Kopi TIMES

Makna Persatuan, Fenomena Dakwah UAS dan Kerusuhan di Papua

Senin, 26 Agustus 2019 - 08:35 | 292.90k
Antono Wahyudi, Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum (MKU) Universitas Ma Chung, Malang.
Antono Wahyudi, Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum (MKU) Universitas Ma Chung, Malang.

TIMESINDONESIA, MALANG – JURGEN Habermas mengajarkan bahwa umat manusia itu (dalam suatu kelompok masyarakat) sudah sepantasnya memiliki pemahaman dan penghayatan yang sama dari hasil konsensus bersama. Sebab, narasi besar seperti keadilan, keindahan, kebenaran, kejujuran, kebaikan, dst. kerap mendapatkan pemaknaan yang berbeda-beda berdasarkan perspektif yang berbeda pula. 

Jika tidak dipahami dalam konsensus dengan mengedepankan rasionalitas sekaligus relasionalitas, maka yang terjadi adalah kekacauan pemahaman atas arah kiblat yang dituju dan dirujuk. Demikian halnya dengan pemahaman mengenai "persatuan" yang saat ini sedang naik daun. 

Bayangkan jika pemahaman tentang persatuan dimaknai sebatas mempersatukan yang se-iman saja, se-golongan, se-ideologi, ataupun se-warna kulit saja. Apakah makna persatuan tersebut dapat menyentuh hakikatnya dalam kenyataan Indonesia yang majemuk ini?

Urgensitas pemaknaan atas kata "persatuan" dengan demikian perlu direfleksikan kembali tetapi dalam hal ini juga dapat dengan mengamati dan menelaah fenomena sosial yang akhir-akhir ini cenderung menyita banyak perhatian masyarakat. 

Menariknya, kata ini tidak hanya merujuk pada soal-soal general yang telah banyak dimengerti oleh khalayak umum seperti misalnya kebersamaan, perpecahan, atau kolaborasi, dst. Kata “persatuan” memiliki relevansi yang kaya dengan kedalaman makna sekaligus berimplikasi pada tindakan memanusiawi.

Jika kita simak fenomena "dakwah UAS" tentang simbol Salib yang sempat menghebohkan itu, bisa dimaklumi jika memang ada yang tersinggung dari ceramah model seperti itu. Fenomena sosial lainnya seperti persoalan kerusuhan di Papua juga cukup menggemparkan hingga pernyataan maaf terucap dari beberapa pejabat negara. Kedua fenomena tersebut sangat relevan dengan urgensitas pemaknaan persatuan yang akan saya paparkan secara sederhana.

Inklusifisme dalam Persatuan

Hakikat "persatuan" di dalam makna keseharian itu—apalagi sebagai tokoh masyarakat/umat—seyogyanya lebih menitikberatkan pada kebaikan ketimbang kebenaran. Dapat dipahami jika di dalam wilayah privat (misalnya ceramah untuk umat yang memiliki keyakinan yang sama), kebenaran menjadi penting untuk disampaikan. Akan tetapi, perlu dicatat, kebenaran yang dimaksud selalu difondasikan pada nilai inklusivisme serta humanisme universal. 

Dalam hal ini, kebenaran yang disampaikan perlu disampaikan secara kontekstual dan tidak semata tekstual agar tidak menimbulkan kebencian terdahap keyakinan lain yang berbeda. Potensi untuk memunculkan sifat dan sikap kebencian akan semakin membesar di dalam benak seseorang jika kesadarannya terisi dan terendap oleh konten yang mencerminkan hal-hal yang bersifat sosial-kontradiktif. 

Sederhananya, jika apa yang benar itu adalah apa yang secara etis layak disampaikan untuk dimusnahkan (atau sekurang-kurangnya dimusuhi atau dijauhi seperti misalnya keberadaan jin atau kafir), maka relasi kemanusiaan jauh dari cita-cita persatuan (dengan yang berbeda) itu sendiri. 

Dengan demikian, salah satu hakikat persatuan adalah itu yang ditumbuh-kembangkan dari sikap inklusif (membuka diri agar yang-lain dapat hidup berdampingan dengan rasa aman dan nyaman) sehingga menciptakan atmosfir humanisme universal. Hal ini juga berlaku jika dikaitkan dengan fenomena kerusuhan di Papua. Jelas oknum yang memicu munculnya kerusuhan dan juga tentunya perusuh itu sendiri tidak mengenal apa itu persatuan dalam konteks yang pertama ini. 

Persoalan identitas memang rentan memunculkan konflik jika tersenggol oleh oknum yang berada di luar identitas yang bersangkutan. Terlebih lagi jika berbicara soal identitas kodrati seperti ras atau warna kulit. Sikap dan sifat inklusivisme inilah yang semestinya dikedepankan. Bukan emosionalitas harga diri yang berdampak pada generalisasi ras yang ditonjolkan kendati persoalan warna kulit menjadi objek utama untuk dicabut dari martabatnya.

Lawan dari inklusif adalah eksklusif. Eksklusif berarti menutup diri dari jangkauan yang berbeda dengannya. Eksklusivisme, dengan demikian, secara berlebihan mengagungkan keunggulan dan menempatkan kebenaran dirinya di atas keberadaan orang lain yang berbeda, sehingga yang lain menjadi tidak pantas, tidak layak, atau bahkan "sah" baik secara teologis maupun ideologis untuk dijauhkan atau bahkan dimusnahkan. 

Tentu saja, eksklusivisme merupakan "musuh" dari semangat persatuan dan kesatuan. Jika eksklusivisme ini dilanjutkan pada tingkat yang lebih tinggi, asimilasi (di mana yang-lain dapat hidup berdampingan dengan syarat harus melepaskan identitasnya) menjadi jalan untuk "memurnikan" apa yang berbeda dari dirinya. Puritanisme (atau paham yang menganggap bahwa dirinya mengandung kemurnian ini) bercokol di dalam benaknya, sehingga pemaksaan dan kekerasan menjadi satu-satunya jalan untuk merubah dunia.

Kebenaran Menuju Persatuan

Jalan menuju hakikat persatuan—jika dilihat dari sudut pandang diskursus kebenaran—juga menyangkut korespondensi dan kontekstualisasi kebenaran. Korespondensi kebenaran mengandaikan adanya kesesuaian antara subjek dengan objek. Artinya, kebenaran secara faktual yang dapat dipertanggung-jawabkan oleh subjek. 

Aspek pertanggung-jawaban inilah yang menjadi perekat satu individu dengan individu lainnya baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan kata lain, pendekatan korespondensi kebenaran inilah yang dapat menjauhkan masyarakat dari serangan fakta-alternatif atau apa yang kerap dikenal dengan hoaks. 

Sedangkan kontekstualisasi kebenaran merupakan cara pandang sesuatu secara utuh dan menyeluruh. "Utuh" memaksudkan adanya keterjangkauan ruang dan waktu. Sedangkan "menyeluruh" dimaksudkan keterkaitan relasi makna atas realitas. 

Apa yang benar tidak terbelenggu oleh kesempitan dan kedangkalan perspektif manusia. Apa yang benar dapat terhindar dari kekakuan dan kebekuan pemahaman. Apa yang benar, dengan demikian, dapat selalu kompatibel dengan zaman serta peradaban yang terus mengalami perubahan dan perkembangan. 

Dalam kasus kerusuhan di Papua, hal yang cukup menarik sekaligus mengkhawatirkan adalah reaksi—atau lebih tepatnya adalah respon—sebagian warga di media sosial di dalam mendukung adanya referendum terkait dengan kedaulatan Papua dari NKRI.

Persoalannya bukan terletak pada hak untuk menjadi "merdeka" dari NKRI, melainkan sebagian warga media sosial ini lebih memberikan artikulasinya pada aspek emosionalitas (kebencian karena tersinggung) ketimbang aspek rekonsiliasinya. Maksudnya, bukankah yang terpenting adalah justru menyebarkan pengaruh positif (melalui media sosial misalnya) atas dibutuhkannya dialog secara rasional dari berbagai pihak untuk dapat menemukan titik-temu kebenaran, dan bukan mendorong terlaksananya pemisahan? 

Kendati tidak semua orang itu rasis, tetapi ada saja (melalui media sosial) yang memberikan saran bahwa menempuh pendidikan itu jangan di pulau Jawa ataupun pulau-pulau lainnya selain Papua. Persoalan rasisme yang terjadi di Surabaya atau di Malang tidak dapat digeneralisasikan kepada seluruh sistem sosial kemasyarakatan dan masyarakat itu sendiri yang ada di kota-kota tersebut.

Bahkan ada juga yang mengatakan (dengan menyebarkan melalui media sosial) bahwa kerusuhan di Papua merupakan "grand-design" pihak tertentu yang berseberangan dengan pilihan politiknya. Pernyataan seperti demikian jelas melenceng dari korespondensi kebenaran. Dengan kata lain, pernyataan tersebut perlu dipertanyakan data-data objektifnya. Apakah dapat dipertanggung-jawabkan?

Jelas hal ini tidak mencerminkan persatuan dan kesatuan. Sebab, logika kontekstual dalam menemukan kebenaran jatuh pada lubang politik identitas yang sarat akan egosentrisme. Dengan mengedepankan dialog yang merupakan katalisator perdamaian, persatuan dan kesatuan akan dapat tercipta. 

Demikian halnya dengan kasus dakwah UAS. Tidak sedikit warga media sosial yang membela kebenaran teologis terhadap konten dari apa yang disampaikan di dalam dakwah UAS. Secara teologis memang ada dalil-dalil yang membenarkan pernyataan tersebut. Meskipun demikian, simbolisme teologis tidak cukup dipandang sebatas kebenaran tekstual semata.

Simbolisme yang ada pada penghayatan umat Kristiani terhadap Salib tidak bisa serta-merta dinilai sebatas pendekatan material belaka, tetapi perlu didekati dalam ranah substansial juga. Seperti halnya umat Muslim, tidak dapat dinilai hanya sebatas penyembah bangunan kubus yang disebut dengan Ka'bah. Tetapi jelas lebih dari itu.

Untuk dapat memahami konsep simbolisme seperti demikian, diperlukan pendekatan kontekstualisasi kebenaran. Simbol Salib maupun Ka'bah memang tidak dapat disamakan (secara teologis). Akan tetapi, secara utuh dan menyeluruh umat dapat memahami penghayatan simbol-simbol keagamaan tersebut melampaui apa yang sekedar dapat diserap oleh panca-indera. 

Pemaknaan penyembahan simbol sama sekali tidak berhubungan dengan jin atau makhluk sejenisnya. Dengan kata lain, agama-agama abrahamik (seperti Islam dan Kristiani misalnya) tidak menyembah berhala seperti yang ada di zaman jahiliyah. Sederhananya, dulu orang menyembah patung berhala karena berhala tersebut dianggap sebagai Tuhannya. Pada zaman modern tentu tidak demikian.

Konsep penyembahan agama abrahamik kepada Tuhan di zaman modern juga menggunakan simbol. Akan tetapi simbol itu sendiri bukanlah Tuhannya, melainkan hanyalah sebuah media yang secara filosofis dapat membantu umatnya (secara teologis) untuk mendalami serta menghayati dimensi spiritualitasnya.

Pemahaman seperti demikian akan dapat semakin jelas ketika setiap umat beragama dapat menjunjung tinggi nilai inklusivisme agar dapat terbuka membangun dialog antar-umat beragama. Dengan berdialog, umat beragama dapat saling memahami dan menghargai satu dengan yang lainnya tanpa perlu sedikitpun melunturkan keyakinan imannya. 

Dengan membangun dialog lintas iman, kedekatan baik secara fisik maupun psikis dapat terjalin dengan hangat. Membangun dialog dengan mengedepankan kontekstualisasi kebenaran adalah merupakan titik temu aspek kemanusiaan yang dapat terjalin tanpa friksi. Dengan demikian, dialog menjadi emblem definisi persatuan itu sendiri.

Pendalaman Makna Persatuan

Sampai di sini penggalian makna persatuan memunculkan nilai inklusivisme sebagai salah satu fondasi untuk menghidupkannya. Dan, salah satu jalan untuk menyibaknya adalah mendekatinya dengan perspektif korespondensi dan kontekstualisasi kebenaran. Lantas, apakah yang menjadi kesimpulannya? Apakah persatuan itu?

Persatuan, pertama-tama, lahir dan hidup di alam pluralitas. Adanya entitas yang berbeda melahirkan konsep persatuan. Analoginya seperti keluarga. Terciptanya sebuah keluarga berawal dari hubungan suci yang mendalam antara laki-laki dan perempuan. Dengan sendirinya tipe laki-laki dan perempuan adalah dua jenis individu yang berbeda baik secara biologis maupun psikologis. 

Belum pernah ada dua individu yang sama menjalin hubungan untuk membentuk keluarga. Sebab, konsep individu itu sendiri sudah mengatakan keunikannya. Artinya, mereka berbeda. Persatuan dengan demikian tidak lagi relevan dalam suatu persamaan. Jika sama, tidak diperlukan lagi sebuah persatuan. Sebab, yang-sama memang dengan sendirinya sudah bersatu.

Di dalam konteks keindonesiaan, umat Islam (dengan asumsi mazhab yang sama) dengan sendirinya telah bersatu. Begitu juga halnya dengan agama-agama lainnya. Persatuan dapat hidup jika kehidupan umat beragama dapat berjalan berdampingan dengan aman dan nyaman. Tidak ada superioritas (penonjolan keunggulan terhadap kebenaran) diantara agama-agama yang ada. 

Meskipun demikian, persatuan dan kesatuan tidak akan muncul dengan sendirinya. Ia perlu diaktifkan. Aktivasi nilai persatuan hanya bisa dilakukan dengan sebuah perekat. Perekat itu adalah cinta. Mengapa cinta? Jelas dengan sendirinya jika dengan kebencian justru akan memunculkan perpecahan. 

Cinta di sini jauh dari konotasi yang mengarah pada seksualitas semata. Cinta merupakan keluhuran manusiawi yang dapat mempersatukan manusia. Cinta itu terarah pada yang berbeda. Bukan pada yang sama. Analogi konsep keluarga yang telah dipaparkan di atas dapat memberikan ilustrasi untuk mempermudah pemahaman cinta yang dapat mengaktivasi sebuah persatuan.

Kehidupan umat beragama maupun keragaman ras akan dapat mempersatukan dirinya jika mereka hidup saling mencintai. Jika mereka mengarahkan cinta kepada yang sejenis (se-iman atau se-warna kulit) maka cinta itu tidak dibutuhkan. Artinya, cinta (dalam pemaknaan persatuan) seperti itu akan sia-sia. Sebab, mereka sudah "menyatu" dengan sendirinya. 

Hal krusial berikutnya yang perlu diketahui tentang cinta terletak pada sifatnya. Cinta itu bersifat paradoksal. Cinta bisa disebut cinta jika ia tak tergapai. Maksudnya, cinta itu tidak final. Dengan kata lain, orang yang mencintai sesuatu adalah orang yang secara konsisten selalu terus mengarahkan dirinya dan mengejar apa yang dicintainya. 

Justru ketika dia terus mengejar apa yang dicintainya, dia sedang menerapkan dan mengalami cinta itu sendiri. Sebaliknya, jika dia merasa mendapatkan cintanya, dia akan berhenti mencintainya. Ketika berhenti mencintai, maka dia akan menjaga jarak dan bahkan dapat menjauh. Akhirnya, jika hal ini diteruskan maka yang muncul adalah kebencian yang berujung pada tindakan inhuman. 

Dengan demikian,  persatuan yang diaktifkan dengan rasa cinta juga dengan sendirinya mengandaikan sifat paradoksal yang sama. Persatuan dapat tercapai bilamana masyarakat secara konsisten mengarahkan diri mereka pada persatuan itu sendiri. Itulah sebabnya, masyarakat yang se-iman atau se-warna kulit tidak lagi mengarahkan dirinya pada persatuan karena mereka telah bersatu, dan secara paradoksal persatuannya menjadi sirna. 

Selanjutnya, keterarahan pada persatuan  mengandaikan adanya dinamika kualitas kamanusiaan. Keharmonisan relasi manusia (kelompok masyarakat) tidak dapat dilepaskan dari naik-turunnya dan surplus maupun defisitnya kemanusiaan. Oleh sebab itu, dengan semangat mengejar persatuan itu sendiri, kesadaran akan pentingnya rekonsiliasi menjadi salah satu asupan yang tak pernah terhapuskan dari menu kehidupan.

Salah satu komponen primer dari rekonsiliasi adalah apa yang disebut dengan maaf. Prof. Dr. Armada Riyanto mengingatkan kepada kita bahwa kata "maaf" tidak hanya mengandaikan adanya dimensi etis, tetapi juga menekankan pada dimensi etiketis. Artinya, "maaf" tidak melulu merujuk pada suatu kesalahan yang telah diperbuat, tetapi juga memaksudkan adanya praktek pemulihan relasi sesama manusia semata demi menjaga persatuan dan kesatuan.

Fenomena dakwah UAS (tanpa menyingkirkan aspek kebenaran teologis yang telah disampaikan) secara etiketis sudah sepantasnya perlu mengucapkan permintaan maaf kepada masyarakat khususnya kepada mereka yang memiliki perbedaan keyakinan dengannya. Itulah sebabnya, dalam fenomena kerusuhan di Papua, kendati terdapat oknum tertentu yang menjadi profokatornya, akan tetapi para pejabat terkait telah menyampaikan permintaan maafnya secara publik. Semua ini dilakukan semata demi persatuan dan kesatuan.

Pasca pilpres 2019 yang lalu, rekonsiliasi menjadi tema yang cukup hangat diperbincangkan oleh masyarakat. Ada yang setuju dan bahkan mengharuskan itu terjadi, tetapi juga ada yang tidak setuju karena hal itu termasuk atau dianggap haram. Terlepas dari adanya perbedaan pandangan dan mungkin adanya kepentingan dibaliknya, selayaknya kita patut bersyukur bahwa ternyata kedua paslon capres tersebut masih memiliki kesadaran akan pentingnya rekonsiliasi demi persatuan dan kesatuan. 

Persoalannya, seperti yang telah dikemukakan oleh Habermas, ternyata setiap kelompok masyarakat memiliki definisi yang berbeda-beda terhadap makna persatuan. Oleh sebab itu, melalui lembaga pendidikan (formal maupun informal) dan bahkan institusi keagamaan, institusi kesehatan, aparat militer sekalipun, diskursus Pancasila, dalam hal ini adalah Persatuan Indonesia menjadi penting untuk mendapatkan pendalaman pemaknaannya.  

Tidak dapat dipungkiri bahwa pada abad 21 ini gerakan-gerakan sosial ekstrimis (dan tidak sedikit yang mengatasnamakan agama tertentu) mampu menyusup ke berbagai sendi kehidupan masyarakat. Mereka tidak hanya "bermain" di dalam ranah politik praktis, tetapi juga di dalam kehidupan sehari-hari. Mereka bersemayam di dalam berbagai bentuk kehidupan. Tanpa pengedepanan pola pikir yang kritis sekaligus inklusif, tanpa kita sadari mereka dapat dengan sangat mudah mendistorsi kesadaran manusiawi kita.

Itulah sebabnya para pendiri bangsa ini pada 1 Juni 1945 merumuskan sila Persatuan Indonesia (atau pada waktu itu disebut dengan sila Kebangsaan) yang diposisikan pada tingkat yang paling pertama (sila pertama), kendati Soekarno sendiri tidak terlalu mempersoalkan urutan dari kelima sila tersebut. Krusialitas persatuan dan kesatuan menjadi prioritas manusia Indonesia tanpa sedikitpun mendegradasikan dimensi spiritualitas bangsa. 

Pada era kolonialisme dan imperialisme, ketika bangsa Indonesia masih tercerai-berai, para pahlawan menyadari pentingnya kebutuhan untuk bersatu. Mereka menyadari bahwa persatuan dan kesatuan merupakan senjata yang paling ampuh di dalam masyarakat yang majemuk untuk menghadapi penjajah. Salah satu produknya adalah apa yang dikenal dengan Sumpah Pemuda. 

Begitu juga pada konteks keindonesiaan masa kini. Selama tiang bendera Indonesia masih tegak menjujung tinggi Pancasila dan selama merah putih masih berkibar, Bhinneka Tunggal Ika tetap menjadi fondasi sekaligus emblem manusia Indonesia itu sendiri. Lagi pula, makna kebhinnekaan itu bukanlah menghilangkan yang berbeda agar tercipta persamaan identitas, tetapi justru memeluk perbedaan itu sendiri tanpa menghilangkan identitas.(*)

*)Penulis, Antono Wahyudi, Pengelola & Pengajar Mata Kuliah Umum (MKU) Universitas Ma Chung, Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok
Sumber : TIMES Malang

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES