Kopi TIMES

Keutamaan Beroposisi

Kamis, 27 Juni 2019 - 14:12 | 137.27k
Dr. Mohammad Nasih. (Grafis: TIMES Indonesia)
Dr. Mohammad Nasih. (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Di antara wajah politik adalah kempetisi untuk memperebutkan kekuasaan. Dasar perebutan itu adalah perbedaan visi dan misi penyelenggaraan negara.

Masing-masing pihak yang sedang berkompetisi merasa memiliki visi dan misi yang lebih berkualitas, sehingga negara bisa diselenggarakan dengan efektif dan lebih efisien untuk mewujudkan kebaikan bersama. Bahkan bisa jadi ada dua atau lebih kekuatan politik yang di antaranya memiliki visi dan misi yang membahayakan negara.

Karena itu, kekuatan-kekuatan politik yang ada, memperebutkan kekuasaan untuk mewujudkan kepentingan mereka. Kepentingan kekuatan politik yang baik tentu saja untuk mewujudkan kebaikan. Sedangkan kekuatan politik yang jahat adalah untuk semata-mata memenuhi kepentingan mereka sendiri, walaupun harus mengorbankan kepentingan untuk mewujudkan kebaikan bersama.

Dalam sistem demokrasi, kompetisi tersebut diwujudkan dalam mekanisme Pemilu yang diselenggarakan secara periodik dan berkala. Tujuannya adalah agar rakyat memilih pemimpin atau wakil yang mereka anggap bisa mewujudkan apa yang mereka inginkan. Dengan kata lain, pemenang Pemilu yang diselenggarakan secara jujur dan adil merupakan manifestasi mayoritas rakyat yang menginginkan visi dan misi tertentu dijalankan dengan sarana negara, karena dianggap sesuai dengan keinginan mereka.

Namun, bisa saja, visi dan misi yang telah disampaikan oleh para politisi hanyalah kamuflase belaka, sekedar untuk membuat rakyat terpesona agar bersedia memberikan dukungan di dalam bilik suara. Setelah mereka benar-benar berkuasa, yang mereka lakukan bukan hanya berbeda, bahkan berkebalikan dengan yang pernah mereka janjikan.

Dan jika pun mereka melakukan apa yang mereka janjikan, tetapi secara bersamaan juga melakukan tindakan-tindakan yang tidak legal atau penyelewengan kekuasaan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merupakan komplotan mereka.

Yang paling lazim terjadi adalah politik menjadi sekedar semacam arena kaum kapitalis jahat untuk berebut sarana bernama struktur negara yang dengannya mereka bisa membangun aturan yang membuat kepentingan mereka mengakumulasi kapital yang lebih besar berjalan menjadi makin lancar.

Agar tidak terjadi penyelewengan kekuasaan oleh para pemegang kendali kekuasaan dan  mereka benar-benar menjalankan kepercayaan rakyat sebagai sarana perjuangan untuk memperjuangkan kebaikan bersama, apalagi dalam konteks negara yang dikonstruksi sebagai negara religius, di antara yang diperlukan adalah kekuatan politik oposisi.

Kekuatan oposisi akan menjadi pengkritik bahkan penentang yang paling keras terhadap segala kebijakan politik yang cenderung merugikan atau tidak sesuai dengan nilai-nilai moral dan agama yang dianut.

Walaupun demikian, kekuatan oposisi tidak menutup kemungkinan juga menyatakan dukungan apabila kebijakan politik yang diambil oleh penguasa sudah benar. Inilah yang disebut dengan oposisi loyal. Jika pun kekuatan oposisi hanya diam tanpa memberikan pengakuan, itu pun sudah cukup, karena di antara tujuan keberadaannya memang menjadi semacam “anjing penjaga” yang akan menyalak keras apabila ada orang yang berperilaku mencurigakan.

Dalam konteks ini, rakyat harus memahami dengan baik jika karena adanya oposisi, dinamika politik akan diramaikan oleh keriuhan. Keriuhan sesungguhnya merupakan sebuah keniscayaan dalam sistem politik demokratis, karena setiap orang memiliki hak yang sama untuk menyatakan pendapat. Dan beda kepala, tentu saja tidak menutup kemungkinan beda pula isinya.

Oposisi dalam demokrasi tidak boleh dipandang sebagai sekedar manifestasi sakit hati. Justru ia bisa merupakan wujud konsistensi para politisi untuk meyakinkan rakyat bahwa mereka adalah orang-orang yang tahan hidupan dalam keprihatinan bahkan penderitaan demi mewujudkan gagasan politik yang ideal.

Oposisi dalam konteks ini sesungguhnya merupakan sebuah perjuangan tanpa pamrih selain sebagai ikhtiar merebut hati pemilih, agar dalam periode berikutnya para politisi oposan mendapatkan giliran untuk mengendalikan kekuasaan, karena adanya perubahan pilihan sebagian pemilih yang tercerahkan. Rakyat harus berterima kasih kepada oposisi, karena dengan keberadaan mereka, hak-hak rakyat tidak akan disabot oleh penguasa yang memiliki banyak celah untuk melakukannya.

Rakyat yang jauh dari episentrum kekuasaan dan memiliki fokus lain untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sebagai orang kebanyakan, seringkali tidak memiliki pandangan yang tepat tentang dinamika politik. Bahkan, mereka juga mudah dikelabui dengan hokas yang sangat mudah dibuat oleh penguasa karena menguasai segala sumber daya.

Yang tak kalah penting, beroposisi tidak boleh dipahami sebagai ketidakmauan untuk menjalin persatuan dalam hidup bernegara. Persatuan yang dilakukan dalam rangka untuk “tahu sama tahu” agar bisa bersama-sama melakukan penyelewengan kekuasaan, justru akan menjerumuskan negara dalam kehancuran.

Politisi harus memiliki tingkat kecerdasan emosi yang tinggi, sehingga bisa membedakan antara urusan pribadi dengan urusan publik. Walaupun bertarung keras dalam urusan publik, karena memiliki basis ideologi pembangunan kebijakan politik yang berbeda, akan tetapi mereka semua bisa menjalin komunikasi pribadi dengan baik.

Sikap yang demikian, sudah dicontohkan oleh para pendiri Negara Indonesia. Walaupun dalam sidang mereka berdebat sangat keras, akan tetapi saat keluar sidang, mereka bisa bersama naik sepeda, bahkan berboncengan.

Memang untuk menjalankan peran sebagai kekuatan oposisi tidaklah mudah. Apalagi dalam konteks Indonesia yang pembiayaan politik harus diakui masih bersumber dari sumber-sumber yang gelap. Sebagiannya dengan menyunan APBN, dan sebagiannya dari para kapitalis untuk menitipkan kepentingan untuk mengamankan diri dari kebijakan politik yang mengurangi keuntungan mereka.

Mereka yang berkuasalah yang paling menguasai sumber-sumber gelap tersebut, sehingga pembiayaan politik mereka aman, baik untuk biaya politik (political cost) maupun politik uang (money politics) yang dalam sistem politik yang kian liberal beberapa periode politik terakhir sudah menjadi rahasia umum. Karena itulah, paradigma yang seringkali muncul adalah bahwa opisisi tidak ubahnya orang yang sedang berpuasa, dan ketika kemudian berkuasa itu adalah fase berbuka.

Dengan biaya politik yang mahal, kekuatan oposisi dianggap sulit bertahan. Untuk bisa sukses dalam mengambil peran oposisi, paradigma dan aksi politik harus diubah. Kekuatan oposisi harus memulai untuk melakukan pendidikan politik secara serius kepada rakyat, agar rakyat menjadi cerdas, memiliki daya ingat yang kuat dan berjangka agak panjang.

Dengan cara itu, pilihan untuk beroposisi sesungguhnya adalah pilihan yang tepat untuk bisa mengendalikan kekuasaan dalam skala yang lebih besar dengan menguasai episentrum kekuasaan dalam periode politik selanjutnya, sehingga lebih mudah untuk membangun kebijakan politik yang diidealkan. Wallahu a’lam bi al-shawab.(*)

* Penulis adalah Dr. Mohammad Nasih, Dosen FISIP UMJ, dan Guru Utama di Mohammad Nasih Institute (monashinstitute.or.id)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES