Kopi TIMES

Literasi Budaya

Jumat, 06 September 2019 - 13:42 | 970.70k
Rochmat Wahab, Yogyakarta. (Grafis: TIMES Indonesia)
Rochmat Wahab, Yogyakarta. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – “We have ignored cultural literacy in thinking about education ... We ignore the air we breathe until it is thin or foul. Cultural literacy is the oxygen of social intercourse”.

E. D. Hirsch

Kehadiran era informasi disusul dengan era digital yang diperkuat dengan era ide, wacana literasa nampak semakin kaya. Yang salah satunya adalah Literasi Budaya. Literasi budaya dipandang sesuatu yang sangat penting karena membantu kita bisa eksis dan berarti di mana kita berada.

Untuk bisa sustainable, UNESCO menempatkan Budaya sebagai pilar keempat selain sosial, lingkungan dan ekonomi. Begitu berartinya  persoalan budaya, maka setiap individu perlu literat budaya. Karena itu Kebijakan tentang LITERASI sangatlah penting.

Hirsch, seorang tokoh Literasi, menjelaskan makna Literasi Budaya adalah kemampuan memahami dan berpartisipasi dalam suatu budayanya sendiri. Seorang yang literat budaya adalah yang mampu tampilkan gerakan, simbol atau ungkapan verbal tertentu yang mengekspresikan bahasa, dialek, cerita, atau hiburan. Sebaliknya orang yang tidak literat budaya adalah yang tidak memahami sindiran, percakapan, atau kejadian yang terkondisikan cara kultural.

Makna Literasi budaya pada hakekatnya tidak hanya dibatasi oleh ungkapan dan bahasa, melainkan secara luas bisa tergambarkan lewat perilaku, makanan, pakaian, seni dan upacara. Yang semuanya ini merupakan ekspresi dari nilai, tradisi, pola pikir, keyakinan, persepsi, dan status. Dengan begitu literasi sangat terikat dengan basis kewilayahan yang memiliki budaya tertentu. Sederhananya bahwa kita berasal dari Jawa yang memiliki tradisi, nilai, dan  keyakinan tertentu begitu memasuki wilayah Padang misalnya, maka kita harus memahami pola perilaku Padang yang memaknai suatu kata atau gerakan yang sama dengan arti yang berbeda. Untuk bisa diterima hidup di Padang, orang Jawa harus menyesuaikan dengan budaya Padang dan seterusnya baik antar suku maupun bangsa. Dalam konteks ini literasi budanya sangatlah penting.

Pentingnya literasi budaya itu tidak hanya untuk individu, melainkan juga untuk masyarakat. Manfaat bagi individu, bahwa literasi kultural dapat membantu untuk berinteraksi secara sukses dengan orang-orang yang berlatar  belakang suku atau bangsa berbeda. Dalam konteks ini ketika kita berada di dalam suatu masyarakat yang mayoritas, maka kita wajib respek kepada perilaku dan budaya dari kelompok lainnya. Tidak boleh mendominasi dan mematikan kelompok lainnya.

Selanjutnya manfaat literasi budaya bagi masyarakat dapat berkontribusi mengurangi kecurigaan dan perlakuan yang tidak adil berbasis budaya, meningkatkan nilai yang terkandung dalam diversitas, dan meningkatkan partisipasi dalam praktek kehidupan sosial tanpa ada diskriminasi dalam akses pendidikan dan kesehatan (hajat pokok dalam hidup).

Untuk meningkatkan kecakapan literasi budaya, Kim Polistina, University of Brighton, mengintrodusir empat keterampilan utama literasi budaya, yaitu (1) kesadaran Lintas Budaya, (2) kesadaran Budaya Lokal, (3) Refleksi dan berpikir kritis, dan (4) kecakapan personal mengatasi diri menjadi agen perubahan. Dalam prakteknya untuk yang satu dan dua tidak hanya menguasai keterampilan, melainkan juga menerima budaya lain dan budaya lokal, juga menunjukkan respek kepada budaya lain dan lokal. Selanjutnya mengkritisi budaya yang ada untuk memberikan manfaat bagi keberlannjutan hidup serta proaktif terhadap perubahan yang secara sunnatullah tidak bisa dihindari. Dengan tetap kita memainkan peran sebagai subjek, bukan objek.

Menyadari akan pentingnya literasi budaya, maka kita perlu membuka diri untuk bisa mengenali secara proaktif budaya lain yang akhirnya menerima dan berujung dengan respek. Bahkan lebih jauh dari itu kita menyesuaikan diri dan mengikuti perilaku dan budaya masyarakat tempat di mana kita berada. Di mana kaki berpijak, di situ langut dijunjung. Sekiranya kita bisa menjadikan itu sebagai gaya hidup, maka secara otomatis kita sudah literat budaya.(*)

*)Penulis: Rochmat Wahab, Yogyakarta

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES