Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Eksistensi Sastra dan Politik

Senin, 18 November 2019 - 13:02 | 266.70k
Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, aktif di LPM Fenomena, HMJ-PBSI, Komunitas Gerilya Literasi, Universitas Islam Malang (Unisma).
Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, aktif di LPM Fenomena, HMJ-PBSI, Komunitas Gerilya Literasi, Universitas Islam Malang (Unisma).
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Bangsa besar akan memiliki masalah besar pula cara menyelesaikannya tidak semudah memutar balikkan telapak tangan, namun dengan memahami dan mengamalkan cipta karya kebudayaan, akan ada titik menemukan permasalahan serta menginiasi sebuah perubahan. Sebab budaya hasil kegiatan dan penciptaan batin manusia yang menjadi tradisi.

Dari kecamuk negeri ini permasalahan satu datang belum selesai datang lagi. Hal ini bukan tidak bisa diselesaikan secara perorangan, namun secara komunal, bersinergi. Sebab akan garis besar dalam hal itu bisa terjadi dan bisa pula ditalanggulangi ketika satu tujuan besar dilakukan secara bersama mencari indikatornya, lalu menemukan solusinya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Masalah negeri ini tidak akan pernah selesai dengan cara paling mudah, kecuali dengan arif setiap lini tentunya masyarakat dari bawah memiliki kesadaran menenganai masalah dan ingin mengubahnya, hal itu bisa terjadi. Bukan dengan cara besar namun dengan melakukan hal-hal kecil sederhana yang bisa dirasa secara komunal.

Negeri besar ini tentunya memiliki indikator-indikator masalah besar pula. Pertanyaannya apakah menyalahkan Negara atau bahkan menyalahkan para pemimpin kita, mungkin kita harus menyadari dengan hal ini, dan menanyakan apa yang telah kita lakukan dengan sederhana atau bahkan ada narasi tunggal tentang apa yang telah kamu persembahkan kepada negeri ini. Tentunya tidak itu menjadi acuan kita, namun itu menjadi dasar bagaimana menemukan sebuah permasalahannya.

Dalam mencapai itu semua salah dua dari apa yang menjadi problem yaitu budaya literasi. Budaya literasi tentunya akan menjadi indikator paling efektif dalam menangani sebuah masalah yang telah diparakan di atas. Hal itu berkaitan dengan kepekaan manusia, namun kepekaan bisa dibentuk dengan cara membudayakan membaca. Dengan membaca manusia akan lebih tajam berpikir, lebih luas pemahaman, dan bahkan bisa lebih bisa memperhalus perasaannya. Dan hal itu bisa saja dalam membentuk kesadaran sesuaikan dengan bacaannya, jika perubahan diri membaca karya yang berbasis disiplin ilmunya Humaniora (ilmu kemanusiaan/sosial), yang perubahannya dimulai dari dalam secara evolusi, sedangkan eksakta (sains) berkatikan dengan perubahan teknologi dan hal-hal yang dapat dijangkau oleh mata.

Namun dalam hal ini akan menyoroti salah dua dari disiplin ilmu. Dikelompokkan humaniora, yaitu sastra atau lebih spesifiknya karya sastra. Bahkan kita tahu sastra adalah salah satu ranah ilmu paling bisa dikatakan absurd dan bahkan ada yang abtraks. Ketika menelisik dari dalam secara reaksi lalu rekontruksi, dan dekontruksi. Maka tersebut dapat menjadi pisau analis sebagai keberadaan sastra yang hari ini apakah masih eksis atau telah krisis, lebih teragis menjadi mais (dalam bahasa Indonesia batu nisan). 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dengan kembuk negeri ini bertubi-tubi, dan tidak ada titik temu dalam menyelesaikannya. Dengan membangun kesadaran masyarakat dari bawah karya sastra akan menjadi alternatif membentuk revolusi yang secara evolusi. Selain itu sebagai salah dua dari alternative mempelajari antropologi budaya, sejarah, dan belajar bahasa. Karena sastra memiliki dimensi berbeda dengan disiplin ilmu lain. Yang paling penting kita tahu sastra dan bahasa tidak dapat dipisahkan.

Dan ketika bisa menciptakan karya sastra tentunya akan melahirkan sebuah peradaban baru, sebab masa lalu akan menjadi refrensi di masa depan menopang peradapan baru. Karena dengan demikian sastra bukan hanya memberikan nilai keindahan namun juga ada nilai-nilai kemanusian, yang mengaduung nilai-nilai filantropi. Ketika dibaca akan lebih menggugah diri untuk bisa membuka diri sebagaimana seperti mempertanyakan diri sendiri mengenai fungsinya. sehingga akan lahir peradapan baru.

Hilmar Farid dalam pidato kebudayaan tahun 2014 berkata bahwa kita orang Indonesia harus sadar akan semua banyak hal, karena masalah politik, korupsi, agrarian, serta kekerasan berkaitan pula dengan semua yang ada dalam peradaban kita, maka yang harus dibangunkan dari diri kita yaitu sadar bahwa “Jika perubahan tercipta lahir dari sebuah kesadaran yang tidak hanya menjadi pelebaran sayap namun mendalami tubuh, sehingga dalam tubuh manusia bisa memahami bahasa naluri, dan naluri akan membawa kepada akal budi, dan akan budi akan mencipta sebuah kebudayaan. Dan manusia sebagai pelaku di dalamnya memberi peran di dalamnya”.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Bahkan dalam pandangan sempit terkadang kita tidak memperhatikan sebuah kebuadayaan, padahal ketika kebudayaan kita besar dan masyarakat sadar akan itu, maka negera ini secara pelan-pelan akan menjadi besar karena ada kesadaran yang dibangun dari dalam, serta akan senantiasa akan memahami sebuah fungsi manusia sebagaimana bisa menggunakan kearafinnya sebagai kebijaksanaan.

Ketika itu tercapai maka akan tercipta nantinya sebuah peradapan. Peradapan baru yang mampu menyelesai persoalan di negeri ini, memandang dari sebuah karya sastra tidak lepas dari permasalahan lingkungan, maka karya sastra yang baik bukan hanya memperhatikan sebuah puitika, estetika, namun memberi nilai kemanusiaan, tentunya karya sastra mengandung sebuah dampak kebaikan.

Soe Hok Gie aktivis 1962an pernah menuliskan “dalam hidup bukan hanya berbicara tentang makna dan arti namun kita harus berbicara tentang keindahan” ketika itu dimaknai secara detail bahwa kehidupan manusia ketika kita hanya sibuk dengan memberikan kepada orang lain tentang makna namun ketika keindahan tidak diperhatikan apakah makan dan arti bisa diterima oleh orang lain, jika keindahan itu bisa dipersembahkan tentunya manusia akan menerima keindahan karena manusia sudah menjadi kudrotnya menyukai keindahan.

Perkembangan Sastra Di Indonesia Tidak Signifikan Mencipta Perubahan

Sebagai jurusan sastra penulis tentunya menerima statement tersebut. Bahwa ada yang asumsi yang menjadi renungan untuk kita semua mengenai sebuah pandangan, yang berbunyi kalau perkembangan sastra tidak dirasa secara siginfikan, dan bahkan teori kesusastraan tidak pernah berubah dari dulu hingga kini. Sehingga dalam perkembangan tidak pernah terlihat secara signifikan. Dan yang menjadi kesadaran kita hari ini bahwa kerja-kemanusiaan akan hadir dalam jiwa, berbeda dengan sebuah perkembangan teknologi selalu berkembang dan akan dirasa secara signifikan.

Dan kerja dalam jiwa hanya bisa dirasa setiap individu yang nantinya akan bisa menjadikan kita tambah arif, lebih tepat akan menciptakan sebuah perbuhan secara bertahab dari dalam, yaitu membentuk karakter. Ketika karakter telah terbentuk maka tidak akan melahirkan sebuah mental kerdil, sumbuh pendek, ekstrim kanan, ektrim kiri. Melainkan akan selalu membuat sebuah pandangan perubahan yang kreatif secara futuristik.

Kelahiran sebuah pandangan bebas dalam dunia sastra yaitu sebuah kebebasan yang kreatif akan lahir dari sebuah kebebasan berpikir yang arif. Kebebasan yang menjadi kudrot terbentur kepada sebuah karakter yang akan membentuk sebuah peradaban, salah satunya dalam bidang kesusastraan manusia akan lebih bebas dalam berpikir. Berpikir secara radikal untuk menemukan sebuah titimangsa celah sebuah peradaban yang menciptakan sebuah estetika.

Dan kesadaran itu  lahir dan berharap akan memiliki pondasi kuat dalam menghadapi globalisasi serta akan lebih terarah dalam memanfaatkan teknologi. Membentuk sebuah peradaban yang kreatif, bukan yang konservatif. Maka peradapan baru dengan menggunakan sebuah perspektif kehidupan tren postif dan manside perubahan selalu tertera dalam pikiran dan tindakan dan menjadi habbit yang bajik.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di dalam sebuah konflik horizontal atau yang vertikal di dalam negeri ini. Akhir-akhir ini banyak permasalahan yang bisa dikatakan akan tidak ada ujungnya ketika itu dianggap sudah usai. Namun ada beberapa masalah yang tidak dapat diselesaikan secara cepat karena adanya sebuah kertkaitan dengan oknum-oknum berpengaruh di negeri ini yang akan kebal hukum dalam bahasa kasarnya. Mengapa berasumsi seperti itu masyrakat menilai sendiri.

Ketika konflik sosial tidak pernah ada ujungnya, seperti halnya ada yang tumbuh kembali sebenarnya hal itu sudah menjadi kewajaran dalam kehidupan di dunia. Sebab tidak ada yang absolut dalam kehidupan ini, setiap masalah ada yang selesai ada pula yang tidak, lantas harus seperti apa menyikapinya. Sebagai aktivis mahasiswa membuka kesadaran baru yang ada dalam benak kita hanya dengan kesadaran yang bijiksana menyikapi kehidupan ini mungkin hanya dengan seperti itu akan tidak akan mengalami kesangsian berpikir tentang kehidupan ini. Karena yang kekal dan kehidupan akan ada pertanggungjawaban.

Ketika di atas mengacu pada sebuah permasalahan umum dalam dinamika sosial negeri ini. Kesadaran itu tentunya akan terbangun dengan sendirinya oleh masyarakat, dengan kecepatan informasi.  Namun bukan masalah itu saja akan menjadi sorotan seharusnya, namun dalam hal lain juga harus kita perhatikan sebagai insan yang berperikemanusiaan. Hal ini akan berkaitan dengan sebuah kebudayaan, mengapa kebudayaan akan menjadi hal yang perlu dibahas sebab sebuah Negara akan memiliki peradapan yang baik, ketika masyarakatnya memiliki peradapan yang berkarakter.

Sebuah karakter akan dibangun dari sebuah kesadaran, kesadaran dibangun dari sebuah kebutuhan, kebutuhan dibangun dari sebuah cita-cita, cita-cita dilahirkan dari sebuah pemikiran, pemikiran dilahirkan dari sebuah karakter ada karena ada sebuah budaya dan lingkungan mendukungnya. Hal yang paling sentral dari sebuah perubahan terletak dari sebuah pondasi.

Bangunan yang kuat akan dilihat dari pondasi yang kuat pula. Kesusastraan Indonesia merupakan sebuah disiplin ilmu yang tidak baru, sastra di Indonesia bisa dikatakan suatu hal yang baru. Banyak praktik-praktik kebudayaan yang dikrucutkan lagi mengenai sastra itu senderhana sebut saja puisi hal itu bisa dikatakan sebuah remeh temeh namun dalam sebuah karya tidak semudah dibayangkan, kerja kebudayaan merupakan sebuah kerja-kerja yang akan menjadi keabadian serta menjadi arsip dalam sebuah negera.

Wislawa Zsymbroska penyair dari Polandia pernah menuliskan bahwa puisi adalah diri hidupku, kurasakan mampu menembus keadaan dalam ruang rasaku atau rasa seirabf tabf membuatnya. Menulis puisi kebutuhan spiritual untuk mengatakan sesuatu yang lebih umum tentang dunia, dan terkadang mengena sesuatu personal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Hal itu menunjukkan bahwa sebuah kebuadayaan serta cinta terhadap negeri ini (nasionalisme), banyak cara. Salah duanya kerja-kerja kebudayaan merupakan sebuah kecintaan atas negeri ini. Apresiasi yang harus dilakukan oleh beberapa pemangku bahkan para masyarakat menengah, bawah, dan untuk lebih arif bukan hanya bentuk membacakan namun lebih tepatnya bisa mengembangkan sebuah hasil pemikiran yang dilahirkan oleh manusia yang tercipta dari arah pemikiran manusia itu sendiri. Dalam kebudayaan manusia bahwa peradaban akan tercipta bukan hanya ada dalam pelebaran sayap pengetahuan namun lebih tepatnya pada pedalaman sebuah pengetahuan dengan cara mengamalkannya.

Dalam akhir-akhir kita bisa mengambil contoh dari hasil karya-karya anak bangsa yang tidak hanya ada dalam benak, namun juga ada dalam jiwa. Beberapa hari lalu tepat pada bulan di tanggal 23-26 di Kota Malang tepat depannya Gedung DPR, seruan mahasiswa bukan hanya menjadi seruan tanpa dasar, namun banyak mendengarkan pembacaan puisi, yang dibacakan oleh mahasiswa mengenai karya sastra berupa puisi. Biasanya yang dibacakan oleh beberapa mahasiswa (i) pada saat di demo. Sehingga apresiasi yang dibacakan pada karya sastra tersebut merupakan karya dari WS. Rendra, dan Wiji Tukul puisi-puisi kemanusiaan yang dibuatnya merupakan karya sastra puisi biasa menjadi andalan ketika dibacakan.

Hal itu menjadi bukti bahwa kerja-kerja kemanusia dalam membuat karya sastra tidak hanya menjadi narasi tunggal bahwa puisi, bukan hanya seruan individu meledak-ledak yang hanya menjadi curhatan dari sebuah karya sastra. Karya sastra yang baik mampu menyisipi nilai-nilai kemanusiaan tanpa membuang esensi dalam puisi yaitu sebuah puitika.

Dengan cara-cara menguasai sebuah bahasa maka karya sastra juga akan tercipta. Maka sebuah bahasa sebagai alat bercerita dan sastra sebagai wadah bercerita. Sehingga sastra menjadi arsip kebudayaan manusia yang akan menjadi abadi dan salah satu mempererat sebuah budaya serta bahasa. Cerita dari manusia juga bukan hanya menjadi sebuah fiktif belaka tanpa ada rekaman dunia, namun kehidupan akan selalu berkembang dengan adanya tugas-tugas kemanusiaan yang dijadikan refrensi di masa lalu dengan cara paling sederhana.

Mengemas dengan cara paling sederhana sebagai bentuk kecintaan atas kebudayaan, maka puisi kadang menjadi salah satu alternatif menyisipi sejarah, ketika kita lihat dinamika kehidupan manusia tanpa mendengarkan sebuah peradapan masa lalu tidak akan menemukan langkah masa depan yang beradap serta bijaksana. Presiden Amirika J.F Kennedy pernah mengatakan ketika politik itu kotor maka puisi yang bisa membersihkan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*)Penulis: Akhmad, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, aktif di LPM Fenomena, HMJ-PBSI, Komunitas Gerilya Literasi, Universitas Islam Malang (Unisma).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES