Peristiwa Daerah

Analisis Potensi Tsunami di Maluku Utara

Jumat, 15 November 2019 - 13:52 | 278.76k
Ario Muhammad, PhD, peneliti dan Postdoc Bidang Analisis Resiko Tsunami & Gempa di University of Bristol, Inggris.
Ario Muhammad, PhD, peneliti dan Postdoc Bidang Analisis Resiko Tsunami & Gempa di University of Bristol, Inggris.

TIMESINDONESIA, JAKARTAGempa kembali menghantam wilayah laut antara Pulau Halmahera dan Pulau Sulawesi. Kali ini terasa “spesial” karena magnitudenya mencapai 7.1 skala richter, yang berpotensi tsunami sedangkan gempa dengan kekuatan sekitar 7.0 skala richter sudah terjadi pada tanggal 7 Juli 2019 lalu.

Sebelumnya, berdasarkan informasi resmi dari MBKG, gempa pertama terjadi sekitar pukul 01.17 WIT dengan kedalaman 10 km (M 7.4) yang berlokasi 138 km ke arah barat daya dari Ternate. Namun kemudian direvisi kedalamannya menjadi 45 km dengan kekuatan magnetude 7.1. Data yang sama setelah revisi juga ada dalan situs United State Geological Survey (USGS).

Persoalan revisi ini memang lumrah dilakukan. Umumnya paling lambat 5 menit, BMKG akan mengeluarkan peringatan dini tentang kejadian gempa atau gempa menghasilkan tsunami dari data terkini yang tersedia. Analisis lanjutan akan dilanjutkan untuk menentukan status bencana yang terjadi setelah peringatan dini ini keluar.

"Hasil dari analisis lanjutan ini yang kemudian menjadi data revisi yang langsung diinformasikan kepada masyarakat melalui berbagai media," papar Peneliti / Postdoc Bidang Analisis Resiko Tsunami & Gempa di University of Bristol, Inggris, Ario Muhammad, PhD dalam press releasenya yang diterima TIMES Indonesia melalui whatshap, Jum'at (14/11/2019).

Ario menjelaskan, kejadian gempa maupun tsunami di Maluku Utara bukanlah hal yang baru. Jika kita menengok sejarah tsunami di Maluku Utara yang dikeluarkan oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) milik Amerika Serikat.

"Sudah tercatat rekaman tsunami yang cukup besar hingga 10 m di perairan Maluku Utara. Seperti di pelabuhan Sidangoli pada tahun 1858 - 1859 atau tsunami pada tahun 1965 yang merusak kota Sanana," tuturnya.

Namun demikian, tsunami tersebut sangat mungkin tidak tepat mengingat belum ada pengumpulan data yang komprehensif di masa itu.

Ario mengingatkan bahwa yang perlu di perhatikan dengan kejadian gempa adalah gempa susulan. Menurutnya, hal itu lumrah terjadi dengan gempa sebesar 7 SR seperti ini.

"Akan ada gempa - susulan dengan kekuatan 4 - 6 SR dengan kedalaman dan lokasi yang tak jauh beda dengan gempa yang barusan terjadi di kedalaman 45 km dan berjarak 138 km dari Kota Ternate," jelasnya.

Untuk itu, Ario berpesan agar masyarakat tidak terlalu panik dan takut adanya tsunami karena gempa susulan ini. Sebab lokasinya cukup jauh dan besarnya akan lebih kecil dari 7 skala richter. Akan tetap harus selalu waspada ketika gempa terjadi.

Ario yang pernah menjadi korban gempa tahun 1993 - 1994 itu pun membuat perbandingan antara kejadian tsunami di kota Palu dan gempa yang berpotensi tsunami yang terjadi di kota Ternate, Provinsi Maluku Utara.

Menurutnya, wilayah Ternate sangat berbeda dengan Palu dalam konteks kejadian tsunami. Kota Palu memang langsung dilewati oleh sesar Palu Koro yang umumnya menghasilkan gempa sesar.

Gempa ini umumnya tidak memicu tsunami. Namun kejadian tsunami di Palu kemarin memang cukup mengagetkan. Tidak ada prediksi tsunami kala itu karena tipe gempanya bukan gempa megathrust.

"Ternate tentu saja berbeda. Ternate tidak dilewati sesar yang membelah kota seperti yang ada di Palu," ujarnya.

 Ario menambahkan, gempa di Kota Palu kala itu, memicu longsor di perairan dekat dengan pusat kota yang berakibat tsunami hebat di kota tersebut, dan penyebab utamanya masih terus diteliti sampai sekarang.

"Jadi dampak di Ternate tak langsung seperti di Palu," cetusnya. Sebab sumber gempa dan tsunami yang dekat dengan Ternate berada di perairan lepas setelah area wilayah barat. Tapi bukan berarti tak akan kena dampak. Karena wilayah Ternate masih merupakan daerah beresiko karena wilayah barat (belakang gunung) langsung menghadap dua sumber gempa megathrust yang berpotensi tsunami yaitu thrust Sangir dan Halmahera.

Dari kebanyakan wilayah terdampak di pulau Ternate, Ario mengatakan bahwa sesuai dengan hasil simulasi tsunami yang dilakukanya dan disampaikan pada seminar Fakultas Teknik, Universitas Khairun tanggal (19/08/2019), hampir seluruh wilayah kota Ternate cukup berpotensi tsunami terutama jika terjadi gempa dengan kekuatan hingga 7.9/8.0 skala richter.

Kemudian juga kekuatan gempa hingga 8.0 skala richter dengan prediksi maksimum kekuatan gempa dari Halmahera Thrust yang berada di peta gempa Indonesia terbaru.

"Wilayah belakang gunung sangat beresiko, sampai ke area Pulau Hiri, termasuk di perairan antara Maitara, Ternate dan Tidore. Adanya pulau Maitara dan Tidore yang mengapit bagian kota (Selatan) Ternate, membuat aliran air laut semakin meninggi di wilayah tersebut. Jika mencermati peta kota Ternate dengan lebih teliti, wilayah setelah terminal lama (masjid Raya Al-Munawar) cenderung lebih aman dibanding daerah Falajawa 1 hingga ke Bastiong. Bahkan seperti Kel. Gambesi hingga Jambula termasuk wilayah yang rentan dengan tsunami. Untuk itu, harus ada peringatan dini dari BMKG," paparnya.

Namun begitu, Ario menganggap kota Ternate masih sangat menguntungkan dari banyaknya wilayah evakuasi. Karena hanya berlari beberapa menit saja, penduduk di sana sudah bisa sampai di ketinggian 30 m dari permukaan laut yang umumnya digunakan sebagai titik evakuasi kasar selama tsunami terjadi.

Ternate memiliki wilayah evakuasi yang luas meskipun sangat mungkin terjadi kemacetan jika semua orang berlari ke tempat yang sama.

"Namun saya berharap agar sebagai masyarakat yang mungkin terdampak tsunami, harap mengikuti anjuran dari BMKG tapi di saat yang bersamaan, jangan terlalu membuat risau masyarakat dengan informasi yang tidak valid," imbaunya.

Sambung Ario, ada dua jenis gempa yang berpotensi menghasilkan sunami yang harus diketahui. Pertama Gempa Sesar Mendatar, gempa ini merupakan gerakan bumi yang arahnya maju dan mundur, sehingga air yang terdapat diatas lempengan tidak akan naik ke permukaan sehingga tidak menyebabkan sunami.

Kedua, Gempa Tras, gempa yang bergerak naik dan turun, gempa ini yang akan menghasilkan sunami akibat tekanan air dari kedua lempengan bumi yang sewaktu – waktu akan lepas air tersebut yang menghasilkan sunami.

"Jadi jangan mengirimkan kabar naiknya air di pesisir pantai hingga kabar tsunami yang sudah menghantam suatu wilayah," ungkapnya. Dia pun mengingatkan agar masyarakat tolong jangan mudah menyebar informasi hoax melalui media sosial karena yang rugi adalah masyarakat kita sendiri.

Adapun beberapa data tentang potensi tsunami di Maluku Utara yang harus di ketahui adalah berikut ini,

(1) Ada 3 sumber gempa utama yang berpotensi tsunami (thrust) di Maluku Utara, yaitu daerah thrust Sangir, thrust Halmahera, dan thrust Filipina.

(2) Thrust Sangir dan Halmahera langsung berhadapan dengan wilayah pesisir barat pulau Halmahera (termasuk Jailolo) hingga gugusan pulau-pulau dari Ternate, Tidore, Makian dan Pulau Bacan. Wilayah pesisir bagian barat pulau-pulau ini (Halmahera, Ternate, Tidore, dan Bacan) berpotensi untuk dihantam tsunami yang cukup besar (> 1 m).

(3) Thrust Filipina efeknya langsung dengan Pulau Morotai dan daerah pesisir Timur Halmahera. Juga bisa menghasilkan tsunami ke wilayah ujung Utara Halmahera, hingga ke daerah Halmahera Barat.

(4) Menurut peta gempa Indonesia terbaru, thrust Sangir bisa menghasilkan gempa dengan magnitudo hingga 7.9, sedang thrust Halmahera dan Filipina sekitar M 8.1 dan M 8.2. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES