Peristiwa Daerah

Jadi Warga Kehormatan Suku Mandar, Dokter Taufik Hidayat Dapat Gelar ‘Daeng Bajikna’

Sabtu, 24 Agustus 2019 - 21:35 | 321.80k
Prosesi upacara penyematan warga suku Mandar (FOTO: Rizki Alfian/TIMES Indonesia)
Prosesi upacara penyematan warga suku Mandar (FOTO: Rizki Alfian/TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Barang siapa yang menanam dia pasti akan menuai, jika ia menanam kebaikan pasti ia akan menuai kebaikan pula. Mungkin peribahasa itu cocok untuk Ketua Dewan Kesenian Blambangan (DKB), dr. Taufik Hidayat. Atas jasa kebaikannya selama ini, ia didaulat menjadi warga kehormatan etnis suku Mandar.

Dokter Taufik mendapat gelar ‘Daeng Bajikna’, gelar tersebut disematkan pada nama belakangnya saat memperingati HUT ke-74 RI bersama warga suku Mandar di Galery Adat Mandar Kelurahan Mandar, Banyuwangi. Sehingga nama panjangnya menjadi ‘Datuk dr. Taufiq Hidayat Daeng Bajikna’, yang berarti orang baik atau orang yang suka menebarkan kebaikan dimanapun dia berada.

“Pemberian gelar sebagai warga kehormatan Mandar bukanlah pemberian gelar akedemik, melainkan pengakuan yang timbul dari masyarakat atas pengabdian dan jasanya untuk masyarakat Banyuwangi yang multikultur. Atas nama Dewan Adat Mandar Banyuwangi kami bangga dan bahagia mengangkat saudara dr. Taufik Hidayat, selaku Ketua DKB sebagai warga kehormatan suku Mandar dengan gelar 'Daeng Bajikna' sebagai keluarga besar Datuk Kapitan Daeng Galak,” ucap Sesepuh Puang Isam Datok Daeng Galak, mewakili warga Kampung Mandar Banyuwangi, Sabtu (24/8/2019).

Menurut Puang Isam, selama ini dr. Taufik selalu mendukung dan terus melaksanakan tugas serta fungsinya dalam mengkoordinir para pelaku seni dan budaya untuk pelestarian adat, tradisi dan budaya di seluruh Kabupaten Banyuwangi. Sehingga pemberian gelar untuk dr. Taufik dinilai cocok dan tepat.

penyematan-warga-suku-mandar-2.jpg

“Prosesi pemberian gelar kehormatan dilakukan dengan berbagai rangkaian upacara adat, salah satunya adalah dengan mandi kembang,” ungkapnya.

Puang Isam menceritakan, Suku Mandar bisa sampai di Banyuwangi karena sejarah masa lalu nenek moyangnya, Datuk Puang Daeng Kapitan Galak yang 'mbabat alas’ di pesisir Banyuwangi Kota. Sejarah panjang ini tidak bisa dilepaskan dari era Kerajaan Blambangan dan era Kolonialisme. Saat itu Banyuwangi masih berada pada masa kerajaan Blambangan, masuknya suku Mandar sendiri diperkirakaan pada abad 16 - 17 atas permintaan Raja Blambangan pada masa itu.

Menurut cerita tutur dari keturunan langsung orang pertama yang membuka dan menempati wilayah Mandar yang juga diperkuat dari tulisan lontar. Dikatakan pada masa peperangan dahulu, rombongan Datuk Karaeng Puang Daeng Kapitan Galak dan adik laki- lakinya yang bernama Datuk Karaeng Puang Daeng Kapitan Macan beserta kerabat, sanak saudara dan pasukannya berlayar dari Sulawesi menuju Pulau Jawa.

“Sang adik Datuk Karaeng Puang Daeng Macan dan sebagian kerabat serta pasukan, berlabuh dan mendiami wilayah Pasuruan yang lebih dikenal dengan nama Mandaranharjo. Sedangkan Datuk Karaeng Puang Daeng Kapitan Galak bersama kerabat lainnya berlayar menuju ujung timur Pulau Jawa dan menempati wilayah pesisir Banyuwangi yang memang disediakan oleh kerajaan Blambangan untuk menjaga wilayah tersebut dari serangan musuh,” tuturnya.

Sebagai petinggi yang pertama kali membuka lahan, masyarakat lebih mengenal dengan sebutan Kampung Mandar. Hal tersebut dikarenakan wilayah itu didiami oleh Suku Mandar. Pada awal masa itu, wilayah teritorial disebut Mandaran yang berada di pesisir timur, kawasannya kurang lebih 7 kilometer ke utara dan 7 kilometer ke selatan, dengan titik 0 km berada di Kampung Mandar yang saat ini mencakup daerah Tanjung sampai Pakis.

Sementara itu Datuk dr. Taufik Hidayat Daeng Bajikna yang baru saja ditasbihkan menjadi warga Suku Mandar mengaku bangga menjadi bagian dari keluarga Mandar.

Dia mengatakan, bersama jajaran pengurus DKB lain akan menampilkan masyarakat adat Mandar dalam Festival Kuwung pada Desember 2019 mendatang. Adat dan tradisi Mandar akan bersanding bersama masyarakat Osing, Jawa, Madura, Bali, Arab, Melayu, dan Tionghoa. “Hal ini sebagai gambaran bahwa di Banyuwangi keberagaman berbagai suku bisa saling hidup berdampingan, gotong royong, rukun dan hidup sejahtera,” tutur dr. Taufik Hidayat yang juga Direktur RSUD Genteng ini. (*)

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Faizal R Arief
Publisher : Sofyan Saqi Futaki
Sumber : TIMES Banyuwangi

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES