Kopi TIMES

Pentingnya dan Membangun Kemandirian

Sabtu, 19 Oktober 2019 - 16:24 | 710.08k
Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.
Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTADari Abu Ubaid, hamba Abdurrahman bin Auf. Ia mendengar Abu Hurairah berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh, pikulan seikat kayu bakar di atas punggung salah seorang kamu (lantas dijual) lebih baik daripada ia meminta-minta kepada orang lain, entah itu diberi atau tidak diberi,’” (HR Imam Bukhari)

“Autonomy... is freedom to develop one's self - to increase one's knowledge, improve one's skills, and achieve responsibility for one's conduct. And it is freedom to lead one's own life, to choose among alternative courses of action so long as no injury to others results.”

- Thomas Szasz

MANDIRI dalam hidup adalah sangat penting dan menjadi kebutuhan kita semua. Mandiri dalam berpikir, mandiri dalam bersikap dan mandiri bertindak. Mandiri menunjukkan kematangan, bahkan pada akhirnya juga menjadi indikator kedewasaan. Mandiri menjadikan kita sebagai subjek bukan objek. Begitu strategisnya posisi kemandirian, kita semua tanpa terkecuali sangat menginginkannya.

Kemandirian yang menjaga concern kita bukanlah mandiri pada tataran personal saja. Melainkan yang juga sangat penting adalah mandiri pada tataran institutional dan bangsa. Kemandirian juga bukanlah bertumpu aspek material saja, melainkan juga aspek non material. Karena itu kamandirian bisa menentukan marwah seseorang, institusi maupun bangsa. Untuk mewujudkan kemandirian harus dimulai dengan self-confident dan optimis. Jika individu, institusi atau bangsa tidak mandiri, maka hakekatnya individu, institusi atau bangsa itu dalam posisi dikuasai atau “dijajah” pihak lain.

Jenny Mackness (2010) mengidentifikasi sejumlah karakteristik yang dimiliki oleh pembelajar yang mandiri, di antaranya: (1) show responsibility for their own learning show initiative, (2) are able to monitor and evaluate their own learning, (3) are reflective and show ‘high’ levels of metacognition, (4) are self-aware in relation to their own learning, (5) are intrinsically motivated, (6) are life-long learners, (7) can manage and regulate their own learning, (8)  are adept at taking/making decisions, (9) are meaning makers are risk takers, (10) have specific skills and strategies for managing their learning online, (11) are adaptable and flexible in their approach to learning, (12) are pro-active, (13) are critical and analytical thinkers, (14) know how to ask questions, (15) are good at filtering and selecting the information they need, (16) can take constructive criticism, (17) can navigate the web, and (18) are technically adept. Dengan mencermati karakteristik ini maka semakin nampak posisi kemandirian, bahwa kemandirian bukan saja sebagai tujuan,  melainkan juga sebagai alat yang sangat bermanfaat dan strategis untuk mencapai tujuan. Semua karakteristik ini sangat diperlukan untuk pembelajaran berbasis digital di era dewasa ini.

Untuk mengembangkan kemandirian pembelajar dapat dilakukan melalui dua cara. Pertama dapat mengikuti UTTA, UVA (2019) dengan cara yang sistematis,  yaitu :(1) mengidentifikasi kebutuhan belajar, (2) menerapkan tujuan yang mengacu kepada kebutuhan belajar, (3) mengidentifikasi sumber belajar, (4) menerapkan strategi belajar yang sesuai, dan (5) mengevaluasi hasil belajar. Kedua, dapat mengikuti Bethany Spencer (2017) yang mengemukakan cara mengembangkan kemandirian secara pointers, di antaranya: (1) hentikan tindakan menyuapi (spoon-feeding) dan harus belajar mengembangksn kemandirian, (2) mengimplementasikan otonomi, (3) meningkatkan tanggung jawab, (4) mulailah sedini mungkin, dan (5) mendorong kreativitas. Kedua cara ini tidakkah harus dipilih salah satunya, melainkan dapat dilakukan secara simultan, sehingga pembelajar dapat mewujudkan kemandirian secara optimal.

Pada kenyataannya tidaklah mudah untuk mewujudkan kemandirian pembelajar. Pertama faktor internal, bahwa pembelajar tidak selalu memiliki komitmen dan kesiapan untuk mandiri, bahkan bisa juga dibayangi oleh rasa takut akan kegagalan dalam setiap melaksanakan tugas. Kedua faktor eksternal, bahwa budaya hidup masyarakat yang cenderung tidak memberikan dukungan yang kondusif bagi terciptanya kemandirian, sebagaimana ditunjukkan oleh perilaku orangtua yang suka memanjakan dan melindungi anak secara berlebihan. Apapun hambatan dan tantangan yang ada, sebenarnya tidak ada alasan untuk berhenti menfasilitasi pembelajar menuju kemandirian. Orang dewasa seharusnya bertanggung jawab membangun kemandirian anak, sebagai pembelajar.

Kemandirian pribadi memang bisa memberikan kepuasan hidup, karena hidupnya tidak bergantung pada orang  atau pihak lain. Demikian juga kemandirian bangsa dapat mempengaruhi secara signifikan bagi kepuasan bahkan kebanggaan bagi bangsa dan warga bangsa. Karena dengan memiliki kemandirian, kita bebas dari eksploitasi orang lain atau bangsa lain dalam bentuk apapun. Kita merdeka menentukan arah dan tindakan, serta hidup kita. Kita bebas dari intervensi dan merdeka untuk berinovasi. Semoga kita tetap rendah hati dan selalu dalam ridlo Ilahi. Aamiin. (*)

*) Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Deasy Mayasari
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES