Peristiwa Daerah

Bertani di Lahan Terlantar Semarang, Kenapa Tidak?

Sabtu, 08 Agustus 2020 - 16:33 | 297.24k
Anggota Serikat Tani Kota Semarang saat mengolah tanah terlantar di Plot lahan sebelah kompleks Perumahan Mutiara Jaya yang berlokasi di Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. (foto: Eko Santoso/TIMES Indonesia)
Anggota Serikat Tani Kota Semarang saat mengolah tanah terlantar di Plot lahan sebelah kompleks Perumahan Mutiara Jaya yang berlokasi di Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. (foto: Eko Santoso/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, SEMARANG“Untuk Mengubah Hidup, Kita Perlu Mengubah Ruang”- Lefebvre  

Pukul 3 sore, 8 Agustus 2020, Dayu Marantika bergegas menuju lahan terlantar yang terletak di sebelah kompleks Perumahan Mutiara Jaya yang berlokasi di Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang, Jawa Tengah. Rutinitas mengisi waktu sore dengan berkunjung ke lahan, setidaknya, kegiatan urban farming telah dilakukannya sejak awal bulan Mei lalu dengan menempuh jarak sekitar 9 kilometer.

Bersama dengan sekitar 25 orang temannya, di mana mereka mengatasnamakan diri sebagai Serikat Tani Kota Semarang (STKS), lahan seluas 2.300 m2 di  sebelah kompleks Perumahan Mutiara Jaya yang berlokasi di Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang, yang semula terlantar, telah diolah dan ditanami berbagai tanaman. Mulai dari berbagai jenis sayuran seperti sawi, kangkung, terong, cabai, mentimun, gambas, hingga tanaman jenis lainnya, singkong, pisang, ketela, sorgum, dan jagung.

Bertani-2.jpg

Mereka yang tergabung dalam STKS sejatinya bukanlah petani, melainkan terdiri dari berbagai profesi seperti peneliti, pekerja sektor informal, tukang sablon, jurnalis, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga, dan dengan berlatar belakang dari daerah berbeda, yang kebetulan sama-sama tinggal di Kota Semarang. Mereka juga bertempat tinggal menyebar dari berbagai kelurahan dan kecamatan, mulai dari Kelurahan Sekaran, Patemon, dan Sadeng  yang terletak di Kecamatan Gunungpati, hingga yang berdomisili di Kecamatan Candisari dan Tembalang.

Terlepas dari minimnya pengalaman bertani, mereka dengan gigih mengolah lahan-lahan terlantar dan kritis yang ada di sekitar perumahan-perumahan. Hingga saat ini STKS telah mengolah lima plot lahan. Plot I, lahan kosong 80 m2 di sebelah musala kompleks Perumahan Mutiara Jaya-Meteseh, Kecamatan Tembalang. Plot II, lahan kosong pinggir kali (200 m2) di kompleks perumahan Grand Greenwood-Sadeng, Kecamatan Gunungpati. Plot III, lahan seluas 2.300 m2 milik perorangan di tepi kompleks Perumahan Mutiara Jaya, Kelurahan Meteseh, Kecamatan Tembalang. Plot IV, lahan 400 m2 milik perorangan di Gebyok, Kecamatan Gunungpati. Plot V, lahan 1.000 m2 di dalam area wisata Lembah Kalipancur, Kecamatan Ngaliyan.

“STKS tidak memiliki lahan, melainkan mendayagunakan lahan-lahan terlantar dan kritis dengan meminta izin secara cuma-cuma dari perorangan pemilik lahan dan/atau warga setempat di mana lahan berada. Sebagian besar lahan-lahan tersebut semula terlantar atau menganggur serta ditumbuhi semak belukar yang lebat,” ungkap Dayu kepada TIMES Indonesia di Semarang, Sabtu (8/8/2020).

Dayu menambahkan jika gerakan bertani di kota, terkhusus di lahan-lahan terlantar yang dilakukan STKS bukanlah untuk dimanfaatkan secara personal, melainkan hasilnya dimanfaatkan bersama dengan warga yang berdomisili di sekitar tiap-tiap lahan.

Bertani-3.jpg

Sementara itu, upaya pemanfaatan lahan mangkrak untuk diubah menjadi lahan pertanian juga dilakukan oleh warga di RW 9, Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara.

Di RW 9 tersebut pemanfaatan lahan mangkrak  dikelola oleh KWT (Kelompok Wanita Tani), dan dikerjakan oleh ibu-ibu PKK dan KWT. Lokasi lahan tersebut tidak begitu luas, kurang lebih sepanjang 50 meter dengan lebar 5 meter. Berada di tepi selokan. Lahan tersebut persisnya berada di tepi jalan depan RT 2, berdekatan dengan RT 8, dan RT 3.

Meski tergolong kecil, di atas lahan tersebut telah tumbuh berbagai macam tanaman. Awalnya, Winarti yang merupakan salah satu anggota KWT menyebutkan, tanaman ini didapat dari swadaya warga dan bantuan sebuah perusahaan. Ada tanaman serai, terong, cabai, dan beberapa macam tanaman jenis sawi.

Pembuatan lahan pertanian ini belum begitu lama, baru setahun. Meski demikian, tanaman yang tumbuh tersebut telah berulang kali dipanen. “Hasilnya kita jual kepada masyarakat juga dan itu nantinya uangnya kembali ke masyarakat. Jadi dari masyarakat untuk masyarakat. Prinsipnya dinikmati warga,” katanya.

Ancaman Krisis Pangan

Memulai gerakan bertani dan menanam sebagaimana yang dilakukan oleh STKS dan KWT nampak menjadi agenda yang relevan dan kontekstual ketika wacana ancaman krisis pangan, sebagaimana yang diprediksi oleh Food and Agriculture Organization (FAO) santer diberitakan media. Terlebih, beberapa komoditas pangan kita mengandalkan sektor impor—yang kali ini kita tahu mengalami hambatan akibat adanya pandemi Corona.

Peringatan itu pun langsung direspons oleh pemerintah, mulai dari Presiden, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo, Menteri PUPR Basuki Hadi Muljiono, Menteri BUMN Erick Thohir, dan Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto dengan merencanakan pembangunan lumbung pangan nasional (food estate) pertama yang berlokasi di Kalimantan Tengah. Sayangnya, program ini akan dijalankan di area gambut, sebagaimana serupa dengan program orde baru yang gagal. Selain kemungkinan keberhasilan yang belum pasti, upaya membangun food estate dengan membabat areal hutan justru akan berdampak signifikan terhadap kerusakan lingkungan.

Berbagai persoalan terkait pangan agaknya sudah berlangsung berlarut-larut. Misalnya yang paling krusial adalah sektor pertanian kita kehilangan ratusan ribu petani di setiap tahun dan mengalami penyusutan area pertanian sampai 120 ha per tahun. Dua hal ini menjadi faktor penyebab menurunnya produktivitas pertanian dan rentannya kondisi ketahanan pangan kita. Artinya, tidak cukup hanya sekedar mengandalkan desa-desa yang sejauh ini menjadi tulang punggung dalam memproduksi hasil pertanian, melainkan harus pula melakukan ekstensifikasi pertanian di tempat selain desa, yakni kota yang selalu ditempatkan sebagai basis konsumsi.

Apalagi jumlah penduduk kota di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan mereka yang tinggal di desa. Bahkan, pada tahun 2025 jumlah penduduk kota diprediksi mencapai 60%. Dengan demikian, bila warga di kota tidak berupaya memproduksi sumber pangannya sendiri sampai pada batas yang memungkinkan, maka kota menjadi ruang yang paling rentan terhadap ancaman krisis pangan, terlebih bila distribusi pangan dari desa ke kota mengalami hambatan seperti pandemi saat ini.

Pertanian Masa Depan:  Tantangan dan Harapan

Badan Pusat Statistik (BPS) akhir-akhir ini baru saja mengumumkan bahwa pertumbuhan GDP kita pada kwartal II tahun ini minus 5,32%. Dari data tersebut kita bisa melihat bahwa sektor pertanian justru tumbuh positif (16%), sementara sebagian besar sektor lain rontok ke arah minus.

Pertanian masih tetap merupakan sektor yang paling banyak menyerap tenaga kerja (35% angkatan karja). Dan jika dibenahi, tak hanya sektor ini menjadi penyedia lapangan kerja ketika yang lain melempem di masa wabah, tapi juga mengentaskan kemiskinan banyak orang serta melumasi mesin ekonomi.

Terlebih menurut catatan Kementerian Agraria dan tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan jumlah tanah yang terindikasi telantar sebanyak 4.042 bidang dengan luas mencapai 2.927.809 hektar. Bila diperbandingkan dengan luas lahan baku sawah (LBS) Indonesia yang sebesar 7.463.948 hektare, maka luas lahan-lahan terlantar tadi lebih dari sepertiga luasan lahan baku sawah.

Artinya, di tengah problem menyusutnya lahan pertanian, sebenarnya masih ada lahan-lahan terlantar yang tidak produktif dan sangat memungkinkan untuk diperdayagunakan untuk bertani.

Bila berkaca pada Kuba yang menjadi salah satu negara dengan produktivitas urban farming terbaik saat ini, maka pengoptimalan lahan-lahan terlantar di perkotaan untuk kegiatan bertani adalah salah satu kuncinya. Melalui urban farming dengan memanfaatkan lahan-lahan kosong dan terlantar, Kuba yang semula di embargo Amerika Serikat dan bergantung impor untuk memenuhi 50% kebutuhan pangan, kini telah membaik. Sekarang Kuba mengurangi ketergantungan impor sampai pada persentase tinggal 16%.

Di Havana misalnya, sebagai ibukota negara Kuba, terdapat 35.000 ha lahan untuk kegiatan bertani. Hal ini tentu berbeda dengan di Indonesia. Sebagai contoh, di Semarang misalnya, hanya terdapat sekitar 3.056 luasan lahan pertanian di kota atau berbanding  sepuluh kali lebih kecil dari area pertanian yang ada di Havana.

Padahal, sebagaimana penuturan Hernowo Budi Luhur selaku Kepala Dinas Pertanian Kota Semarang, menyampaikan jika di area kota Semarang masih terdapat banyak lahan-lahan terlantar. Akan tetapi ada beberapa faktor yang jadi perhatian pihaknya.

“Kita akui ada beberapa hal yang kurang, seperti inventarisasi lahan-lahan terlantar oleh pihak pemerintah yang belum optimal, keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) dari pihaknya untuk melakukan kampanye urban farming, hingga persoalan kesadaran di masyarakat yang masih rendah,” ungkapnya.

Untuk itu langkah-langkah konkrit sebagaimana yang dilakukan STKS dan KWT dengan memanfaatkan lahan terlantar di perkotaan untuk kegiatan bertani, dengan sistem pengelolaan yang kolektif bisa menjadi role model dalam mengampanyekan urban farming. Upaya tersebut sekaligus adalah langkah awal untuk mulai menyuplai kebutuhan pangan secara mandiri dengan jalan mengubah ruang kota: yang semula menjadi basis konsumsi pangan, menjadi ruang produksi pangan. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES