Kopi TIMES

Polemik Impor Garam Saat Produksi Berlimpah

Jumat, 15 November 2019 - 18:40 | 223.41k
Petani Garam. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)
Petani Garam. (FOTO: Dok. TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Siapa yang tak tahu bumbu dapur satu ini? Selain sebagai bahan pelengkap penyedap rasa makanan, garam memiliki segudang manfaat bagi tubuh seperti untuk menyembuhkan luka dengan cepat dan mudah, mengatasi bau mulut, mencegah tubuh kekurangan iodine, menyehatkan kehamilan, dan masih banyak lagi.

Garam bukan hanya digunakan sebagai kebutuhan pokok rumah tangga tetapi juga untuk kebutuhan industri seperti industri kimia, industry farmasi, industri perminyakan,dan begitu juga industri aneka pangan. Oleh karena itu, dilansir dari beberapa media mengungkapkan bahwa pemerintah sepakat menjadikan garam sebagai salah satu komoditas barang kebutuhan penting. Hal tersebut memunculkan persoalan berapa produksi garam sebenarnya dan apakah produksi garam sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan tersebut?

Kita tahu, bahwa Indonesia merupakan negara maritim yang memiliki garis pantai terpanjang yaitu 90.000 km yang seharusnya banyak menghasilkan produksi garam melimpah. Namun yang terjadi malah mendatangkan garam dari negara lain. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistika (BPS), data impor menurut negara utama sepanjang tahun 2010 sampai dengan tahun 2018 adalah berturut-turut 2,083; 2,835; 2,223; 1,922; 2,268; 1,864; 2,143; 2,552; 2,839 dalam juta ton.

Dapat dilihat volume impor garam tertinggi sepanjang tahun tersebut terjadi pada tahun 2018 yang mencapai sebesar 2,839 juta ton, naik 11,2% dari tahun sebelumya yaitu 2,552 juta ton. Volume impor tinggi juga sempat terjadi di tahun 2011 yaitu sebesar 2,835 juta ton, sedangkan impor terendah sepanjang tahun tersebut berada di tahun 2015 yaitu sebesar 1,864 juta ton. Banyak garam yang didatangkan dari berbagai negara, Australia menjadi pemasok garam terbanyak sepanjang tahun 2018 yaitu 2,603 juta ton sendiri, disusul Negara Anak Benua atau Negara India sebagai pengimpor garam sebanyak 0,228 juta ton. 

Produksi garam nasional pada tahun 2015 berdasarkan data Kementrian Kelautan dan Perikanan Indonesia (KKP)  mencapai 2,84 juta ton dengan rincian 2,5 juta ton produksi garam rakyat untuk digunakan sebagai garam konsumsi sedangkan sisanya berupa garam industri.

Selain itu produksi nasional tahun 2018 sendiri sebanyak 4,1 juta ton garam, sementara itu kebutuhan garam tahun 2018 hanya sebesar 3,7 juta ton yang sebelumnya 2,1 juta ton naik menjadi sebesar 76,19%, menurut Kementrian Perindustrian (Kemenperin). Lonjakan kebutuhan garam tersebut masih saja membuat produksi garam nasional berlebih, ditambah pula dengan jumlah impor garam yang tidak bisa dikatakan cukup kecil. 

Indonesia telah melakukan impor garam yang berlebihan, akibatnya harga garam jatuh dipasaran bahkan tidak sedikit garam yang telah dibuang di sungai, akar permasalah ini yaitu kurang terserapnya produksi garam nasional untuk kebutuhan industri. Memang banyak permasalahan yang dihadapi oleh para produsen garam sendiri, salah satunya banyak sektor industri menuntut kualitas garam yang tinggi dibandingkan dengan garam konsumsi rumah tangga.

Selain masalah tersebut, produktivitas garam yang masih dikatakan rendah juga menjadi masalah seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dan industry yang membutuhkan garam berkualitas. Menjadi peringkat 10 besar teratas Negara dengan garis pantai terpanjang bukan faktor utama akan produksi garam yang tercukupi dan berkualitas, kenyataannya Indonesia tidak masuk dalam produsen garam terbesar di dunia sehingga dapat dikatakan belum bisa memaksimalkan produksi garam negeri. 

Rendahnya produktivitas garam di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lainnya disebabkan oleh teknik produksi dan peralatan yang digunakan masih sangat tradisional serta produksi garam yang sangat bergantung pada cuaca yang secara umum hanya memungkinkan memproduksi garam hanya dalam waktu 4 bulan (KKP, 2014).

Dibandingkan Australia yang juga memiliki garis pantai terpanjang dengan iklimnya yang memungkinkan untuk memproduksi garam hingga 8 bulan, Indonesia masa produksinya jauh lebih pendek sehingga garam yang dihasilkan kalah tinggi kualitasnya dengan Australia. Selain itu, meskipun jumlah produksi garam Indonesia tidak dapat dikatakan sedikit, namun kualitas garam yang diproduksi sendiri belum memenuhi persyaratan yang diinginkan oleh industri yang dikarenakan garam tidak dikelola oleh petani rakyat dengan teknologi tinggi dan canggih.

Memang sangat disayangkan pemerintah mengambil kebijakan impor berlebih walaupun kita tahu pemerintah mengalami dilema untuk memenuhi kebutuhan garam berkualitas, namun kita ketahui bahwa banyak daerah Indonesia yang memiliki potensi penghasil garam berkualitas seperti Cirebon, Sampang, Kupang, Pati, Indramayu, Sumenep, Rembang, dan daerah lainnya. Indonesia kalah saing dalam produksi garam di dunia, di situlah tantangan pemerintah bagaimana meningkatkan produktivitas garam yang berkualitas dengan pemanfaatan julukan negara pemilik garis pantai terpanjang. 

Oleh karena itu, pemerintah diharapkan dapat membatu kendala-kendala dalam produksi garam agar garam yang dihasilkan lebih berkualitas sehingga mengurangi impor dan dapat bersaing tinggi di kancah dunia seperti penggunaan alat produksi yang modern dan canggih. Akan lebih baik lagi, jika dikembangkannya daerah-daerah lain luar pulau jawa yang memiliki potensi untuk memproduksi garam, begitu pula daerah yang sudah tinggi dalam memproduksi garam agar kualitas garam yang dihasilkan memenuhi kualitas industri-industri Indonesia bahkan untuk ekspor juga. (*)

*) Penulis, Putri Nur Isnaini, Mahasiswa Politeknik Statistika STIS

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES