Gaya Hidup

Pameran Artefak, Ajak Kenali Sisi Lain Konflik Maluku

Rabu, 06 November 2019 - 01:55 | 211.02k
Penggambaran korban konflik Pameran Artefak Temu Mata 2019 malam ini (5/11/2019) (foto: Widya Amalia / TIMES Indonesia)
Penggambaran korban konflik Pameran Artefak Temu Mata 2019 malam ini (5/11/2019) (foto: Widya Amalia / TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Divisi Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) Himpunan Mahasiswa Antropologi Universitas Brawijaya (Himantara) menggelar Pameran Artefak. Pameran ini mengajak pengunjung untuk menemukan makna yang tersembunyi dalam sejumlah konflik yang terjadi di Nusantara, Selasa (5/11/2019).

Pameran dalam rangkaian acara Temu Mata 2019 Himantara ini mengangkat tema "Baruna Parahita", diambil dari bahasa Sanskerta. Baruna artinya melingkupi, sedang parahita artinya kesejahteraan bersama orang lain.

Melalui tema ini, Himantara mencoba menyampaikan arti persatuan. Baruna Parahita merupakan gambaran bagaimana kebaikan dan persatuan tercipta karena mendahulukan kepentingan orang lain.

Pameran-Artefak-a.jpg

"Jadi artefak adalah sesuatu yang berbentuk, maka kita memamerkan benda dan simbol yang memiliki makna. Artefak nggak selalu tentang benda - benda tua," jelas Indah Julia, Ketua Pelaksana Temu Mata.

Pameran ini dicetuskan usai masa risetnya selama 1 minggu. Walau begitu, persiapan dan pematangan konsep memakan waktu berbulan - bulan. Malah sebelum hari libur kuliah para mahasiswa ini sudah bersiap untuk menggelar pameran. 

Pameran ini memang tidak terlalu luas. Hanya memakan sebagian kecil gedung B lantai dua. Namun makna yang disampaikan sangat padat.

Ketika pertama kali masuk, disajikan sapu lidi. Perlambangan sapu lidi adalah tentang seharusnya watak nusantara. Yaitu, walau terdiri dari banyak personal, tetap satu. Dan tali yang mengikat adalah sifat mengalah. Untuk mencapai tujuan dan keharmonisan, harus mengalah serta tidak egois.

Tidak hanya itu, di awal juga disambut dengan miniatur Gong Perdamaian Dunia yang ada di Maluku. Gong ini dibangun usai sebuah tragedi kemanusiaan di Ambon pada tahun 1999 silam yang tidak akan pernah terlupa dari ingatan segenap bangsa Indonesia hingga saat ini.

Monumen Gong Perdamaian Dunia ini diresmikan pada tanggal 25 November 2009 oleh Presiden Indonesia ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono. Peresmiannya sebagai usaha pemerintah untuk memulihkan kondisi Maluku. Namun, gong ini sempat hancur akibat kerusuhan SARA di tahun 1999.

Usai menggambarkan usaha persatuan melalui struktural, terdapat ruangan Pela Gandong sebagai bentuk penyelesaian konflik secara kultural.

Pela Gandong adalah penyelesaian konflik asal Maluku. Dimana setiap kepala suku merobek tangannya untuk mengeluarkan darah. Darah itu akan ditaruh di gelas arak lantas ditukar dan diminum sebagai tanda satu darah.

Tidak hanya asal Maluku. Penggambaran dari suku Aceh juga ada. Yaitu ruang bertemu di warung kopi. "Dikatakan kalau di Aceh budayanya adalah warung kopi dijadikan sebagai ruang penyelesaian bersama," tambah Lutfia Indah, koordinator acara.

Di ruang akhir pameran, adalah ruang refleksi. Di mana sebagai simbol bahwa perdamaian berasal dari diri sendiri. "Kembali pada diri mereka sendiri untuk menjaga persatuan. Untuk mejaga kehadiran," tambah Indah.

Dalam penataan artistiknya, Moch Ichsan besera tim nya berkiblat pada gaya film dokumenter yang dipelajarinya.

"Memang sengaja ambil tema gelap dengan lampu warna. Juga ruangan kecil dan sedikit pengap. Ya supaya bisa mendalami maknanya. Diakhiri dengan cermin dan refleksi. Supaya lebih menancap," papar Ichsan.

 Penataannya kurang lebih memakan waktu dua hari penuh ini mampu menggaet kurang lebih 50 lebih pengunjung di hari pertama. Pameran Artefak ini akan dilaksanakan 3 hari hingga penutupannya tanggal 8 November 2019 di Universitas Brawijaya. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sholihin Nur
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES