Kopi TIMES

Masa Depan Papua, Menjadi Indonesia Seutuhnya

Kamis, 22 Agustus 2019 - 14:35 | 162.27k
Penulis, Mukhammad Hykhal S. A, Ketua DPP GMNI Bidang Reforma Agraria
Penulis, Mukhammad Hykhal S. A, Ketua DPP GMNI Bidang Reforma Agraria

TIMESINDONESIA, JAKARTA – “Dan apa yang dinamakan Indonesia, Saudara-saudara? Yang dinamakan Indonesia ialah segenap kepulauan antara Sabang dan Merauke. Yang dinamakan Indonesia ialah apa yang dulu dikenal sebagai perkataan Hindia-Belanda”

Cuplikan diatas adalah potongan pidato Presiden Sukarno dihadapan taruna-taruna akademi Militer Nasional di Yogyakarta pada 19 Desember 1961. Presiden Sukarno menyampaikan pidato tersebut terkait perebutan Irian Barat dari tangan Belanda ke Republik Indonesia. 

Sejarah menceritakan banyaknya lika-liku yang dihadapi Pemerintahan Indonesia kala itu dalam perebutan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. Makna dari nama Irian yang ciptakan oleh Frans Kaisiepo sebagai salah satu pahlawan nasional yang berasal dari Papua ialah “Ikut Republik Indonesia Anti Nedherland”. 

Hal tersebut telah mengartikan bahwa rasa persatuan para pahlawan nasional memang ada di seluruh penjuru sabang sampai merauke. Berbagai langkah di tempuh presiden Suharto dalam proses pembebasan Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia yang diantara lain adalah langkah diplomasi dan langkah konfrontasi militer melawan Belanda. Perjuangan yang berat tersebut mewujudkan mimpi yang tidak sia-sia, Irian Barat menjadi bagian dari Indonesia Merdeka.

Pada waktu-waktu sekarang ini, bangsa Indonesia sedang mengalami keprihatinan dalam suasana peringatan Hari Kemerdekaan. Terjadi gerakan massa di Manokwari, Sorong dan Jayapura atas akibat dari peristiwa yang melibatkan mahasiswa dari Papua yang berada di kota Surabaya dan Malang. Penyebabnya adalah mahasiswa-mahasiswa tersebut merasa diperlakukan tidak adil. Ketidakadilan tersebuit adalah tindakan represif, tindakan pengusiran dan Rasisme yang ditujukan pada mahasiswa-mahasiwa Papua oleh beberapa oknum aparat dan organisasi kemasyarakatan di daerah tersebut. 

Hal-hal tersebutlah yang kemudian mengobarkan semangat solidaritas masyarakat Papua yang merasa bahwa hak-hak mahasiswa di dua kota tersebut tidak terpenuhi. Sekaligus menunjukan rasa kekecewaan terhadap pemerintah yang lalai dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dalam menjamin hak-hak warga Negaranya, dalam hal ini mahasiwa-mahasiswa Papua.

Konflik yang melibatkan masyarakat Papua adalah konflik yang tidak lepas dari sejarah panjang Indonesia sejak era pra kemerdekaan. Pada tahun 1936, bersamaan dengan ditemukanya mineral ore di Pegunungan Ertsberg menjadi awal dari petaka kemanusiaan di Papua kontemporer. Setelah sempat mangkrak kurang lebih 20 tahun, Irian Barat mulai diperhatikan kembali setelah ditemukanya cadangan emas yang diprediksi sangat besar di Gunung Grastberg dan menjadi incaran Freeport McMoran Copper and Gold dari Amerika Serikat. 

Dalam semua bisnis ekonomi keruk inilah, sejak potensinya ditemukan pada 1936 di areal wilayah yang sekarang menjadi Papua, rakyat Papua asli telah sejak awal ditinggalkan dan menjadi sengsara. Dari sudut pandang politik, Pepera (penentuan pendapat rakyat) adalah tonggak dimulainya penghancuran ekonomi dan sosial-budaya masyarakat asli Papua. Dibawah rezim Orde Baru, Papua hanya dianggap sebagai lahan yang dapat dikeruk sumber daya alam melimpahnya. 

Walaupun dalam beberapa kebijakan yang di buat seakan akan diartikan sebagai bentuk perhatian Pemerintah kala itu terhadap masyarakat papua, salah satunya seperti diresmikanya papua sebagai daerah otonom pada tahun 1969 dan rencana pembangunan jalan-jalan arteri, namun sebenarnya tidak lebih adalah sebagai aturan yang bertujuan memuluskan rencana-rencana pemerintah yang berkolaborasi dengan para komprador dan pemodal. 

Dari sudut pandang buadaya, masyarakat suku di Papua menjadi terusik dan kehilangan jati diri kebudayaanya akibat adanya ekplorasi pertambangan tersebut. Bagaimana wilayah-wilayah yang dianggap suci oleh masyarakat suku-suku di Papua kemudian digerus menjadi wilayah tambang dan tempat pembuangan limbah hasil tambang tersebut. 

Ketika masyarakat Papua mulai melawan untuk mempertahankan haknya, opersai militer dipilih sebagai jalan pengamanan terhadap perlawanan masyarakat asli yang merasa diperlakukan tidak adil dalam ruang hidupnya. 

Kemudian dengan tujuan mengamankan investasi kapital tadi, masyarakat asli sekitar wilayah operasi tambang di pindah ke wilayah dataran rendah untuk dijadikan petani. Ketidakcocokan lingkungan, kemudian justru semakin membuat masyarakat asli tersebut dirugikan.

Potongan sejarah diataslah yang kemudian menjadikan nasionalisme Papua terbentuk. Selain karena pengalaman direbutnya tanah nenek moyang dan menjadi daerah operasi militer terlama (DOM) yang sudah kenyang memakan ketidakadilan, masyarakat Papua juga merasa takut akan menjadi masyarakat yang minoritas di tanah sendiri

(“Perkembangan Masalah Agama di Papua: Sengketa Antaragama dan Pencegahan Konflik” termuat di kumpulan tulisan Kegalauan Identitas: Agama, Etnisitas dan Kewarganegaraan pada masa Pasca Orde Baru”). 

Namun, berdasarkan hal-hal tersebut sebelunya, tidak sedikit juga masyarakat Papua yang masih menginginkan menjadi bagian dari Indonesia. Banyak tokoh-tokoh asli Papua yang menjadi bagian dalam pembangunan dan kemajuan Indonesia, dan juga anak-anak Papua yang terlibat dalam banyak hal dalam rangka mengharumkan nama bangsa Indonesia.

Hal ini tentunya menjadi pandangan, bahwa masyarakat Papua pun masih memiliki kecintaan terhadap NKRI dan tetap menghendaki persatuan dan kesatuan bangsa, selain menginginkan kedamaian dan keadilan yang sema dengan wilayah lain di Indonesia.

Perlu diketahui, bahwa seharusnya persoalan yang terjadi saat ini sangatlah dapat dihindari. Pendekatan persuasive dalam rangka penyelesaian masalah seharusnya dilakukan dan tetap pada koridor peraturan hukum dan perUndang-undangan yang berlaku. Karena represifitas hanyalah akan semakin menciptakan kondisi yang runyam sehingga penyelesaian masalah menjadi sulit terwujudkan dan beresiko menimbulkan dampak yang lebih besar terjadi. 

Apalagi menganggap bahwa mengusir mahasiswa Papua menjadi jalan yang dianggap perlu sebagai penyelesaian masalah. Tentu saja hal tersebut tidak tepat dan sangat bertentangan dengan UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap warga Negara berhak untuk mendapatkan penghidupan yang layak. Dan sangat perlu untuk di pahami bahwa setiap jengkal wilayah Indonesia adalah hak bagi setiap warga Negara, sehingga tindakan pengusiran tersebut adalah hal yang sangat tidak bisa dibenarkan. 

Bersamaan dengan dua hal sebelumnya tersebut, tindakan Rasisme yang diterima oleh mahasiswa-mahasiwa Papua adalah tindakan yang sangat tidak perlu sehingga membuat masyarakat Papua tersulut karena merasa diperlakukan tidak adil dan semena-mena. 

Tentu hal initerjadi mengingat rasa persaudaraan yang tinggi masyarakat Papua diberbagai daerah terjalin sangat kuat. Persoalan sistemik di Papua ini memang membutuhkan campur tangan seluruh elemen masyarakat Indonesia dengan tujuan menjaga persatuan bangsa dan mewujudkan keadilan sosial.

Sudah seharunya, mengedepankan prinsip persatuan,kesatuan dan persaudaraan dalam penyelesaian konflik-konflik yang terjadi adalah langkah yang diutamakan. Implementasi sila ke tiga Pancasila seharusnya tetap dipegang teguh oleh setiap warga Indonesia, tidak terkecuali masyarakat Papua. Sehingga segala persoalan dapat diselesaikan dengan baik dan tidak merugikan semua pihak, tetapi justru semakin menciptakan rasa persaudaraan yang tinggi karena telah melalui suatu masalah yang mendewasakan. 

Papua adalah bagian dari Indonesia. Sejarah telah membuktikan bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia yang merdeka dan Indonesia yang berdaulat. Presiden Sukarno telah menyampaikan hal tersebut berpuluh tahun yang lalu dengan tujuan untuk membuat Papua dapat lepas dari penjajahan Belanda dan menjadi bagian dari Indonesia. 

Cita-cita yang terwujudkan setelah mengalami berbagai hal yang tidak ringan tersebut, harus dipertahakan seterusnya. Cita-cita yang dalam usaha mewujudkanya tersebut harus mengorbankan banyak nyawa para pahlawan Indonesia, tidak boleh sejenak pun untuk dilupakan dan dihapuskan maknanya. Bahwa “yang dinamakan Indonesia, ialah segenap pulau antara Sabang dan Merauke.(*)

*Penulis, Mukhammad Hykhal S. A, Ketua DPP GMNI Bidang Reforma Agraria

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Yatimul Ainun
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES