Kopi TIMES

Demo itu Primitif, Tauk?

Kamis, 03 Oktober 2019 - 15:23 | 121.11k
Nurudin, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)
Nurudin, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

TIMESINDONESIA, MALANG – Seorang kolega dosen berkomentar di dinding Facebook (FB) saya terkait perdebatan perlu tidaknya demonstrasi. Dia mengatakan, “Demo adalah penyampaian aspirasi paling primitif dan sangat rentan dengan hal negatif yang berujung merugikan semua pihak”.

Pendapat tersebut jika didengar atau dibaca oleh mereka yang senang dan sedang demonstrasi tentu akan membuat “telinga merah”. Bagaimana tidak? Masalahnya ada pada kata primitif. Mengapa? Kata primitif itu mempunyai konotasi buruk, kolot, kuno atau sesuatu yang stagnan bahkan tidak mengikuti perkembangan zaman.

Seseorang akan menjadi “kurang nyaman” jika dituduh primitif. Coba Anda rasakan jika dituduh primitif. Tidak enak bukan?  Tentu, ini tolok ukur di Indonesia. Bisa jadi akan lain jika ada dalam konteks ruang, waktu, tempat yang berbeda.

Kemudian, iseng-iseng saya membuka definisi dalam kamus online terkait kata primitif. Primitif berarti dalam keadaan yang sangat sederhana, belum maju (tentang peradaban, terbelakang). Juga berarti sederhana dan kuno. Intinya ada pada pemahaman yang peyoratif (buruk makna). Kita bisa kontraskan dengan kata modern.

Mendengar kata modern dalam benak seseorang akan membayangkan sesuatu yang maju, canggih, berperadaban tinggi atau hal-hal positif lain. Jadi bisa dipersepsikan bahwa primitif itu negatif (mundur) dan modern itu positif (maju).

Apatis atau Peduli?
Pendapat teman saya tersebut tentu tidak salah. Itu pendapat pribadi. Pernyataannya juga soal sudut pandang. Tidak ada yang salah. Tulisan ini tentu juga punya sudut pandang. Masalahnya, tuduhan kata primitif tentu sangat menggangu dan tidak enak didengar. Bagi yang mendengar kata primitif juga jangan marah dulu ya?

Demonstrasi memang banyak mengandalkan kekuasan massa. Itu susah jamak. Demonstrasi dan pengerahan massa ini memang khas bisa terjadi pada semua lapisan masyarakat. Masyarakat yang tergolong “belum tertidik” sering menjadikan pilihan demonstrasi sebagai pilihan untuk mengungkapkan perasaanya. Sementara masyarakat berpendidikan tentu akan mengandalkan selain yang berurusaan dengan pengerahan massa. Atau justru malah apatis pada keadaan. Demonstrasi jangan-jangan hanya cerminan bahwa masyarakat kita memang belum terdidik.

Pengerahan massa memang banyak membutuhkan kekuatan fisik, sedikit opini, dan membakar emosi massa. Mereka tentu akan mudah dimobilisasi untuk melakukan demonstrasi. Kelompok ini juga sering dituduh sebagai kelompok yang mau menang sendiri. Seolah dengan emosi yang meledak-ledak semua bisa diselesaikan. Ini tentu pandangan mereka yang berada di seberang kelompok demonstran. Padahal deminstrasi itu juga tak jarang direncanakan matang dengan mempertimbangkan untung ruginya. Termasuk siap berkorban “nyawa”.

Berkembang opini pula demonstrasi bukan pilihan bijak. Juga bukan pilihan rasional sementara perkembangan masyarakat sudah maju. Masyarakat juga sudah melek teknologi, mengapa harus demonstrasi? Demokrasi sudah berkembang baik, mengapa harus demo? Bukankankah ada saluran lain yang bisa digunakan untuk menyalurkan aspirasi?

Maka, kelompok yang tidak suka dengan demo (entah alasan tidak suka demo, afiliasi kepentingan, kecintaan membabi buta) akan mengatakan demo itu primitif. Pokoknya jangan dilakukan. Demo itu dianggap tidak menyelesaikan masalah. Demo identik dengan kerusuhan. Pokoknya demo itu jelek dan sebagainya. Ini khas pernyataan yang tidak setuju demo.

Prasangka
Pertanyaannya, apakah sedemikian buruk demonstrasi itu? Coba kita lihat bersama-sama.  Tentu saja alasan demonstrasi itu banyak. Demonstrasi itu juga salah satu cara saja, bukan satu-satunya. Jadi, tak perlu sinis pada demonstrasi, bukan? Apa karena yang demo itu tidak sesuai dengan aspirasinya seseorang sehingga ia menjadi sinis?

Lebih konkritnya pertanyaan bisa begini, apakah mereka yang menolak demonstrasi itu barisan pendukung kelompok yang didemo? Jika yang didemo adalah kebijakan sepihak akibat “main mata” presiden dan DPR soal revisi KUHP dan revisi UU KPK apakah mereka berada di barisan pendukung revisi? Atau mereka pendukung fanatik presiden?

Sekarang begini saja ajukan pertanyaan, apa manfaat demo? Apakah untuk gaya hidup? Apakah untuk meluapkan emosi? Apakah untuk balas dendam? Apakah melampiaskan kekecewaan sepihak? Apakah hanya ikut-ikutan? Apakah ditunggangi?

Tentu jika muncul pertanyaan begitu, demonstrasi itu dianggap tidak perlu dilakukan. Tetapi apakah kita sudah menanyakan pada para demonstran terkait esensi mengapa mereka demo? Banyak yang jarang menanyakan. Biasanya hanya prasangkan hanya karena tidak suka dengan perilaku mereka, sementara seseorang hanya emosi menolak demo akibat berseberangan kepentingan. Maka tuduhanlah yang muncul.

Peserta demonstrasi memang ada yang hanya ikut-ikutan. Itu tidak salah. Mungkin mereka ini hanya solidaritas untuk teman-temannya. Masalahnya, yang demonstrasi itu mahasiswa. Mahasiswa posisinya tidak banyak kepentingan politik. Ini tentu beda dengan mereka yang sudah berkaitan dengan politik.

Pendukung pak Jokowi tentu tidak senang dengan demonstrasi itu. Mengapa? Karena demonstrasi itu dianggap “melawan” junjungannya. Padahal tidak sesederhana itu bukan? Padahal yang diprotes juga DPR bukan? Bisa jadi ada pendukung yang rasional, tetapi itu tidak banyak. Kelompok yang tidak banyak ini umumnya “terpelajar” dan punya kemampuan memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak baik. Mana yang hanya menuruti kemauan emosi pribadi mana yang untuk kemaslahan orang banyak. Mana yang hanya untuk kepentingan jangka pendek dan mana yang untuk kepentingan jangka panjang.

Saluran Dibuntu
Kembali ke permasalahan awal terkait perdebatan apakah demonstrasi itu perilaku primitif. Tuduhan itu bisa jadi terlalu kasar. Demonstrasi itu kan hanya sebuah cara menyalurkan aspirasi? Masalahnya narasi yang kemudian dikembangkan adalah demonstrasi itu negatif. Misalnya, merusak, cenderung rusuh, merongrong kekuasaan sah, ada penumpang gelap, disusupi dan lain-lain istilah. Ini narasi yang dibangun oleh mereka yang menolak suka demonstrasi. Apalagi narasi ini dibangun para buzzernya.

Bagaimana mungkin perilaku demonstrasi itu bisa dipahami oleh mereka yang selama ini tidak pernah punya pengalaman demonstrasi? Kalau hanya sekadar bicara saja dan memprotes itu lebih mudah. Apalagi hanya melampiaskan ketidaksukaan di media sosial. Lalu demonstrasi dituduh mendukung perilaku anarkis. Bahkan ada teman yang membabi buta menuduh saya dosen  anarkis hanya gara-gara menulis soal pentingnya demonstrasi dalam negara demokrasi. Logika berpikirnya aneh, bukan?

Analoginya begini saja.  Kita membeli barang dengan merek tertentu karena loyal. Kemudian kita mendapatkan barang itu tidak biasanya atau sebutlah cacat. Apa yang kita lakukan? Tentu kita protes. Mungkin dengan menanyakan pada distributor atau toko tempat kita membeli. Bagaimana jika toko tidak menerima sementara sudah ada perjanjian bisa ditukar jika barang cacat? Apakah kita hanya menerima begitu saja lalu pulang? Tidak bukan?

Anda akan melakukan apa saja agar mendapatkan barang baik. Bertanya juga sesuai prosedur pembelian yang selama ini tertulis. Mungkin menanyakan pada perusahaan yang tentu saja prosedurnya lama. Mungkin mengirim surat pembaca di media cetak. Kalau toh tidak ada tanggapan sementara saluran aspirasi buntu? Protes dengan cara fisik biasanya akan dilakukan untuk mendapatkan hak itu.

Apakah dengan demikian mereka yang protes pada barang itu dikatakan merongrong dan akan menjatuhkan citra barang merek tertentu itu? Tuduhan itu tentu terlalu sempit. Bagaimana komentar mereka yang tidak pernah mendapat barang cacat? Bisa jadi mereka akan menuduh bahwa protes itu cara-cara primitif atau berperilaku anarkis. Bisa jadi begitu. Lha mereka tidak pernah merasakan menerima barang catat? Atau sudah tumpul rasa empatinya pada orang lain? Jangan-jangan masalah utama kehidupan sosial kita itu karena kurangnya rasa empati.

Bagaimana dengan demo? Hampir sama. Apakah dengan demikian peserta demo dikatakan berperilaku primitif? Bisa jadi perilakunya primitif jika hanya dilihat dari kacamata pengerahan massa, tetapi apakah salah? Apakah juga salah melakukan demonstrasi jika saluran-saluran komunikasi politik sudah buntu atau sengaja dibuntu? Orang yang mengatakan primitif itu apakah pernah ikut demo? Apakah tidak pernah merasakan langsung kerugian akibat pengelolaan kebijakan negara yang tidak pada tempatnya? Atau jangan-jangan sudah terlalu fanatik berlebihan? Atau sudah hilang rasa empatinya pada kepentingan umum?

Demo jika dilihat dalam perkembangan sejarah memang dilakukan orang-orang dahulu. Itu karena memang hanya itu yang bisa mereka lakukan. Saluran lain juga tidak ada. Saat sekarang memang ada saluran resmi tetapi apakah saluran itu bisa menyalurkan aspirasi? Jika bisa tentu demonstrasi tidak akan terjadi. Demonstrasi itu khas muncul karena ada saluran politik yang buntu.

Atau jika dituduh bahwa demonstrasi itu primitif bagaimana jika kita demo dengan memakai twitter atau media sosial lain saja? Bisakah cara demikian mempunyai daya tekan untuk memengaruhi kebijakan? Kita itu mau memengaruhi kebijakan atau hanya sekadar gaya-gayaan? Kelemahan masyarakat kita akibat kurangnnya empati dan cepat menuduh dengan landasan ikatan emosional berlebih. Jangan-jangan perilaku primitif justru ditunjukkan oleh mereka yang menuduh demonstrasi itu primitif?


 
Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES