Kopi TIMES

Wajah Kepahlawanan dan Kiblat Kemanusiaan

Senin, 23 September 2019 - 14:03 | 80.10k
Harry Tjahjono, Penulis/Budayawan. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)
Harry Tjahjono, Penulis/Budayawan. (Grafis: Dena/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MADIUNRevisi UU KPK sudah disahkan DPR RI. Tapi, pro-kontra yang mendukung dan menolak masih berlangsung. Politisi dan cendekiawan rajin beradu pendapat di medsos dan TV.

Mahasiswa dan demonstran terus turun ke jalan. Perdebatan yang sengit dan sarkastik, demo jalanan yang diwarnai anarki, menjadi life style, layaknya mode. Dan perang pro-kontra yang akan berujung di Mahkamah Konstitusi (MK), tentu akan berakhir dengan vonis menang atau kalah, dan menjadi kepingan sejarah.

SEJARAH, konon, adalah kepahlawanan milik sang pemenang. Kepahlawanan Arthur Wellesley (1769-1852), misalnya, tergambar dari perjuangannya  yang dengan gagah berani memenangi sejumlah peperangan besar, antara lain di Peninsular, Waterloo, Mysore dan penaklukan Mahrattas di Assaye, hingga menjadi Perdana Menteri Inggris 1828-1830 dengan gelar 1st Duke of Wellington.

Tapi, wajah kepahlawanan Duke yang tertulis di kitab sejarah, juga disempurnakan cerita rakyat yang ditularkan dari mulut ke mulut.

Syahdan di masa tuanya, Duke rutin menggelar pesta tahunan untuk merayakan hidupnya. Tamu yang diundang bukan hanya dari kalangan politisi, pejabat dan pengusaha, melainkan juga prajurit veteran yang dulu ikut berperang bersamanya.

Pada suatu pesta tahunan, seusai makan prasmanan yang mewah dan lezat, Duke tidak menemukan kotak tembakau miliknya. Padahal, kotak tembakau dari emas itu berhiaskan sejumlah berlian. Dalam sekejap, tamu-tamu undangan menjadi gaduh dan ikut sibuk mencari, sampai akhirnya anak Duke mengusulkan agar para tamu bersedia mengeluarkan isi kantong celana dan saku jas mereka.

Tapi, tiba-tiba seorang opsir tua, veteran yang memakai jas usang dan kedua sakunya tampak menggembung, menyatakan tidak setuju dengan usul anak Duke. Sontak semua mata memandang curiga padanya. Anak Duke dan sejumlah tamu bertanya kenapa opsir tua itu tidak setuju?

Tapi, sebelum dijawab, Duke justru menyatakan bahwa ia sependapat dengan opsir tua dan tidak setuju dengan usul anaknya.  Maka pesta pun berlanjut. Namun, opsir tua itu memilih pamit dengan alasan lelah, meski sesungguhnya karena terusir oleh pandangan curiga para tamu yang tak pernah lepas dari dirinya.

Esoknya, Duke menemukan kotak tembakau itu di saku jasnya yang tergantung di almari. Maka Duke mendatangi rumah opsir tua yang berada di kampung orang miskin. Selain mengatakan kotak tembakaunya tidak hilang, Duke minta maaf dan berterima kasih karena opsir tua itu telah membuat para tamu tidak harus menjadi tertuduh. Duke juga bertanya, kalau tidak mengambilnya kenapa ia menolak usul anaknya?

Opsir tua itu menunduk, menjawab lirih, "Karena di kantong saya ada beberapa potong daging yang saya ambil dari meja prasmanan, untuk tetangga saya yang sakit dan lapar."

Duke tertegun, berlinang air mata. Wajah kepahlawanannya yang gemilang dan heroik pun merunduk di depan kiblat kemanusiaan. Ia merasa perih karena dipertemukan dengan solidaritas sosial  yang terusir dari pesta kemenangan, yang terpuruk di keseharian orang-orang miskin, di perut-perut lapar sependeritaan dan di ketulusan yang tersimpan di lumbung harapan.

Vonis MK atas gugatan pada Revisi UU KPK  akan menjadi kepingan sejarah, tempat di mana kita bisa menemukan wajah kepahlawanan yang menang maupun yang kalah. Namun, amsal kotak tembakau yang mempertemukan Duke dengan kiblat kemanusiaan, bisa jadi akan menjelma kotak pandora yang menebar kutukan. (*)

Oleh: Harry Tjahjono, Penulis/Budayawan

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES