Kopi TIMES

Bidik Misi Yang Tanggung

Sabtu, 24 Agustus 2019 - 09:33 | 243.64k
Rochmat Wahab, Yogyakarta
Rochmat Wahab, Yogyakarta

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTAPROGRAM Beasiswa Bidik Misi memiliki misi terpuji yang telah dimulai sejak era Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan pak M. Nuh sebagai Menteri Pendidikan RI. Sudah ratusan ribu anak muda berpotensi dari keluarga tak mampu terbantu dapat nikmati kuliah di perguruan tinggi sesuai yang mereka minati, bahkan di kampus bereputasi.

Ada yang dapat beasiswa program sarjana hingga selesai, ada juga yang sampai program pendidikan profesi. Ada juga yang berhenti pada program akademik, belum selesai program profesi. Jangan sampai Bidik Misi yang tanggung, sehingga merugikan bagi yang mengikuti program ini.

Bidik Misi yang semula S1 untuk prodi pendidikan dokter, sehingga cukup berhenti sampai peroleh Sarjana Kedokteran (S.Ked). Padahal dengan sandang S.Ked, belum bisa bekerja sebagaimana mestinya. Karena itu cakupan beasiswa hingga selesai studi raih gelar dokter.

Di luar prodi pendidikan dokter yang ada pendidikan profesinya di antaranya hukum, akuntansi, psikologi, pendidikan dan sebagainya. Bidik misi untuk keempat prodi ini cukup hanya S1 saja, tidak sampai pendidikan profesi. Untuk S1 prodi Hukum, Akuntansi, dan Psikologi tanpa pendidikan profesi, ijazahnya sudah bisa dipakai untuk bekerja di bidangnya. Dengan begitu beasiswanya bisa cukup sampai S1.

Namun pemegang  ijazah prodi kependidikan berdasarkan UUGD tahun 2005, belum bisa secara legal menjadi guru tanpa bersertifikat profesi pendidik. Bisa dibayangkan bahwa mahasiswa dari keluarga tidak mampu sudah menjalani studi minimal 4 tahun, tetapi setelah selesai ijazahnya belum bisa dijadikan jaminan untuk menjadi guru. Kalau prodi pendidikan dokter bisa, mengapa untuk prodi kependidikan tidak bisa.

Saya bisa memaklumi hal ini tidaklah mudah. Karena hingga kini pemerintah juga belum membuka program pendidikan profesi guru (PPG) untuk fresh graduate, kecuali untuk yang ikut SM3T, walau jumlah masih relatif terbatas. Yang saat ini PPG format SM3T sudah dihentikan.

Padahal setiap tahun sudah terjadi booming pensiunan yang mestinya sudah harus ada pergantian dengan guru baru yang tidak hanya di daerah 3T, tetapi juga di seluruh wilayah Indonesia. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi jika tidak dilakukan pengangkatan guru besar-besaran.

Kini saatnya beasiswa Bidik Misi yang tanggung untuk prodi kependidikan ini dituntaskan, yang tidak hanya sampai program sarjana (S1), melainkan hingga ikuti PPG. Dengan begitu Bidik Misi bisa penuhi misinya, yaitu mengentaskan rantai kemiskinan. Jika kebijakan ini bisa diwujudkan, maka keberpihakan pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan di bidang ini bisa diwujudkan.

Sebenarnya, seingat saya persoalan ini sudah dua kali saya sampaikan ke Pak Presiden ketika para rektor beraudiensi  ke istana. Mungkin selama ini belum dianggap prioritas, namun ke depan sangat diharapkan Kemristekdikti bisa mempertimbangkan.

Peserta beasiswa Bidik Misi diharapkan sekali bisa memuaskan pemerintah dan rakyat, karena anggaran yang disediakan berasal dari pajak. Untuk itu jangan sampai terjadi sejak dari awal penerima beasiswa melakukan ketidakjujuran. Bahkan di tengah proses pendidikan pun jika sudah ada kemajuan ekonomi keluarga, wajib berhenti, tidak harus diteruskan sampai akhir studi. Karena dalam kondisi seperti ini jatahnya bisa diberikan ke yang lain. Yang benar-benar memenuhi syarat untuk menerimanya. Di sini kejujuran sangatlah penting.

Memanfaatkan beasiswa Bidik Misi ini harus dilakukan dengan sebaik-baiknya. Belajar dengan sungguh-sungguh. Mengisi kegiatan ekstra kurikuler secara produktif, sehingga ada tambahan kompetensi lain selain bidang yang ditekuni. Terlebih-lebih untuk meningkatkan soft skill dan leadership skill. Di samping pengembangan bakat dan minat. Selain daripada itu yang menjadi kesan saya dan perlu mendapatkan perhatian serius, jangan sampai sudah berjalan 6 semester kok DO untuk nikah atau tidak jelas keberadaannya, sangat disayangkan.

Bahkan suatu peluang yang tak pernah terjadi, bahwa penerima beasiswa Bidik Misi memiliki peluang untuk lanjutkan beasiswanya yang tidak hanya S2 atau S3 atau pendidikan spesialis di dalam negeri saja melainkan juga di luar negeri. Karena itu perlu persiapkan diri bahasa internasional, sehingga memudahkan untuk raih peluang beasiswa itu. Lepas dari itu semua, jangan sampai semata-mata hanya meraih prestasi akademik yang setinggi-tingginya, melainkan juga spiritualitas dan soft skill-nya serta enterpreneurship skill-nya ditingkatkan.

Demikianlah ikhtiar yang perlu dilakukan, bagaimana program beasiswa Bidik Misi tidak beri beban bagi penerimanya, terutama prodi kependidikan, sehingga mereka terus bisa berlanjut ke dunia karirnya. Memang tidak mudah dilakukan. Karena berkonsekuensi pada tunjangan yang harus disiapkan bagi mereka yang ambil profesi guru.

Dengan kebijakan ini sebenarnya bisa ikut kendalikan program S1 bidang kependidikan yang hampir tidak bisa dikendalikan. Yang berpotensi banyak lulusan kependidikan yang nganggur. Semoga persoalan Bidik Misi ini bisa diselesaikan bersama-sama antar pihak-pihak terkait. Sehingga, tidak menjadi program yang tanggung. Semoga! (*)

*) Penulis adalah Prof Dr Rochmat Wahab, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) Periode 2009-2017, anggota Mustasyar PW Nahdlatul Ulama (NU) DIY, Pengurus ICMI Pusat.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES