Kopi TIMES

Gerakan #ReformasiDikorupsi; Maksiat Bila Tidak Berjuang di Masyarakat

Kamis, 10 Oktober 2019 - 12:23 | 80.50k
Zainul Hasan R, Mahasiswa Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo
Zainul Hasan R, Mahasiswa Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo

TIMESINDONESIA, PROBOLINGGOKETIDAKPERCAYAAN publik terhadap pelbagai regulasi dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Jokowi membuat puluhan ribu hati mahasiswa tergerak untuk turun ke jalan. Aksi yang kemudian disebut Gerakan #ReformasiDikorupsi ini serentak terjadi di seluruh kota di Indonesia pada tanggal 24 September 2019 lalu.

Ada yang mendukung dan ada pula yang tidak; mulai dari dugaan-tuduhan adanya permainan politik, penunggang gelap yang ingin menjatuhkan Presiden Jokowi, hingga dugaan penggagalan Pelantikan Presiden 20 Oktober mendatang. Di sisi lain, gerakan #ReformasiDikorupsi murni untuk mengisi pos-pos kritis yang saat ini telah hilang, melalui aksi penolakan pasal-pasal bersemalah dalam RKUHP, UU KPK, dan RUU Pertanahan.

Contohnya, dua pasal dalam RKUHP: pertama, tentang korupsi pada pasal 604, disebutkan seorang koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta. Pasal ini diwacanakan lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi atau UU Tipikor; hukuman penjara minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar

Kedua, yang mengatur gelandangan pada pasal 432 RKUHP, menjelaskan bahwa setiap orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I atau denda Rp1 juta. Hal ini dianggap berseberangan dengan UUD 1945 yang menyatakan fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

Nah, kedua pasal itulah sebagai sampel dari sekian banyak pasal yang menjadi tuntutan penolakan gerakan mahasiswa. Sebenarnya gerakan #ReformasiDikorupsi ini juga tidak sesimpel urusan pasal-perpasal, atau regulasi ke regulasi, melainkan banyak aspek. Mulai dari minimnya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) berat, meningkatnya angka pelanggaran HAM; terbaru di Papua dan tindakan represif aparatur negara kepada mahasiswa-aktivis, lemahnya penyelesaian kasus kebakaran hutan di Riau, dan meningkatnya angka konflik agraria di Indonesia.

Terbukti, sepanjang empat tahun (Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) 2015-2018) tercatat 1.769 letusan konflik agraria, 41 orang tewas, 546 dianiaya, 51 orang tertembak, 940 petani dan pejuang agraria dikriminalisasi.

Tidak kalah mengerikan, juga tercatat sedikitnya 1.064 kasus pelanggaran HAM (berdasarkan Catatan Hari Hak Asasi Manusia (Cahanam) sepanjang Januari-Oktober 2018), sebagaimana yang disusun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS). Melalui persoalan inilah Gerakan #ReformasiDikorupsi lahir.

Maka perlu kiranya mempertimbangkan kembali penilaian negatif terhadap gerakan Mahasiswa, dengan cara membuka diri (merefleksikan) dan memahami persoalan-persoalan yang ada. KH. Zaini Mun'im (1906-1976), Pendiri Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo, Jawa Timur sekaligus sebagai tokoh Nahdlatul Ulama (NU) menyatakan (nuruljadid.net), Orang yang hidup di Indonesia kemudian tidak melakukan perjuangan dia telah berbuat maksiat. Orang yang hanya memikirkan masalah ekonominya saja dan pendidikannya sendiri, maka orang itu telah berbuat maksiat. Kita semua harus memikirkan perjuangan rakyat banyak.

Bahwa soal arti kemaksiatan tidak mulu-mulu soal agama, tapi mencangkup aspek kebangsaan dan kenegaraan. Dalam kehidupan sehari-hari (umat Islam) kalimat ar-Rahman (Pengasih) dan ar-Rahim (Penyayang) juga selalu dibaca di awal ibadah. Oleh karena itu, sudah sepatutnya masyarakat, khususnya umat Islam memiliki sifat Pengasih-Penyayang yang dapat diartikan sebagai rasa simpati-empati terhadap sesama.

Bila kedua rasa/sifat di atas sudah tertanam dalam diri masyarakat kita, muncullah kepedulian sosial yang akan membangun -meminjam bahasa Emile Durkheim-  “kesadaran kolektif”. Kesadaran tersebut ibarat sistem yang berjalan otomatis untuk bersama-sama saling menjaga, saling menumbuhkan semangat belajar, melek politik, dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, segala kebijakan yang dibuat Negara dapat selalu dikawal sehingga tidak selalu merugikan masyarakat, baik oleh mahasiswa, santri, dan masyarakat itu sendiri. Wallahua'lam.

* Penulis Zainul Hasan R adalah Mahasiswa Universitas Nurul Jadid Paiton Probolinggo, aktif di sekolah metodologi ilmu pengetahuan Kelompok Kajian Pojok Surau (KKPS) Pondok Pesantren Nurul Jadid.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES