Kopi TIMES

Santri Menuju Insan Utuh

Sabtu, 19 Oktober 2019 - 09:03 | 60.74k
Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.
Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam agama Islam secara kaffah.” - (Q.S. al-Baqarah : 208)

Insan seutuhnya merupakan impian dan tujuan pembangunan nasional yang selama ini dicanangkan di bumi nusantara. Sosok manusia yang berimtak dan beriptek, mandiri, sehat dan memiliki kepedulian dan solidaritas sosial. Untuk mewujudkan sosok insan seutuhnya tidaklah mudah, karena sangat diperlukan upaya yang sungguh-sungguh. Santri menurut hemat saya merupakan salah satu entitas peserta didik yang berpotensi besar mampu mewujudkan diri sebagai insan seutuhnya.

Dalam rangka menyongsong Hari Santri Nasional, 23 Oktober 2019, kiranya baik sekali, jika kita malakukan refleksi terhadap eksistensi dan peran santri pada awalnya sebagai insan yang ahli ibadah dan insan yang memiliki spirit berjuang, jihad fii sabilillah dan kemampuan meningkatkan kesejahteraan ummat dan masyarakat serta ikut melindungi keselamatan dan keamanan bangsanya.

Menyadari akan eksistensi dan misi yang diemban oleh santri, maka santri dalam menuntut ilmu agama dan ilmu umum, baik secara terpisah maupun terpadu tidaklah hanya sebatas meningkatkan kemampuan akademik semata, melainkan juga kemampuan aspek lainnya, nilai dan sikap, secara integratif, sehingga terbangun insan seutuhnya. Santri dalam proses pertumbuhan dan perkembangannnya selama menuntut ilmu, tidak hanya diarahkan untuk ilmu sebanyak-banyaknya, melainkan ilmunya di terapkan dalam kehidupan sehari-harinya. Kehidupannya tidak hanya disibukkan dalam urusan duniawiyah semata, melainkan secara simultan juga urusan akhirat dalam keseimbangan.

Di era modern dan era millenial kini, profil pesantren tidaklah semata berwujud pendidikan pesantren salafiyah saja yang mengedepankan penguasaan ilmu-ilmu agama, melainkan juga pendidikan pesantren moderen yang mengedepankan penguasaan ilmu-ilmu alat yang dilengkapi dengan pendidikan formal baik dilengkapi dengan sejumlah ilmu agama maupun pendidikan umum. Bahkan belakangan ini pendidikan pesantren salafiyah yang dilengkapi dengan pendidikan formal baik yang berbasis ilmu agama maupun ilmu umum.

Dengan memperhatikan adanya banyak ragam pendidikan pesantren yang menggodok santri ini, maka sangat wajar bahwa wajah santri itu multi dimensi. Apapun bentuk wajah santri dengan fokusnya, baik itu ilmu alat (bahasa), iptek, pertanian, kewirausahaan, maupun bidang jasa, dan sebagainya, maka wujud santri itu didasari dengan “tafaqqahu fif-diin”. Apalagi belakangan ini dengan trend Tahfidzul Qur-an, tidak hanya fokus utama, melainkan juga sebagai pelengkap, sehingga wajah santri semakin agung.

Santri pernah pada suatu saat dipandang sebelah mata, karena santri hidupnya tidak begitu menjanjikan. Kini secara berangsur-angsur wajah santri semakin cemerlang, karena mereka tidak hanya mampu bersaing dengan anak-anak yang lulusan pendidikan formal (terutama pendidikan umum), melainkan juga mampu menunjukkan penguasaan bidang agama, di samping penampilannya dengan Akhlaq mulianya, yang semuanya sangat menyenangkan bagi orangtua dan masyarakat. Menjadikan anaknya sebagai santri bukan saja pilihan ummat Islam pada umumnya, melainkan juga ummat Islam yang terpelajar. Yang tidak hanya pilihan masyarakat desa, melainkan masyarakat kota.

Memperhatikan tantangan hidup yang semakin terbuka, terlebih-lebih di era informasi, hampir semua anak yang sedang tumbuh dan berkembang baik yang belajar di sekolah formal di kota maupun di desa yang tinggal bersama keluarga dan di kost, tidaklah mudah diproteksi dari pengaruh ledakan informasi dan pergaulan bebas. Sebaliknya anak-anak yang tinggal di pesantren (santri) hampir sepenuh waktu bisa dikontrol oleh pembina pesantren, bisa yakini bahwa pembentukan pribadi santri insya Allah jauh bisa diarahkan dan dibentuk seiring dengan harapan yaitu menjadikan santri sebagai insan utuh (insan kamil).

Akhirnya kita menyadari bahwa menjadikan santri sebagai insan utuh tidaklah cukup dengan fokus belajar akademik saja (hard skills), melainkan juga santri dikondisikan untuk belajar kehidupan (soft skills). Semua sub sistem pendidikan pesantren diciptakan secara integratif, tidak hanya fokus terhadap aspek teori saja, melainkan juga aspek praktek. Pesantren tidak hanya menekankan pada pendidikan formal dan nonformal saja, melainkan juga pendidikan informal. Pesantren tidak hanya diorientasiksn kepada pendidikan keakhiratan saja, melainkan juga pendidikan keduniaan. Pengasuh pesantren tidak hanya mentransfer ilmunya saja, melainkan juga mengiringi dengan doa agar ilmunya bermanfaat. Semua aktivitas pendidikan bagi santri dibangun secara harmoni dan saling melengkapi. Penciptaan sistem pendidikan ini baru bermakna jika santri mampu tunjukkan jati dirinya sebagai insan yang haus ilmu, ikhtiar lahiriyah dan batiniyah denga riyadloh, rajin beribadah, dan berakhlak mulia, utamanya tawadlu’. (*)

*) Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES