Kopi TIMES

Ngapain Capek-Capek Demo?

Senin, 23 September 2019 - 18:45 | 514.97k
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang
Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang

TIMESINDONESIA, MALANG – Kalau dihitung-hitung, saat jadi mahasiswa saya hanya demonstrasi hanya tiga kali. Terakhir kali sekitar 25 tahun yang lalu. Saat itu saya masih berstatus sebagai mahasiswa di kampus Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo. Hari Senin  (23/9/19) saya menyaksikan langsung “aura” demonstrasi di depan kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota Malang. 

Aksi damai itu berawal dan dipicu oleh aksi “buta mata dan telinga” pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Terakhir, erkait dengan revisi UU KPK, revisi UU KUHP dan persoalan ketidakadilan yang lain. Persoalan terus memuncak dengan perilaku DPR dan Pemerintah yang “main mata” di akhir periode jabatannya.

Jadilah himbauan untuk melakukan demonstrasi dimana-mana. Di Malang ada himbauan dengan mengajak mahasiswa libur kuliah dan ikut demo di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kota  Malang. Narasinya antara lain “Malang Memanggil, Kosongkan Kelas-Kelas Ayo Turun ke Jalan”. Ada juga yang lebih ramai di Yogyakarta melalui tagar #GejayanMemanggil. Ada dosen yang memang menyarankan mahasiswanya turun ke jalan, mengijinkan tidak datang ke kuliah jika alasannya ikut turun jalan. 

Terhadap himbauan demonstrasi itu, beberapa teman ada yang bilang, “Ngapain capek-capek demo? Mending belajar. Bisa pintar. Toh demo belum tentu bisa mengubah keadaan. Lagian, demo sekarang politis. Lalu, yang bermasalah DPR kok demonya di DPRD?”

Orang yang sinis sebagaimana pernyataan di atas tentu bukan orang yang pernah ikut demo. Atau minimal tak pernah merasakan bagaimana nikmatnya demo. Juga tak merasakan bagaimana perjuangan atas pilihan yang dianggap benar dengan pikiran,  tenaga, dan keringat. 

Biasanya, orang-orang seperti itu keperpihakannnya pada masyarakat sangat diragukan. Bukan berarti yang ikut demo itu satu-satunya orang yang peduli. Bukan itu. Masalahnya, ikut demo sedikit banyak telah menunjukkan bukti konkrit ikut menyumbangkan tenaga dan pikiran demi kemajuan bersama. Bahkan mereka yang memprotesnya itu bisa jadi suatu saat nanti akan menikmati kemanfaatannya. 

Saluran Buntu
Mengapa harus curiga pada demonstrasi? Coba lihat tuntutan mereka untuk kepentingan orang banyak, termasuk kepentingan mereka yang merasa dan menganggap demonstrasi itu sia-sia.

Mereka yang mengatasnamakan Front Rakyat Melawan Oligarki Malang mengeluarkan pernyataan;  (1) DPR agar segera mencabut draft RUU KUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Masyarakat Adat; (2) Menuntut presiden untuk segera mengeluarkan PERPPU Pencabutan UU KPK dan Sumber  Daya Air; (3) Agar Presiden segera menghentikan  ijin korporasi pembakar hutan; (4) Kepolisian RI secepatnya membebaskan dan menghentikan kriminalisasi aktivis pembela HAM, Advokat, aktivis Papua, intimidasi terhadap masyarakat sipil Papua dan tarik militer dan hentikan operasi keamanan terhadap warga sipil; (5) Pemerintah segera mengubah pelayanan kesehatan melalkui BPJS dengan skema  pembiayaan yang ditanggung sepenuhnya negara dan diberikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Tututannya bagus bukan?

Memang, demonstrasi memang bukan satu-satunya pilihan. Tetapi ia pilihan dimana tidak ada jalan lain kecuali dengan demonstrasi. Jalan lain itu misalnya saluran-saluran resmi sudah sedemikian buntu. Maka, demonstrasi menjadi pilihan. 

Mereka bukan tidak mau mengekspresikan dengan jalur hukum yang benar. Bukan begitu. Misalnya, saat DPR ngotot merevisi RUU KPK lalu diprotes masyarakat. Keberatan masyarakat sudah diungkapkan lewat banyak saluran, termasuk media massa.  Lalu DPR dengan Pemerintah justru “main mata” dengan menyepakati revisi tersebut. 

Sementara saluran resminya lewat DPR sebagai wakil rakyat. Harusnya mereka harus mewadahi dan menyalurkan kepentingan rakyat. Tetapi saat DPR “tutup telinga” rapat-rapat,  apa yang diharapkan dari anggota dewan seperti itu? Sementara itu, revisi UU KPK diinginkan DPR sendiri dan untung kepentingannya sendiri pula? Maka, demonstrasi dengan aksi jalanan tak bisa dielakkan. Apakah demonstrasi tabu? Bagaimana tabu jika itu hak rakyat untuk menyampaikan kepentingannya? Toh, itu bukan kepentingan segelintir orang? 

Demonstrasi dilakukan menjadi bukti bahwa saluran-saluran aspirasi sudah sedemikian buntu atau sengaja dibuntu. Kalau sudah begini, apakah mahasiswa dan mereka yang peduli dengan kepentingan masyarakat akan tinggal diam? Tentu saja mereka akan  berontak.

Tak heran demonstrasi itu akan ditanggapi beragam. Bisa jadi ada yang sinis.  Biar saja. Mereka yang sinis jangan-jangan kepentingannya terganggu. Misalnya, dianggap mengancam kewibawaan presiden karena ia waktu Pilpres mendukungnya atau karena telanjur sinis pada gerakan rakyat  karena telanjur “terbelenggu” pada kekuasaan? Hanya mereka yang tak punya kependulian merasa sinis dengan demonstrasi. 

Kita harus mengenyahkan dugaan bahwa demonstrasi itu hanya menggoyang kekuasaan presiden.  Pemikiran ini sangat sempit. Atau mereka malu karena dukungan politik pada presiden yang tinggi namun harapannya tidak sebagaimana yang diinginkan? Jadi mungkin mereka telanjur malu bahwa yang didukungnya ternyata justru ikut “tersandera” dengan DPR. 

Menolak kebijakan pemerintah juga jangan serta merta diwacanakan sebagai tidak suka pemerintah, hatters, pendukung Prabowo dan lain-lain. Ini lagi-lagi pikiran sempit. Dan pikiran model begini tidak sedikit. Masalahnya, tak jarang pikiran sempit ini didukung kepentingan politik sepihak. Jadilah teriakan-teriakan pembelaan diri dibalik wacana ideal. Atau jangan-jangan mereka ini hanya “mesin politik”?

Memang demonstrasi itu enak? Harus berpanas-panas. Harus waspada jika nanti ada penyusup masuk, harus tenang dan tidak  terbakar amarah karena aparat keamanan sudah siap untuk “menangkap”. Namun, demosntasi yang dilakukan pada saat ini sudah berjalan tertib. Tingkat kesadaran dan pendidikan masyarakat sudah sedemikian tinggi. Kerusuhan dalam kasus-kasus tertentu sangat bisa ditekan. 

Perkara dalam demonstrasi itu ada yang curiga “sponsor” tertentu itu sangat mungkin terjadi. Demonstrasi itu juga tak akan lepas dari kepentingan. Apakah demonstrasi tahun 1998 yang menggulingkan Soeharto itu tidak ada kepentingan? Tentu ada.  Apakah tidak ada dukungan internasional dalam aksi demonstrasi itu? Sangat mungkin ada. Masalahnya, kepentingan yang dilakukan oleh mahasiswa saat ini masih wajar. Karena demonstrasi yang dilakukan bukan sekadar “proyek”.

Kuliah Jalanan
Sebagaimana saya sebutkan di atas, demonstrasi hanya salah satu cara bukan satu-satunya cara. Ini sama dengan kuliah. Kuliah itu salah satu cara untuk menimba ilmu, melatih kepekaan sosial, dan merangsanag kepedulian pada masyarakat banyak. Itu idealnya. Dalam praktiknya ada yang ingin mencari jodoh, mencari pekerjaan dan tujuan pragmatis lain. Itu salah satu tujuan. 

Kaitannya dengan kampus, seorang mahasiswa tidak akan cukup hanya mengandalkan pengetahuannya dari kampus semata. Tujuan kuliah itu salah satunya agar tambah pengetahuan dan pengalaman serta melembutkan budi pekerti. Ini tentu tujuan idealnya, bukan? 

Ada kalanya seseorang selepas kuliah semakin lembut budi pekertinya. Ada juga yang justru semakin brutal dan memanfaatkan ilmunya untuk tujuan-tujuan pragmatis lain. Tidak salah hanya memang tidak seratus persen benar.

Namun, ada kalanya seseorang didewasakan dan dilembutkan budi pekertinya dengan “dipaksa terjun ke jalanan”. Meskipun kita juga paham itu bukan satu-satunya jalan. Namun, cara demikian bisa akan mempercepat proses. Terjun ke jalan dengan aksi juga menambah wawasan, dan mempercepat kedewasaan memahami realitas sosial sesungguhnya. Ia juga akan membuat seseorang pantang menyerah. Kepeduliannya juga akan semakin bertambah. Mampu menghargai orang lain serta memperkuat empati. 

Belajar di kampus selayaknya tidak dijadikan kesombongan dalam penguasaan ilmu. Kuliah hanya sebagian kecil menyongsong kehidupan. Justru kehidupan sesungguhnya ada dan terjun langsung ke masyarakat. Kuliah Kerja Nyata (KKN) adalah satu satu cara agar mahasiswa “dipaksa” bergaul dengan masyarakat.

Coba Anda lihat masih banyak dosen-dosen yang menjadi pintar tetapi tidak lembut budi pekertinya? Maunya menang sendiri. Merasa pintar. Merasa  lebih hebat dari mahasiswa. Merasa paling menguasai materi dan lain-lain.  Jangan-jangan dosen seperti ini aslinya hanya banyak menguasai pengetahuan semata tanpa mampu mengaplikasikannya?

Kembali ke soal demonstrasi. Demonstrasi adalah hak dimana saluran-saluran penyampai aspirasi sudah buntu. Demonstrasi memang hanya sebuah pilihan. Ada banyak pilihan cara menyampaikan aspirasi dan semua cara itu harus dihormati. Tetapi, saat kekuasaan politik sudah sangat kaku dan tidak goyah serta hanya mengukuhkan kekuasaannya, saat itu demosntasi dibutuhkan. 

Demonstrasi akan menjadi katarsis sebuah perubahan. Demonstrasi juga akan menjadi daya tekan pada perubahan. Masalahnya, perubahan itu “hukum alam”. Semakin banyaknya demonstrasi dilakukan semakin menunjukkan bahwa ada saluran aspirasi yang buntu atau sengaja dibuntu di tengah rezim anti kritik. (*)

*) Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM)

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES