Kopi TIMES

Demokrasi Bagito

Kamis, 24 Oktober 2019 - 00:06 | 141.15k
Ilustrasi demokrasi.
Ilustrasi demokrasi.

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Demokrasi tanpa oposisi adalah contradictio in terminis. Inilah ujung yang mengecewakan dari proses demokrasi kita. Rakyat merasa dikadali. Pemilihan Umum sebagai salah satu parameter demokrasi tak lebih dari “panggung sandiwara”. Polarisasi minus ideologi yang begitu sengit diamplifikasi oleh media sosial antara cebong vs kampret berakhir dengan rangkulan hangat kekuasaan. Panggilan bagi Prabowo, dan ketua umum Gerindra, Edhy Prabowo tidak menyisakan yang kalah dalam Pemilu. Semua -politisi- adalah pemenang. Sekali lagi, apa jadinya demokrasi tanpa oposisi?

Secara sederhana, demokrasi diejawantahkan dalam bentuk institusi-institusi (termasuk Pemilu), tumbuhnya ruang-ruang artikulasi dalam berbagai bentuk partisipasi warga, dan kultur demokrasi dalam bentuk diskursus kritis. Ideologi menyusup dan meresapi dalam berbagai tarikan nafas demokrasi tersebut. Perbedaan pendapat, pandangan, bahkan politik identitas diberikan ruang perdebatan yang sehat. Perdebatan rasional dalam upaya menemukan gagasan terbaik inilah yang menjadi ruh dari demokrasi. Sayangnya, kurangnya perdebatan rasional, menumpulnya daya kritis  dan menguatnya sentimen identitas dan emosi adalah “rasio” jaman now.

Ross Tapsell (2019) menyebut bahwa polarisasi yang terjadi pada Pilpres 2019 adalah polarisasi artifisial dan politik yang penuh dengan kehampaan. Debat dua kandidat pun menyisakan kekecewaan. Ia tidak lebih dari tontonan dan tidak fokus pada kritik program. Perdebatan di tingkat grassrot lebih didorong oleh sentimen dan emosi. Tagar #2019GantiPresiden menunjukkan dengan sangat gamblang tumpulnya rasionalitas dan semakin menguatnya politik emosi.

Polarisasi yang terjadi merupakan sebuah paradoks janggal: di satu sisi tidak ada platform kebijakan yang berbeda atau saling serang secara signifikan, di sisi lain banyak ahli menyebut terjadinya polarisasi. Begitu seriusnya perpecahan tersebut disampaikan Sandiaga Uno dalam wawancaranya dengan New Mandala, 4 Maret 2019, bahwa kondisi negara sedang terpecah dan ingin segera diperbaiki pascapemilu. Begitu pula munculnya wacana KPU akan membentuk Komite Damai dalam debat ketiga di TV.

Kampanye Pilpres 2014 dan Pilgub Jakarta 2017 dituding sebagai bagian dari wacana kampanye di sosial media yang diwariskan hingga sekarang. Template frame foto dengan tulisan "i stand on the right side" sangat populer di kalangan pendukung Jokowi pada Pilpres 2014. Pilgub Jakarta 2017 menunjukkan kampanye yang mengusung Islam dan "pribumi". Perdebatan dan kampanye hitam menyebar tidak hanya di group WhatsApp, namun juga di Facebook maupun Twitter. Merlyna Lim (2017) menyebutnya sebagai "kebebasan untuk membenci" (freedom to hate). 

Menengok ke belakang, pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, ideologi bangsa Indonesia yang digemakan Soekarno sebagai solidarity maker adalah jelas: ideologi anti-kolonial. Pada fase konsolidasi ini, proses pencarian identitas diwarnai dengan sejumlah pergolakan baik dalam bentuk pemberontakan sebagai upaya pendirian negara sendiri maupun dalam level pergantian kabinet yang tidak stabil. Partai politik tumbuh subur sebagai representasi struktur masyarakat kala itu. Mengacu pada pembagian masyarakat Jawa menurut Geerstz misalnya, terdapat tiga kelompok besar: santri, abangan, dan priyayi.

Pemilu 1955 pada masa demokrasi liberal muncul sebagai pesta demokrasi dengan jumlah partisipasi politik yang tinggi. Pada masa ini muncul sejumlah partai politik yang menopang solidaritas kepartaiannya pada isu sektarian. Maka tidak heran jika muncul sejumlah partai dengan identitas agama.

Situasi berbalik pada masa Orde Baru. Terdapat upaya-upaya depolitisasi, deideologi, dan penciptaan floating mass. Politik distigmakan sebagai negatif, kontrapoduktif dan berpotensi disintegratif. Beberapa kelompok bahkan dicap sebagai tidak cocok terlibat dalam politik. 

Di sisi lain, ideologi kepartaian dianggap ancaman sehingga dipaksakan "ideologi Pancasila" sebagai asas tunggal. Upaya tersebut tidak lain merupakan manipulasi ideologi untuk menekan gagasan-gagasan yang kreatif dan membahayakan satus quo. Demokrasi Pancasila dalam bentuk permusyawaratan nyatanya merupakan kedok dari upaya memfungsikan organ-organ politik semata.

Massa mengambang (floating mass) merupakan bentuk represi yang membatasi artikulasi diri. Terdapat pembatasan jumlah partai menjadi tiga partai besar: Golongan Karya, Partai Demokrasi Indonesia, dan Partai Persatuan Pembangunan. Entitas-entitas ideologi kepartaian yang bervariasi dipaksakan untuk masuk dalam sebuah partai baru. 

Pada masa ini, tidak dikenal partai oposisi. Dua partai selain Golongan Karya tidak lain hanya berperan sebagai partai pendamping yang akan melegitimasi Pemilu dan pada akhirnya melegitimasi upaya pelanggengan kekuasaan dalam bentuk rejim.

Akankah kita mengulang hal yang sama? Semua proses yang sangat sengit untuk mendapatkan pemenang dalam Pemilu tersebut berakhir dengan bagi-bagi kekuasaan; bagito -bagi-bagi roto- alias bagi-bagi kekuasaan. Seteru yang masih tersisa di masyarakat disikat habis dengan drama pemanggilan kubu oposisi oleh kandidat terpilih. Apa yang salah dengan nihilnya oposisi? Jaques Ranciere (1940-...), seorang pemikir filsafat Prancis kelahiran Aljazair menyebut bahwa munculnya “gangguan” dalam sebuah police adalah inti dari demokrasi. Politik dalam demokrasi baginya adalah “selalu adanya gangguan”, “ketidaksepakatan” atau disensus. Ketika demokrasi dimaknai sebagai satu suara, maka hilanglah “gangguan” itu.

Inilah yang ada di depan mata kita: demokrasi yang ingin mengakomodasi semua. Ideologi kepartaian yang cukup kuat pada masa pemilu lebur dan menguap di garis akhir. Nego-nego kekuasaan dalam bentuk berbagai keinginan untuk masuk dalam jajaran kabinet telah melebur ideologi yang meski tipis namun cukup mewarnai sejumlah partai. Dan rakyat terbengong-bengong melihat jagoannya akhirnya saling berpelukan.

 

*Penulis, Finsensus Yuli Purnama, Mahasiswa Doktor Media & Cultural Studies UGM dan Pengajar di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES