Peristiwa Nasional

Pemerintah Harus Tegas Menindak Pelaku Karhutla di Sumatra dan Kalimantan

Rabu, 18 September 2019 - 23:17 | 113.26k
Presiden Jokowi saat meninjau lokasi karhutla. (FOTO: Istimewa)
Presiden Jokowi saat meninjau lokasi karhutla. (FOTO: Istimewa)

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi di Sumatera dan Kalimantan, kian mencemaskan. Kebakaran telah membuat kabut asap semakin pekat melanda berbagai daerah di Kalimantan dan Sumatra. Tidak dipungkiri, beberapa perusahan pemilik lahan jadi penyebab kebakaran. Pemerintah harus tegas menindak perusaahan penyebab terjadinya karhutla.

"Perusahaan yang lahannya terbakar harus bertanggung jawab," kata Adrianus Eryan, Peneliti dari Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) di Jakarta, Rabu (18/9/2019).

lokasi-karhutla-2.jpg

Menurut Adrianus, tanggungjawab perusahaan ini sesuai dengan kewajiban perusahaan saat memperoleh izin usaha. Kewajiban perusahan itu antara lain melakukan pembukaan lahan tanpa bakar, membentuk brigade pengendalian kebakaran hutan dan lahan (brigdalkarhutla), serta menyediakan sarana prasarana pencegahan dan pemadaman kebakaran hutan yang memadai.

"Kini, permasalahan udara bersih saat ini tidak hanya menjadi isu masyarakat perkotaan metropolitan seperti Jakarta, tetapi juga telah menjadi masalah di berbagai daerah di Sumatera dan Kalimantan," ujarnya.

Adrianus lantas mengungkapkan data yang dilansir situs SiPongi milik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Situs SiPongi mencatat titik api terbanyak muncul di seluruh provinsi di Pulau Kalimantan, Riau, Kepulauan Riau, Jambi, dan Sumatra Selatan. Saat ini seluruh daerah tersebut terpapar kabut asap beracun.

Bahkan ISPU atau Indeks Standar Pencemaran Udara Palangkaraya sempat tercatat mencapai angka 2000. Sangat jauh dari angka indikator batas aman yakni ada di angka 50 dan indikator berbahaya di angka 300-500 yang ditetapkan Kementerian Kesehatan.

"Karena itu tanggung jawab perusahaan hendaknya tidak dianggap berhenti ketika api padam, tetapi juga tetap berlaku hingga pemulihan hutan dan lahan selesai dilakukan," imbuh Adrianus 

Gugatan perdata Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan terhadap perusahaan pembakar hutan dan lahan sejak tahun 2012 yang dikabulkan oleh pengadilan, menurut Adrianus telah mencapai angka 2.72 triliun rupiah.

Namun yang membuatnya heran belum ada satupun perusahaan yang menaati perintah pengadilan untuk membayar ganti rugi. "Alhasil, upaya pemulihan pun belum dapat dilaksanakan karena putusan belum dapat dieksekusi.” katanya.

lokasi-karhutla-3.jpg

Fajri Fadhilah, Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran ICEL menambahkan, pencemaran udara akibat karhutla telah mengakibatkan dampak luas di berbagai aspek kehidupan masyarakat.

Penderita ISPA di Riau menurut data Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan pada Minggu (15/9) telah mencapai 15,346 orang. Tidak hanya itu ribuan anak sekolah diliburkan.

"'Pemerintah dari mulai pusat sampai daerah sebagaimana diamanatkan oleh Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Pengendalian Karhutla mempunyai kewajiban untuk memitigasi dampak ini," ujarnya.

Kewajiban pemerintah ini pun kata Fajri juga ditekankan kembali melalui putusan CLS Kebakaran Hutan Kalimantan Tengah yang dimenangkan oleh warga negara. Jadi sangat jelas, bahwa karhutla di berbagai daerah di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan sudah menimbulkan keadaan darurat pencemaran udara. Selain berupaya menghentikan karhutla, pemerintah pusat dan daerah harus segera mengevakuasi masyarakat ke daerah dengan kualitas udara yang aman.

"Paparan pencemar udara seperti PM2.5 dengan konsentrasi ratusan hingga ribuan mikrogram per meter kubik merupakan tingkat yang berbahaya bagi semua populasi dan dapat mengakibatkan berbagai penyakit yang dapat berujung pada kematian dini. Tentu ini adalah dampak yang sangat signifikan dan tidak bisa dikesampingkan," urainya.

Fajri juga menegaskan, karhutla yang terjadi terus-menerus ini bukanlah musibah dari Tuhan sebagaimana yang disebutkan Kepala Kantor Staff Kepresidenan (KSP), Moeldoko.

Penyebab karhutla adalah kelalaian dalam perencanaan pemanfaatan lahan dan upaya pencegahan. Selama ini pendekatan yang digunakan pemerintah untuk mengatasi karhutla masih sebatas penanggulangan dan penegakan hukum. Fungsi pencegahan dan pengawasan masih minim perhatian.

"Dalam penelitian audit kepatuhan karhutla yang disusun ICEL pada 2017, dijumpai temuan belum adanya pengawasan periodik dan intensif, data pencegahan dan pengawasan yang tidak transparan, serta belum adanya Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG)," katanya.

Tidak hanya itu tambah Fajri, evaluasi perizinan juga tidak pernah dilakukan. Bahkan perizinan di bidang lingkungan seringkali dianggap menghambat investasi dan hendak dipangkas.

Hal ini tampak jelas dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 mengenai Online Single Submission (PP OSS) di mana dikenal adanya Izin Lingkungan hanya berdasarkan komitmen semata.

Sementara Raynaldo Sembiring, Deputi Direktur Pengembangan Program ICEL secara khusus menyoroti keseriusan pemerintah dalam menangani isu karhutla. Menurutnya karhutla pada tahun 2019 ini menunjukkan ketidakcakapan Jokowi dalam menangani masalah ini. Perlu dicatat, periode pertama pemerintahan Jokowi dibuka dan ditutup dengan karhutla.

"Pasca karhutla 2015, Presiden membuat Inpres Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan. Tetapi Inpres tersebut tidak dijalankan dan diawasi dengan serius," katanya.

Dari hasil sengketa informasi antara ICEL dengan Kemenkopolhukam tahun 2018, lanjut Reynaldo, terungkap bahwa tidak pernah ada laporan pelaksanaan Inpres tersebut. Sehingga pelaksanaan pengendalian karhutla yang diamanatkan Inpres Nomor 11 Tahun 2015 patut dipertanyakan.

Dalam amar Putusan Sengketa Informasi Nomor 001/1/KIP-PS-A/2017, Komisi Informasi juga memerintahkan kepada Kemenkopolhukam selaku Termohon untuk menyusun laporan pelaksanaan Inpres Nomor 11 Tahun 2015.

"Kemenkopolhukam juga harus memberikannya kepada Pemohon sebagai informasi publik yang terbuka untuk umum. Kemudian terhadap Putusan CLS Palangkaraya yang isinya adalah pelaksanaan kewajiban hukum saja pun, Presiden masih mau mengajukan PK. Seandainya dari tingkat banding Presiden tidak PK, maka kebijakan dan sistem pengendalian karhutla berdasarkan putusan tersebut sudah tersedia. Terakhir yang perlu diingat, sebagian dari isi putusan tersebut berlaku untuk seluruh masyarakat Indonesia," papar Reynaldo. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan
Sumber : TIMES Jakarta

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES