Peristiwa Daerah

Penyebaran Islam di Kota Batu Seiring Penyebaran Pengikut Pangeran Diponegoro

Minggu, 05 Mei 2019 - 22:42 | 308.18k
Masjid Al-Muhlishin Jl Lahor, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kota Batu diyakini Masjid Tertua di Kota Batu. (FOTO: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)
Masjid Al-Muhlishin Jl Lahor, Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kota Batu diyakini Masjid Tertua di Kota Batu. (FOTO: Muhammad Dhani Rahman/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BATUPenyebaran Islam di Kota Batu tidak terlepas dengan menyebarnya pengikut Pangeran Diponegoro di Kota Batu.

Tercatat dalam cerita sejarah kota, nama Abu Ghonaim yang keberadaannya sangat erat dengan Mbah Gubuk Angin yang akrab dengan sebutan Mbah Mbatu.

Hingga kini memang belum ada bukti sejarah dari cerita yang beredar turun temurun. Disebut dalam sebuah tulisan Arab Pego yang dimiliki keturunan Pangeran Rohjoyo di Bumiaji, penyebaran Islam di Kota Batu berawal dari sebuah pondok pesantren kuno di Bumiaji.

Masjid-Al-Muhlishin-b.jpg

Namun hingga kini belum diketahui persis dimana Pondok Pesantren kuno tersebut. Sisa-sisa penyebaran Islam di Kota Batu bisa dilihat di Dusun Macari yang berada di Desa Pesanggrahan, Kecamatan Batu, Kota Batu.

Ditempat ini terdapat sebuah Masjid yang diyakini merupakan Masjid pertama di Kota Batu. Masjid Al Al Muhlisin ini didirikan oleh KH Zakaria yang merupakan salah satu rekan Abu Ghonaim pada tahun 1826.

Awalnya kawasan ini adalah kebun kopi yang dikelola oleh KH Zakaria. Awalnya hanya sebuah tempat mengaji yang berada di dekat sebuah kolam kecil berukuran 20 X 30 meter (sekarang berukuran 35-50 meter).

Kolam kecil ini digunakan untuk mandi dan bersuci. “Ikhwal penemuan tempat ini pun berawal dari bunyi bedug dari arah Barat yang didengar oleh Abu Ghonaim dan KH Zakaria dari Dusun Banaran,” kata keturunan almarhum KH Zakaria, Ulul Azmi.

Bunyi bedug tersebut ternyata berasal dari daerah bernama Matsari. Sebuah pedesaan kuno yang sebelumnya merupakan kawasan suci agama Hindu.

Salah satu tanda-tanda keberadaan agama Hindu ini terdapat Patung Bramancari yang berada 50 meter arah Barat Masjid Al-Muhlishin atau 200 meter arah Timur Laut Balai Kota Batu.

Ditempat ini KH Zakaria menetap dan mendirikan Masjid, hingga akhirnya banyak juga yang menyebut Zakaria dengan panggilan Mbah Matsari.

Masjid ini dilengkapi dengan kolam kuno, selesai bekerja di kebun kopi, para pekerja dan masyarakat mandi di kolam kuno ini, kemudian sholat berjamaah.

Kendati bentuk bangunan sudah berubah, sejarah Masjid tertua ini masih tertinggal pada beberapa benda peninggalan.  “Kalau bentuk fisiknya sudah tidak ada yang tersisa, dulu bentuk fisik bangunan Masjid ada tiang empat dan menara, tapi sekarang sudah berubah soalnya sudah empat kali renovasi, “ ujar keturunan kelima KH Zakaria, Ahmad Junaedi.

Benda peninggalan yang tertinggal selain kolam kuno yang akrab disebut Blumbang Macari, ada rantai roda tank kuno yang kini jadikan keset. “Sebelumnya rantai roda tank ini digunakan sebagai pondasi menara Masjid, tidak digunakan lagi, akhirnya kita taruh di sini,“ ujarnya.

Rantai roda tank bisa di Masjid Muhlisin pun ada ceritanya. Saat itu sebuah tank Belanda mendadak tidak bisa berjalan saat masuk Macari, hingga akhirnya direbut oleh masyarakat. Bodi tank dipreteli untuk berbagai kepentingan perang, termasuk salah satunya rantai roda tank digunakan untuk pondasi Masjid.

Meski belum tercatat secara resmi, namun cerita turun temurun menyiratkan bahwa penyebaran Islam di Kota Batu tidak terlepas peran pengikut Pangeran Diponegoro yang singgah atau menetap di Kota Batu.(*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Batu

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES