Kopi TIMES

Tekan Radikalisme, Hidupkan Kembali Organisasi Esktra Kampus

Senin, 26 Agustus 2019 - 10:50 | 312.83k
Nurudina, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
Nurudina, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

TIMESINDONESIA, MALANG – Dua puluh tahun lalu (1999), saya bersama beberapa mahasiswa mendirikan Center for Public Policy and Human Rights Studies (CESPUR). Pendirian ini bukan tanpa alasan kuat. Juga bukan sok gagah-gahahan. Sebagai dosen waktu itu saya tidak merasa cukup mengajar di kelas.
Maka, CESPUR melibatkan mahasiswa dari bebagai elemen organisasi ekstra universitas, disamping mereka yang aktif di organisasi intra.

Mahasiswa yang ikut mendirikan itu antara lain berasal dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), Gerakan Mahasiswa Nasionalis Indonesia (GMNI). Bahkan ada yang aktif di Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND). Beberapa kali saya pun akif diundang untuk mengisi diskusi ke organisasi-organisasi kemasiswaan tersebut. 

Niat saya  sederhana. Meskipun mereka bersaing di kampus, maka di luar kampus mereka harus rukun dalam membangun pemikiran. Tidak ada baju organisasi kemahasiswaan, yang ada adalah baju CESPUR. Mereka saya wadahi diskusi dwi mingguan di rumah saya. Mereka tinggal datang ke rumah sesuai jadwal yang ditentukan, mengorganisasi diskusi, dan mengerahan massa teman-temannya. Tema diskusi itu biasanya aktual. Harapan saya, mahasiswa mempunyai bahan untuk membuat tulisan di media cetak.

CESPUR juga pernah ikut terlibat dan menginisasi pada 2 penelitian besar di Malang. Juga,  CESPUR menerbitkan buku-buku teks dan populer. Program ini berjalan beberapa tahun, sampai akhirnya CESPUR tinggal nama saja. Mahasiswa banyak yang sudah lulus.

Saya tidak patah semangat. Saya mendirikan limited group di kampus. Untuk apa? Untuk diskusi saja. Diskusi dilakukan di tempat terbuka. Biasanya disamping perpustakaan Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Meskipun diskusi hanya dihadiri 5-8 orang, diskusi tetap jalan. Makanan juga seadanya saya sediakan, kadang hanya sekadar gorengan. 

Diskusi di samping  perpustakaan itu membahas buku-buku baru. Buku harus saya sediakan untuk diberikan kepada pembicara kemudian dibedah. Harapan saya satu, agar para perserta mempunyai bahan untuk meresensi di media cetak, sebagaimana dikusi yang dilakukan di rumah saya di atas. Kalau pun tidak menulis juga tidak ada-apa. Yang penting kita telah berbuat untuk mengkaji ilmu. Idealnya sih melawan “hedonisme” di kalangan mahasiswa yang sudah mulai menguat waktu. 

Sebagai dosen saya juga bisa memotivasi mereka dalam belajar. Karena mengajar di kelas tidaklah cukup.  Tak banyak dosen yang melakukan seperti ini. Biasanya sudah cukup dengan belajar mengajar di kelas. Dosen yang mau kumpul-kumpul dengan mahasiswa waktu itu dianggap aneh. Namun saya tetap tak bergeming, sampai kelompok itu bubar ditelan waktu.

Bibit Radikalisme
Sekarang orang sedang sibuk dan cemas dengan gerakan radikal. Lho, apa hubungannya antara diskusi di atas dengan gerakan radikal? Tentu ada dan pasti ada.  Mengapa pula isu itu saat ini hangat menjadi perbincangan di kampus?

Pertama, isu radikalisme itu buntut perseteruan politik di tingkat nasional pasca Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019. Dua kelompok pendukung dan penolak radikalisme itu sebenarnya sama-sama punya kepentingan, yakni soal kekuasaan. Yang satu menolak dan satunya mendukung. Ada juga yang terkesan malu-malu, hanya mengikuti “angin bertiup” saja. Intinya satu; masing-masing kelompok punya target dan kepentingan. 

Kedua, isu radikalisme ini berkaitan dengan bagaimana “memainkan” isu tersebut di pentas nasional. Radikalisme akan bisa populer atau tidak tergantung “para pemain” yang mempopulerkan. Media massa dan media sosial dua diantara yang ikut memainkan apakah radikalisme bisa populer atau tidak. Pemberitaan yang mendukung gerakan radikal tentu berotensi mempopulerkan isu tersebut, juga sebaliknya.

Ketiga, tahun ini pasca Pilpres 2019 sedang gencar Penerimaan Mahasiswa Baru (Maba). Kampus dicurigai mendukung dan “mengembangbiakkan” gerakan radikal itu. Sampai-sampai  Menristek Dikti harus ikut mengatur dan mengawasi mahasiswa dan dosen yang terlibat gerakan radikal. Maka, kampus pun dianggap potensial dalam memunculkan bibit radikalisme. 

Sementara hal demikian bukan pekerjaan utama seorang pejabat setingkat menteri. Menteri bertugas meletakkan pondasi jangka panjang. Termasuk bagaimana mengatasi gerakan radikal itu jika tidak sesuai dengan kepentingan nasional di masa datang. Kalau sekadar hanya mengawasi, itu hanya untuk kepentingan sesaat. Jangan-jangan ganti menteri ganti kebijakan, sebagaimana kebijakan kementrian di Indonesia selama ini. 

Tambal Sulam
Kita tidak akan mendiskusikan soal kebijakan menteri yang terkesan “tambal sulam” itu. Saya akan fokus pada bagaimana kampus berperan dalam menekan radikalisme tersebut. Radikalisme tidak bisa dihilangkan dengan kebijakan tambal sulam, termasuk dengan hanya mengawasi media sosial mahasiswa dan dosen. Ia adalah gerakan yang punya akar kuat dengan jaringan yang terbangun dengan rapi. Apakah kalau sudah begini sudah tidak bisa dilakukan penekanan?

Sebenarnya ada cara yang jitu tetapi memang membutuhkan jangka panjang. Masalahnya, kita selama ini baru sadar akan dampak saat sudah muncul. Lalu selama ini apa yang sudah dilakukan? 

Pertama, memberi kesempatan semua organisasi intra dan ekstra kampus untuk kembali hidup. Kalau perlu difasilitasi kampus. Untuk apa? Organisasi inilah yang secara langsung atau tidak langsung ikut menekan gerakan radikal itu. Mahasiswa akan bersaing di kampus, juga di luar kampus.  Perkara nanti tingkat persaingan agak diluar kewajaran, tidak apa-apa. Namanya juga mahasiswa yang sedang “mencari bentuk”, bukan? Kampus memang punya kerja keras, yakni mengawasi dan membina organisasi tersebut. Kerja keras, tetapi kalau baik di masa datang kenapa tidak? Kalau perlu pemerintah memberikan bantuan dana untuk kondidi tersebut. 

Zaman saya kuliah dahulu, organisasi esktra saja sampai bisa masuk ke kampus. Mereka bersaing untuk memperebutkan posisi jabatan di kampus. Namanya juga mahasiswa, “latihan” rebutan. Bahkan sampai ada kasus penculikan “kandidat” segala. Tapi mereka bersaing dengan berorganisasi, menyosialisasikan ide-idenya dan latihan menggalang massa, serta berkompetisi keilmuwan. Saat itu, gerakan yang dicurigai radikal tidak mendapat tempat di hati mahasiswa. Mengapa? Karena mereka punya kebanggaan ikut organisasi kemahasiswaan tersebut. Itu memang zaman tahun 80-an sampai 90-an.

Saat sekarang, organisasi ektra kampus seolah “dikebiri” sedemikian rupa. Gerakan-gerakan mereka “diawasi”. Sehingga gerakan mereka juga akan terbatas. Bahkan, di PT Muhammadiyah di Jawa Tengah ada penekanan atau “himbauan” agar organisasi ekstra tidak boleh masuk. Tentu ini menyenangkan dan membuat kehidupan kampus menjadi tenang. Kenapa? Tanpa ada gangguang organisasi esktra. Padahal jika ingin menciptakan dinamika kampus, mereka tentu perlu diberi lahan. 

Namun demikian, mungkin masing-masing kampus punya kebijakan sendiri-sendiri. Di PT Muhammadiyah perlu didorong pendirian PMII, sementara itu di PT Nahdhatul Ulama perlu didorong munculnya IMM. Bukankah dalam PT Muhammadiyah saja misalnya, mayoritas mahasiswanya juga tidak berasal dari rahim keluarga Muhammadiyah? Jika organisasi ekstra kampus  itu ditekan perkembangannya di kampus, gerakan radikal akan menemukan peluangnya. 

Akibatnya, hilangnya organisasi ekstra itu dari kampus akan membuka peluang organisasi  kemahasiswaan yang dianggap radikal akan kian tumbuh subur. Jika mereka sudah masuk ke organisasi itu akan terkena doktrin organisasi. Sementara itu, dalam organisasi ekstra tersebut tidak biasa dilakukan pendoktrinan. Karena organisasinya bersifat terbuka. 

Kedua, menciptakan lahan-lahan kesibukan bagi mahasiswa yang kreatif. Salah satu contohnya apa yang perlu dilakukan dosen di luar proses belajar mengajar. Contoh lain tidak perlu saya bahas di sini karena kebijakan masing-masing kampus berbeda. Dosen tak hanya cukup menjadi pengajar dan berdiri di depan kelas. Ia harus mempelopori kegiatan lain di luar kampus. Tentu masih ada katannya dengan ilmu pengetahuan sesuai kepakarannya. Misalnya, dosen mendorong inovasi di kalangan mahasiswa, terjun ke lapangan untuk mendorong dan mengembangkan ilmu, serta mengawal kegiatan mahasiswa (formal atau informal). 

Kalau sekadar mengajar di kelas semua orang juga bisa. Baca buku lalu omong dikelas, selesai sudah. Nongkrong atau ngopi dengan mahasiwa pun tak perlu lagi dicurigai mengandung “niat terselubung”. Itu juga bagian dari proses pembelajaran.

Tak Perlu Gembar-Gembor
Memang cara-cara seperti itu tidak mendatangkan materi berlimpah. Dosen yang sudah terhinggapi orientasi materi seperti itu tentu akan enggan bersusah-susah. Yang penting mengajar, setiap bulan dapat gaji. Atau mengurusi proyek pribadi di luar. Tapi kalau memang sudah niat menjadi oden, apapun perlu dilakukan untuk kebaikan mahasiswa dan pengembangan ilmu pengetahuan. Memang, setiap pendidik punya jalan sendiri-

sendiri. Contoh di atas salah satu jalan saya. Yang penting tidak terkesan “berdiri di menara gading”.
Kita selama ini memakai pendekatan ”tambal sulam”. Baru sadar jika dampak yang muncul tak sesuai harapan. Ada banyak jalan memang. Tidak harus dilakukan oleh pimpinan, semua orang perlu bertindak sesuai kemampuan dengan dasar dan tujuan yang sudah dicita-citakan. 

Jika memang negara ini negara Pancasila, maka berbagai aktivitas perlu mengarah ke sana. Pancasila dan juga NKRI bukan diteriakkan dalam slogan dan semboyan, tetapi tindakan nyata. Ada kalanya, mereka yang tidak menggebar-gemborkan slogan-slogan itu yang secara diam-diam bekerja dengan baik. Biarlah slogan dan semboyan menjadi milik Partai Politik (Parpol) saat mau Pemilu, meskipun setelah tujuannya tercapai semboyan tersebut akan dilupakan. Kita mulai dari diri sendiri.(*)


*)Penulis: Nurudin, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES