Peristiwa Daerah

Pengamat: Yang Mengatakan Aksi Terorisme Rekayasa Harus Diluruskan

Sabtu, 16 November 2019 - 08:27 | 100.72k
Analis intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta. (FOTO: Stanislaus for TIMES Indonesia)
Analis intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta. (FOTO: Stanislaus for TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Analis intelijen dan terorisme, Stanislaus Riyanta menanggapi berbagai tuduhan bahwa kejadian teror bom bunuh diri yang sempat terjadi seperti di Mapolrestabes Medan dan penusukan terhadap mantan Menko Polhukam di Pandeglang sebagai rekayasa. Tuduhan yang cenderung bias i ini bisa menghambat pemberantasan terorisme di Indonesia.

Menurutnya, setiap kali terjadi peristiwa teror di Indonesia, nyaris selalu muncul ujaran dari pihak tertentu yang menyebutkan bahwa aksi teror tersebut adalah rekayasa. 

Tuduhan rekayasa terkait aksi teror di Indonesia itu juga terjadi ketika Wiranto yang pada saat itu menjabat Menko Polhukam menjadi korban aksi teror di Pandeglang (10/10/2019).

Tuduhan dan komentar yang bias ini tentu menurutnya harus diluruskan agar tidak menjadi hal yang kontraproduktir terhadap penanggulangan terorisme di Indonesia.

"Fakta paling mudah untuk membuktikan adanya kasus terorisme adalah adanya proses hukum. Sejak tahun 2000 hingga pertengahan 2018 tercatat sebanyak 1.49 9 orang menjalani proses hukum karena peristiwa terorisme. Persidangan dalam proses hukum tersebut dilaksanakan secara terbuka sehingga bisa dilihat secara langsung oleh masyarakat. Dengan tambahan kasus bom Surabaya dan aksi-aksi lainnya hingga terakhir kasus bom Medan maka lebih dari 2.000 orang telah diproses hukum karena terlibat dalam aksi terorisme," ujar Stanislaus kepada TIMES Indonesia di Jakarta, Sabtu (16/11/2019).

Stanialaus menjelaskan alasan kenapa polisi selalu menjadi target dari aksi teror terutama oleh kelompok atau orang yang berafiliasi dengan ISIS. 

Menurutnya karena tugas Polri untuk menegakkan hukum termasuk atas tindak pidana terorisme membuat kelompok atau orang yang mempunyai paham radikal menjadikan polisi sebagai musuh yang harus diperangi. 

Selanjutnya dia mengutip dari KOMPAS, aksi-aksi teror yang terjadi terhadap polisi seperti di Kebumen (15/3/2010), Purworejo (22/9/2010),  Deli Serdang (22/9/2010), Klaten (1/12/2010), Cirebon (15/4/2011), Poso (3/6/2013), Tasikmalaya (20/7/2013), Semarang (16/9/2013), Jakarta Pusat (14/1/2016), Surakarta (5/7/2016), Makassar (1/1/2018), Depok (8/5/2018), Surabaya (14/5/2018), Pekanbaru (16/5/2018), Banyumas (25/5/2018), Sukoharjo (3/6/2019), Surabaya (19/8/2019) dan terakhir di Medan (13/11/2019) tidak bisa dinggap main-main.

Mahasiswa Doktoral Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia dengan tegas menegaskan bahwa belasan aksi teror terhadap polisi dalam sepuluh tahun terakhir ini membuktikan bahwa kelompok teroris melakukan serangan terhadap polisi sebagai bentuk perlawanan terhadap negara.

Oleh karena itu dengan Data dan fakta tersebut di atas dia menegaskan bahwa secara otomatis membalikkan logika dan persepsi pihak-pihak yang menyebutkan bahwa terorisme di Indonesia adalah rekayasa atau settingan tidak benar.

"Dengan banyaknya korban dari masyarakat maupun dari aparat kepolisian dalam kasus terorisme di Indonesia, sekaligus adanya fakta-fakta persidangan yang sudah dilakukan, maka jika ada pihak yang meragukan adanya terorisme di Indonesia patut diduga bahwa pihak tersebut adalah bagian dari aksi terorisme yang bertugas untuk melakukan propaganda di masyarakat dan melemahkan program penanggulangan terorisme," kata Stanislaus Riyanta, analis intelijen dan terorisme. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Jakarta

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES