa dengan budaya pasrah semata, pasrah boleh tapi disertai usaha dong ya, dan belajar  adalah bukti konkret dari barokah itu.

Barokah sendiri adalah semacam reward yang tak terlihat tapi mungkin terasa, ketika kita konsisten dalam belajar. Mengapa ditegaskan belajar, bukan menata sandal dimasjid atau memungut putung rokok mbah yai bahkan mungkin menyeruput sisa kopi mbah yai, karena jika hal hal semacam itu yang selalu digembor gemborkan santri akan lebih suka ngantri ditempat mbah yai membuang putung rokoknya, atau mengantri ditempat biasa mbah yai menaruh sandalnya dibanding harus menyiapkan bolpoin buku kitab dan belajar.

Jika dihitung dengan skala prosentase menurut saya memungut putung rokok mbah yai dan hal hal serupa adalah 5 persen dan belajar (diniyah, bandongan, sorogan dll) 95 persen. Terlepas dari cerita cerita kiyai tentang barokah loh yaa, kita perlu sadari sekali lagi kalo kita hidup dizaman yang maha oke. 

Kepercayaan itu seperti hal yang aneh jika tanpa disertai bukti konkret bukti fisik atau bukti yang bisa direspon indera, maka dari itu rasio diturunkan setelah konsep kepercayaan. Rasio sendiri hadir untuk melengkapi konsep kepercayaan, contoh percaya kepada tuhan tanpa bukti yang hebat adalah tidak mungkin, atau mungkin tapi yang percaya sedikit, maka dari itu semesta dan seisinya hadir sebagai bukti bahwa ada The Biggest Thing yang menciptakan ini dan kita percaya bahwa yang menciptakan itu adalah Allah SWT. 

Contoh ini diambil karena mempunyai penjelasan yang gampang dipahami bahwa kepercayaan itu Allah SWT dan rasio itu adalah semesta dan seisinya, mengapa demikian ? gampang, karena manusia mampu menggunakan inderanya untuk merespon semesta ini.

Kepercayaan dan rasio itu adalah paket combo yang tidak bisa dipisah, jika dipaksa untuk dipisah artinya memaksa percaya pada hal yang tidak nyata atau tidak ada. Nah banyak dari teman teman dipesantren terutama yang tidak meneruskan tingkat pendidikanya (bukan hanya pendidikan formal) ke level selanjutnya, mereka berada pada level yang dari awal sampai paragraph ini dibahas.

Mereka yang selalu mengucapkan enggih meskipun ia tidak mampu, mereka yang selalu hanya mengamalkan amalan amalan padahal ia butuh menghidupi kehidupanya secara konkret, jelas, nyata atau ril. Stay chill sih stay chill tapi kehidupan di zaman maha oke ini harus tetap hidup dong, kerja dong jangan puasa terus tuh anakmu butuh vespa matic untuk mengkonfirmasi kalo dia anak senja.

Kembali pada topik awal, mengapa pembahasan dikhususkan untuk santri yang tidak mengimprove dirinya? Karena orang orang yang macam ini adalah orang orang yang angel dijak maju mengapa?

Dengan dirinya yang stak disitu situ aja, ironisnya dia akan menjadi orang yang tertutup, tertutup artinya menolak pembaruan pembaruan yang nyata, tidak peka kepada kondisi sosial baik politik maupun budaya.

Mengapa politik dibawa bawa? Yapppp karena minimal 5 tahun sekali kamu akan berpartisipasi didalamnya, karena suaramu dihitung sama dengan suara dokter, professor dan lain lain.

Pentingnya mengimprove diri sampai sampai disetiap paraghrap disisipkan kata improve adalah untuk santri santri sendiri, sebagai output dari Pesantren mereka harus siap dengan apa apa saja yang ada didunia luar yang mungkin baru baginya. Dan untuk menjadikan setiap individu dari santri adalah pembawa perubahan yang nyata, Karena sadar atau tidak bahwa setiap orang yang merantau, mereka akan ditunggu efeknya dilingkungan ia berasal.

Perubahan itu pasti disertai dengan soal pengorbanan, mengorbankan yang kurang perlu untuk sesuatu yang sangat diperlukan, seperti meninggalkan budaya salah yang telah dilanggengkan dan diganti dengan budaya baru yang sifatnya mendukung. Change our mind konten di dunia maya yang sangat perlu diperbanyak.

Contoh dari kalimat di atas seperti,  Meninggalkan kepercayaan soal berkah berada diujung rokok mbah yai diganti dengan berkah pasti datang dengan belajar sungguh sungguh, dan berkah pasti datang jika apa yang didapat dikembang luaskan. (*)

 

*) Penulis: Setobuono, Mahasiswa jurusan Sosiologi Agama, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES