Kopi TIMES Universitas Islam Malang

Radikalisme Agama Bertransformasi Menuju Terorisme Berkedok Agama

Jumat, 15 November 2019 - 13:10 | 146.54k
Kukuh Santoso, M.PdI, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (Unisma)
Kukuh Santoso, M.PdI, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (Unisma)
FOKUS

Universitas Islam Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – “Sesungguhnya tugas mengatur dan mengelola urusan orang banyak (pemerintah dan Negara) adalah termasuk kewajiban dalam agama yang paling agung. Karena tidak mungkin agama bias tegak tanpa dukungan Negara”. (ibnu Taimiyah)

Ketika agama lebih dipahami dari sisi dogmatis, tekstual-formalistik, ritualistic dan simbolik, maka akan mudah memicu konflik dan kekekrasan, apalagi bila berbenturan dengan peradaban lain. Karena itu yusuf al Qardawi, konflik bernuansa agama lebih bisa terjadi akibat pemikiran yang ekstrimisme agama yaitu fanatisme dan intoleransi, salah satunya antara lain akibat dari prasangka,kekakuan, dan kepicikan pandangan yang kemudian berlebihan atau melampaui batas. Belum lagi faham transnasional  hizbut tahrir yang sedang marak di negeri kita Indonesia dibawa dari timur tengah oleh kelompok fundamentalis gerakan sayap kanan dan liberalisme gerakan sayap kiri. Yang memandang Indonesia sudah waktunya layak merubah sistem pemerintahan dari demokarasi menuju sistem khilafah, atau spirit gerakan ISIS menuju Indonesia. Pertanyaannya? Kalo di Negara Palestina dan Negara-negara timur tengah saja, gerakan taqiyyudin Annabani sebagai pendiri gerakan hizbut tahrir di tolak oleh umat muslim timur-tengah, kenapa bangsa Indonesia yang harus dipaksa untu menerimanya. Biarlah bangsa Indonesia tetap Indonesia dengan kemajemukannya,dengan tasamuhnya, dengan kerukunannya, dengan kesatuan dan persatuannya. Tidak ada tempat untuk para teroris di Indonesia.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tidak akan ada pelaku teroris tanpa diawali pemikiran yang radikalis, mengapa keduanya saling berkaitan, karena pemikiran radikalisme itu suatu ideologi (ide/gagasan) dan paham yang ingin melakukan perubahan pada system sosial dan politik dengan menggunakan cara yang ekstrim dan perwujudan atau perbuatannya disebut teroris.

Isu terorisme mencuat kembali seiring peristiwa BOM di mapolresta medan Rabu,13/11/2019. Bagaikan mata rantai yang tidak terputus, pola dan jaringan keras ini selalu memiliki generasi-generasi penerus perjuangan jihad melawan pemerintah, hal ini dipengaruhi suatu pemikiran yang dangkal dalam memahami agama.

 “Terorisme dan kekerasan atas nama agama merupakan sesuatu yang merusak kehidupan. Moderasi sebagai jalan ketiga setelah radikalisme dan deradikalisme, untuk memilah-milah mana radikalisme yang harus dihadapi dengan pendekatan persuasi dan mana yang perlu tindakan hukum. Moderasi menawarkan ‘blocking area’ yakni melakukan lokalisasi penanganan kasus radikalisme, sehingga tidak digeneralisasi atau diperluas cara penanggulangannya.” (Haedar Nashir).

“Para penganut ‘teologi maut’ mengabaikan prinsip dasar Alquran, yaitu mengambil nyawa manusia dengan cara melanggar hukum dan tidak adil, serta dipandang sebagai bentuk utama kerusakan (QS 17:33). Tindakan merampas hak hidup seseorang tanpa ada sebab yang sah merupakan dosa terbesar setelah menyekutukan Tuhan.” (A. Syafii Maarif).

Menurut emilianis elip Meredam radikalisme agama yang cenderung anarkis dan teroris, harus bersifat counter ideologis dan praktis taktis progresif sebagaimana para ektrimis itu juga melakukannya melalui jalan ideologis dan praktis progresif, diantaranya:

Pertama, kita memiliki dua organisasi keagamaan (Islam) yang besar, yang sudah diakuai sikapnya yang moderat, yang juga sudah melayani umat Muslim amat lama, memiliki umat pengikut yang terbesar di Indonesia, yang juga sudah diakui negara yaitu Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah (MH). 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Diharapkan NU dan MH ini bersinergi secara kuat untuk merumuskan counter ideologi berbasis dogma agama, dan menyebarkan secara mekanisme jejaring dan organisasi yang rapi, melalui masjid-masjid diseluruh Indonesia secara berkelanjutan. 

Banyak sekali institusi universitas dari NU dan MH yang dapat dan sudah menelorkan ustad muda atau cendekiawan muslim muda, yang bisa diorganisir secara programatis serta diutus sebagai gerakan pelayanan umat yang membina masjid-masjid di seluruh wilayah Indonesia. Demi masa depan negara yang harmonis tentu saya yakin semua unsur masyarakat akan rela membantu dan mendukung terwujudnya gerakan semacam itu.

Kedua, negara perlu mengembangkan kembali semacam "gerakan kebersamaan semestra", yang memfungsikan kembali RT, RW, Pedukuhan/Kampung, dan Pemerintah Desa sebagai medium pertemuan rakyat untuk memastikan bahwa penduduknya terlibat dalam kegiatan-kegiatan lokal dan pertemuan keagamaan di tingkat lokal, sebagai media untuk memantau warga. 

Dari berbagai informasi di media masa ada kecenderung bahwa para penganut radikalisme agama ini cenderung memisahkan diri, minimalis terlibat dalam kegiatan warga, rumahnya/indekostnya sangat tertutup, dan lain-lain. Tentu saja, karena mereka tidak ingin aktivitasnya diketahui warga sekitarnya secara relatif mendalam. Gerakan semacam itu juga bisa dimanfaatkan untuk memantau dan mencegah pergerakan individual, keluarga, atau sel-sel kelompok radikalisme agama dan terorisme.

Ketiga, lembaga negara yang amat penting yang baru-baru ini didirikan dalam rangka untuk menanamkan dan menyebarluaskan ideologi Pancasila harus segera dapat bekerja. 

Saya sangat berharap seseorang yang akan duduk dibirokrasi pemerintah dan militer harus lolos screening track-record dan loyalitasnya terhadap Pancasila, dan harus terus dipantau selama dia menduduki jabatan-jabatan strategis yang kebijakannya menyangkut kepentingan orang banyak. 

Coba bayangkan jika di institusi kementerian pendidikan dan jajaran dinas pendidikan di daerah, atau kementerian informatika, atau lembaga-lembaga kemiliteran, tersusupi paham radikalisme agama, maka pada suatu titik tertentu dia akan menjadi "nanah" perpecahan yang tidak mungkin dapat diatasi lagi. 

Sel radikalisme agama sangat mungkin akan memunculkan "saling bunuh" antar pemeluk agama, dan sejarah hidup beragama telah memiliki pengalaman panjang tentang hal itu.

Keempat, harus ada kebijakan regulasi yang dapat mendukung negara dalam rangka untuk menangkal, mencegah, dan melakukan tindakan terhadap gerakan radikalisme dan terorisme, termasuk yang berbasis gerakan agama.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Kukuh Santoso, M.PdI, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES