Kopi TIMES

Terima Kasih Buzzer

Jumat, 11 Oktober 2019 - 16:47 | 116.50k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

TIMESINDONESIA, MALANGPERTAMA-tama saya ucapkan banyak terima kasih pada para buzzer. Kenapa? Buzzer telah berjasa dan membuka mata pada  wawasan baru kita. Sesuatu yang dahulunya samar tak terlihat sekarang bisa jadi tontonan. Bahkan, dari buzzer kita bisa belajar bahwa ada sebagian masyarakat yang masih  menghalalkan segala cara pula. Karena buzzer, semua kepentingan-kepentingan politik yang selama ini samar jadi terbuka dan diketahui masyarakat luas.

Jadi siapa bilang buzzer tidak bermanfaat? Ia tetap punya manfaat. Ini sama saja dengan pertanyaan, apakah setan dan iblis itu tidak bermanfaat? Tentu bermanfaat. Kalau tidak, alasannya apa Tuhan menciptakan mereka?  Bukanlah ciptaan Tuhan itu tidak akan ada yang sia-sia? Tak terkecuali buzzer.

Buzzer itu manusia. Ia mencari nafkah dengan menjadi buzzer. Bukankah mereka itu sayang diri dan keluarganya? Buktinya? Mereka dengan bersemangat, bahkan membabi buta, mencari nafkah untuk menghidupi keluarganya. Bukankah menghidupi keluarga itu dianjurkan dalam ajaran agama?

Beberapa orang bertanya, tapi bukankah buzzer itu menghalalkan segala cara? Bukankah ia lebih buruk dari para pembunuh? Buzzer ibarat tukang fitnah. Sementara fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan. Berarti buzzer itu lebih berbahaya dari para pembunug, bukan? Atau jangan-jangan lebih kejam dari para politisi? Lebih tragis lagi jika para politisi merangkap menjadi buzzer.

Terima (lalu) Kasih

Baru-baru ini dua Ilmuwan Univeristas Oxford (Samantha Bradshaw dan Philip N Howard), Inggris membuktikan bahwa politikus dan partai-partai politik di Indonesia sengaja mengerahkan dan membiayai buzzer untuk memanipulasi opini publik. Mereka menyebarkan propaganda pro pemerintah/partai, menyerang lawan politik dan menyebarkan informasi memecah-belah publik. Para buzzer tersebut menggunakan akun-akun palsu yang sengaja dioperasionalkan.

Berapa bayaran mereka? Mereka dikontrak 1 sampai 50 juta. Media yang menjadi sasaran untuk menyebarkannya; Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp (WA). Manipulasi opini publik memanfaatkan media sosial. China menjadi negara paling aktif melakukan propaganda yang didukung buzzer itu.

Mengapa kita harus mengucapkan terima kasih pada buzzer? Pertama, buzzer telah membuat kita bersatu untuk melawannya. Buzzer itu tidak hanya ada dalam masyarakat umum tetapi ia juga “dipelihara” oleh mesin kekuasaan. Sejauh buzzer itu menguntungkan kekuasaan mereka akan dilindungi oleh negara. Bagaimana jika dia melakukan kesalahan. Asal menginduk pada kekuasaan mereka akan aman.

Para buzzer juga “dipelihara” oleh pembayar untuk melawan kekuasaan pula. Jadi, para buzzer itu juga didukung oleh kekuatan politik untuk melawan kekuasaan pula. Jadi antara penguasa dan yang  ingin merebut kekuasaan sama-sama diuntungkan oleh buzzer, bukan?  Hanya, para perebut kekuasaan itu jika dianggap punya kesalahan ia tidak akan terhindar dari hukuman negara. Sementara buzzer yang dilindungi negara tentu akan tetap aman. Karena hukum itu milik penguasa, dimanapun, siapapun dan kapanpun.

Karena buzzer itu memang merugikan masyarakat, maka kita biasanya akan bersatu melawan buzzer. Negara dan masyarakat ini kadang baru sadar jika ada musuh bersama-sama. Jika ada musuh bersama, mereka akan bersatu untuk melawan. Jadi bersatu tetap karena ada kepentingan, bukan? Jadi buzzer ternyata bermanfaat untuk menyatukan kita.

Kedua, buzzer menyadarkan pada kita bahwa perilakunya sangat buruk dan merugikan mental dan masa depan bangsa ini. Sudah saatnya negara menjadi garda terdepan dalam memberantas buzzer. Jika negara tidak segera menertibkan buzzer jangan-jangan memang buzzer dimanfaatkan untuk kepentingan negara? Jika memang buzzer itu buruk bahkan lebih buruk dari pembunuhan kenapa dibiarkan saja? Jadi, segeralah pakai “alat-alat” negara untuk memberantasnya.

Bagaimana tidak? Buzzer itu kerjanya rapi. Ia sengaja memanfaatkan kelemahan masyarakat. Mereka biasanya akan muncul bersama-sama. Sama-sama memunculkan  istilah yang harus diwacanakan untuk kepentingan “yang membayar”. Munculnya istilah “taliban”, “PKI”,  “khilafah”, “radikal” “antek asing” hemat saya tidak akan lepas dari peran buzzer. Mereka rapi memunculkan istilah dan rapi pula dalam menyebarkan istilah agar menjadi perdebatan  atau memecah belah publik. Anehnya, publik percaya begitu saja pada istilah yang diciptakan buzzer. Tidak saja kalangan terpelajar tetapi juga ustadz, kiai, mahasiswa apalagi masyarakat umum.

Ketiga, buzzer akan membuat kita lebih hati-hati. Kalau kita itu menganggap buzzer tidak bermanfaat sebaiknya kita lebih hati-hati. Artinya itu semua akan membuat seseorang  terbuka wawasan, cek dan cek lagi informasi yang sampai ke dirinya. Kemudian jika bermanfaat disebar jika tidak tentu tidak disebar.

Masalahnya, kita berada dalam masyarakat kemaruk informasi dimana semua yang sampai pada kita harus disebar. Seolah jari tangan menjadi gatal untuk tak menyebarkannya. Bahkan bisa dengan semangat, “I Share therefore I am” (aku sebar maka aku ada). Jadi semangatnya, jika tidak nyebar informasi (benar atau salah) seolah ia “tidak eksis”. Jika ia  ingin dikenal atau terkenal, maka wajib menyebar informasi. Bukankah semangat demikian sangat berbahaya?

Keempat, jika buzzer itu perilaku tidak beradab kita bisa belajar dari orang yang tidak beradab. Jika sadar, kita bisa belajar betapa buzzer itu tidak beradab. Pelajarann yang bisa dipetik, kita bisa belajar untuk lebih beradab dari orang-orang yang tidak beradab itu. Buzzer jelas kumpulan manusia-manusia yang hanya mementingkan kepentingan dirinya. Ia mementingkan mereka yang membayar. Ini buzzer nyata. Ada juga buzzer yang tidak kelihaatan hanya gara-gara “mengidolakan” junjungannya mereka membabi buta membela. Bahkan kalau perlu dengan memawan setiap wacana atau perilaku yang merugikan junjungannya tersebut. Mereka hanya mau menyebar informasi yang menguntungkan atau yang bisa melawan kelompok yang “bermusuhan” dengan junjungannya tersebut. Nah, dalam politik hal demikiansangat kelihatan sekali.

Mental Takut Kalah

Buzzer adalah perilaku ketakukan pada kepentingan yang akan mengancam kemapanan diri dan kelompok tertentu. Seseorang yang takut dan cemas pada dirinya sendiri tak jarang memanfaatkan pihak lain untuk mengatasinya. Masalahnya menjadi aneh jika usaha mengatasi ketakutan itu justru dengan memanfaatkan jasa buzzer.

Buzzer memang layak dikutuk karena perilakunya mengancam harmoni di masyarakat. Siapapun yang memanfaatkan buzzer menjadi pihak yang ikut bertanggung jawab. Masalahnya, mereka yang di  belakang buzzer bisa berlindung di balik kata-kata manis. Sementara itu, para buzzernya siap mendukung dan “memblow up” wacana yang menguntungkan “majikannya” tersebut.

Buzzer adalah fenomena perilaku buruk di masyarakat.  Jadi jangan-jangan masyarakat kita itu aslinya masih kayak buzzer. Hanya mereka tidak dibayar saja. Perilaku menang sendiri dengan tidak mau belajar empati pada orang lain sama persis dengan tingkah laku buzzer itu. Buzzer memang dibayar tetapi perilaku kita yang mau menang sendiri, fanatisme yang berlebihan jangan-jangan juga masuk sebagai buzzer. Jadi, jangan-jangan buzzer itu diri kita sendiri? Entahlah.

* Penulis: Nurudin adalah dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES