Kopi TIMES

Media dan Kuasa Oligarki di Indonesia

Selasa, 20 Agustus 2019 - 16:06 | 554.37k
Muhammad Rifqi Nurdiansyah.
Muhammad Rifqi Nurdiansyah.

TIMESINDONESIA, MALANG – Jika saya diberi kesempatan untuk menentukan apakah kita harus memiliki pemerintahan tanpa media atau media tanpa pemerintahan, saya tidak akan ragu untuk memilih pilihan yang terakhir. (Thomas Jefferson)

Diskursus mengenai media di Indonesia masih begitu ramai diperbincangkan, karena media sangat penting dalam melintasi panorama kehidupan yang multifungsional. Bagi masyarakat, media menjadi sarana penting dalam mencari sebuah informasi dan menjadikannya sesuatu yang dapat memberikan manfaat yang cukup besar dalam kehidupan. Hal ini menunjukkan bahwa orang-orang tidak akan pernah lepas dengan aktivitas bermedia, sebab media telah menjadi kebutuhan dasar dalam kehidupan. Bahkan media bagi sebagian orang telah menjadi ‘agama’ yang selalu digenggam dalam algoritma klik dan keterpaparan.

Sampai saat ini, media tidak kehilangan fungsi atau peran dalam kehidupan yang kompleks ini. Semakin hari media semakin berperan dalam segala sisi. Hal ini membuktikan bahwa peran media baik cetak, elektronik maupun media online sangat strategis dalam membangun sebuah peradaban sosial, ekonomi dan politik. Apalagi hadirnya media sosial dan media massa yang sangat berperan penting dalam mewujudkan negara yang berkemajuan. Denis Mc. Quail dalam bukunya Mass Communication Theories menjelaskan bahwa media massa menjadi alat untuk perubahan dan pembaharuan dalam kehidupan bermasyarakat karena memiliki sifat yang dapat menjangkau seluruh lapisan wilayah yang luas serta mampu memberikan popularitas. (Mcquail, 1987:1).

Media memiliki kehidupan tersendiri sehingga ia mampu memasuki dimensi sosial dan  politik. Hadirnya media ditengah-tengah masyarkat turut membantu memudahkan masyarakat dalam mencari informasi dan membuat perubahan nilai-nilai sosial. Kemudian media juga telah merasuk kedalam tubuh politik sebagai alat dan saluran dalam merebut kekuasaan. Sebenarnya hal demikian telah lama berlaku dalam sistem kebudayaan di Indonesia, namun dari masa ke masa selalu ada saja yang membuat kita menggaruk kepala.

Media dan Elite-Oligarki
Barangkali bukan menjadi sesuatu yang baru di ranah publik. Media-media mainstream di Indonesia telah dikuasai oleh kaum-kaum elite-oligarki. Penelitian yang dilakukan oleh Ross Tapsell selama 8 tahun di Indonesia yang terangkum dalam bukunya berjudul 'Kuasa Media di Indonesia-Kaum Oligarki, Warga dan Revolusi Digital' semakin membuat kita yakin bahwa oligarki media di Indonesia benar adanya. Ross Tapsell berpendapat bahwa lanskap media di Indonesia didominasi oleh delapan konglomerat yakni Chairul Tanjung (Trans Corporation), Hary Tanoesoedibjo (Global Mediacom), Eddy Sariaatmadja (Emtek), keluarga Bakrie (Visi Media Asia), Surya Paloh (Media Group), James Riady (BeritaSatu), Dahlan Iskan (Jawa Pos), dan Jakob Oetama (Kompas Gramedia). 

Para elite-ologarki ini sangat mudah dalam mempengaruhi masyarakat sekitar, karena mereka telah memiliki alat yang berpotensi besar dalam membawa arus perubahan. Para pemilik media di Indonesia semakin kuat dalam kancah politik dan semakin meraup keuntungan materil dan kekuasaan. Apalagi dengan adanya transformasi digital yang membuat digitalisasi media semakin canggih sehingga dengan cepat membuat langkah oligarki menjejaki ruang-ruang yang sistematis.

Adanya media digital membuat perusahaan-perusahaan semakin gemuk dan cepat dalam mendominasi jangkauan jaringan secara luas. Hal ini yang juga sangat mudah mempengaruhi masyarakat untuk merubah pola pikir sesuai apa yang diinginkan oleh para elite. Sementara perusahaan media yang kecil sulit beradaptasi dan bertahan hidup dalam menyampaikan aspirasi serta informasi secara independen kepada publik.

Dalam dunia politik jelas media yang dijadikan alat untuk membuka pikiran-pikiran masyarakat dan memberikan stimulus untuk merebut suara-suara pemilihan kekuasaan dan menambal elektabilitas. Segala jaringan telah digenggam oleh mereka sehingga pengaruh dalam membujuk masyarakat untuk satu pemikiran sangat mudah. Tidak perlu banyak kampanye mimbar untuk mengajak masyarakat memilih yang diiinginkan. Cukup dengan media segalanya dapat berkampanye untuk merebut kekuasaan.

Rupanya semakin kuat kaum konglomerat media menguasai maka semakin membuat keprihatinan yang terus berkelanjutan. Karena para pekerja media tidak bebas dalam menyuarakan aspirasi dan bereskpresi dalam mewujudkan idealisme yang mereka miliki. Para pekerja dijejali regulasi dalam praktik kerjanya dan apabila tidak mengikuti maka akan ada tindakan lanjut dari atasan. Seperti yang dikatakan Surya paloh kepada Ross Tapsell bahwa apabila ada wartawan yang tidak suka bekerja di perusahaan medianya maka jangan kerja. Hal ini dikatakan dengan jujur oleh Surya paloh agar tidak menjadi hipokrisi dalam dirinya.

Kondisi demikian sudah lama kita rasakan dan masih saja praktik itu terus berkelanjutan. Dalam riset yang penulis lakukan, 59,4% responden tidak mempercayai informasi yang dipublikasikan dan 40,6 masih menyatakan mungkin. Hal ini yang perlu menjadi bahasan serius mengapa para penikmat media tidak percaya terhadap informasi yang disampaikan. Padahal media menjadi sebuah sarana untuk menyampaikan informasi dan edukasi untuk masyarakat luas. Namun tetap saja informasi demikian hangus ditengah ketidakpercayaan masyarakat terhadap beberapa media yang telah eksis dan mengakar di Indonesia.

Beberapa hal yang menjadikan orang tidak percaya kepada informasi tersebut adalah bahwa media hari ini tidak memegang teguh indepedensi media dalam pemberitaan. Sehingga pembaca masih ragu terhadap adanya keberpihakan media dalam menyampaikan informasi. Apalagi media yang dimiliki kaum konglomerat, maka indepedensi suatu media sangat sulit diterapkan dalam kehidupan berita. 
Harus diakui bersama bahwa di Indonesia pemilik media bukan berasal dari jurnalis yang memiliki kemewahan idealisme, walaupun ada beberapa media yang sepanjang sejarahnya penuh perjuangan berdarah-darah. Para pebisnis selalu melihat informasi tak lebih dari suatu komoditas yang diperjualbelikan dengan mengabaikan makna sosial, budaya, atau politik dari informasi tersebut. (Haryanto, 2014:72).

Pengusaha atau pemilik media tentu memiliki keinginan untuk berinvestasi jangka panjang dan meraup keuntungan sebanyak-banyaknya secara cepat dengan memanfaatkan hubungan dengan kekuasaan. Media memiliki daya tarik yang kuat pada kekuasaan politik sehingga media sangat diperlukan untuk memanjakan kekuasan pemerintahannya. Di sinilah pengusaha media dengan mudahnya mendekati kekuasaan politik untuk mencari-cari uang.

Kekuatan kuasa media dan kuasa pemerintah menjadi catatan besar mengapa pekerja media tetap saja mengikuti arus regulasi internal yang dibuat. Seperti wartawan yang harus taat terhadap keberpihakan media dalam menghadapi dunia perpolitikan. Mau tidak mau mereka harus menjalani tugasnya sesuai dengan apa yang diinginkan oleh kuasa oligarki media. Disinilah indepedensi media dan idealisme pekerja harus dipertaruhkan.

Jurnalis dan Runtuhnya Idealisme

Para pekerja media khususnya jurnalis yang sedang melakukan liputan kesulitan menjaga indepedensinya. Seperti yang dipaparkan oleh dua jurnalisme kondang yang membuat standar mutu jurnalisme dengan penyebutan Sembilan elemen dasar sebuah jurnalisme, salah satunya bahwa jurnalis harus menjaga indepedensi dari objek liputannya. (Kovach & Rosentiel, 2006: 14). Namun hal demikian sulit diimplementasikan dalam praktik jurnalistiknya, karena tidak ada komitmen kuat untuk mempertahankan ideologi yang dimilikinya serta dihadapkan dengan berbagai keberpihakan media yang mengharuskan untuk mengikutinya.

Idealisme yang dimiliki oleh jurnalis hangus ditengah berkobarnya rentetan keberpihakan media. Sehingga komitmen dan prinsip yang dipegang kuat oleh hati nuraninya kandas dalam sepanjang perjalanan jurnalisme. Inilah yang menjadi kecemasan bersama yang harus dihadapi oleh pekerja media dan penikmat media.

Hanya segelintir pekerja media yang berani mengkritik dan melawan atas kebijakan yang dikeluarkan oleh pemegang media. Kritik terhadap media diharapkan sebagai ikhtiar dalam merawat jurnalisme. Menurut Rusdi Mathari, wartawan kritis yang sering mengkritik dan melawan terhadap kejanggalan suatu media menyatakan bahwa ada beberapa kondisi yang kemudian kritik menjadi cukup penting. Pertama arus konsentrasi kepemilikan media semakin menderas, kedua media cetak hampir tiba, tsunami hoax muncul, dan ketiga gejala ketidakpercayaan terhadap media arus utama membesar. Kondisi inilah yang membuat jurnalisme sedang berada dalam episode menegangkan dan sangat penting untuk mengkritik terhadap kekuatan kondisi yang terjadi saat ini. (Mathari, 2018: 73).

Pasalnya, kritik terhadap media sangat langka di Indonesia. Seharusnya kritik menjadi suatu upaya untuk menilai seberapa jauh jurnalis mewujudkan kode etik dan undang-undang pers yang berlaku dan seberapa hebat jurnalis menjalankan praktiknya. Hal ini yang diharapkan untuk membuat media di Indonesia lebih baik. Namun hal itu jarang kita lihat di muka publik. Minimnya kritik dan auto kritik dari para pekerja media Indonesia. Hal ini yang harus kita perhatikan juga agar media sehat dari segala penyakit yang mewabah. 

Situasi inilah yang membuat para pekerja kalang kabut dalam mengkalibrasi ulang bagaimana menjadi pekerja media yang idealis. Idealisme yang seharusnya menjadi pegangan dalam  memanifestasikan kebenaran faktual untuk diungkap pada muka publik menjadi bungkam atas ketundukan terhadap regulasi. Serta mereka juga dipertaruhkan dengan gaji yang cukup sehingga pekerja media tidak bisa berekspresi secara bebas. 

Suara jurnalis hanya mudah dibungkam melalui regulasi dan uang oleh para oligarki. Bagaimana tidak pekerja juga membutuhkan gaji untuk memberikan nafkah pada keluarga sehingga tak ada lagi cara kecuali patuh terhadap atasan. Inilah yang membuat runtuhnya idealisme pekerja media dalam menjalani praktiknya. Tak ada lagi cara selain patuh atau mengkritik secara tegas -dengan catatan ia berani menerima segala konsekuensi yang akan terjadi.

Maka idealisme disini begitu penting untuk melawan segala yang menghalangi freedom of speech (kebebasan berpendapat). Karena hanya segelintir pekerja yang berani membantah argumen pemilik media. Akan tetapi, bila hal ini memang terjadi dan banyak yang membakar kegelisahannya dengan memegang kuat idealisme jurnalis, maka akan terjadi perubahan yang cukup besar dalam dunia media.

Keberadaan media yang selama ini banyak pembaca tidak percaya terhadap informasi yang dipublikasikan, menandakan bahwa kritik atas dasar perbaikan kedepan menjadi cukup penting. Apalagi jika kritik-auto kritik menjadi tradisi dalam kehidupan media, barangkali ini yang akan menyembuhkan luka yang masih menganga. 

Tentu perusahaan media tetap menjadi industri namun tetap menjaga kualitas para pekerja media dan menjadi pemenuhan hak publik. Hal ini harus kita perhatikan dengan serius dalam rangka menjadikan media di Indonesia yang berkualitas. Sehingga tidak ada lagi kekuasaan media untuk memanipulasi suara-suara politik yang beradu dalam gegap gempita kebohongan publik.

Solusi yang ditawarkan oleh aktivis-aktivis media juga diperhatikan dan dijalankan dengan baik. Sampai tidak ada lagi ruang kosong setelah munculnya diskusi-diskusi publik. Kejadian yang terus-menerus ada dalam kehidupan sosial-politik ini membiarkan solusi alternatif sehingga menjadi mubazir ditengah kekeruhan yang menggenang pada media-media di Indonesia. 

Menghadapi situasi dan kondisi ini, maka perlu ada rekontruksi pada suatu media dalam mewujudkan indepedensi yang teguh tanpa ada manipulasi dari kekuatan oligarki. Kemewahan idealisme cukup membuat pekerja media ada pada jalan yang tidak ada keberpihakan satupun untuk menjunjung tinggi kebenaran faktual. Sehingga media menjadi satu alat yang benar-benar mengungkap fakta dibalik fakta dan membawa perubahan pada dimensi sosial dan politik di Indonesia yang gemilang. Rekonstruksi ini diharapkan untuk mengembalikan fitrah awal media idealis yang akan membawa perubahan-perubahan masa depan Indonesia berkemajuan.

 

*Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi, Universitas Muhammadiyah Malang dan Santri Alumnus PP. Nurul Jadid, Probolinggo. Sekarang sedang mengabdi di Ikatan Mahasiswa Alumni Nurul Jadid (IMAN Malang Raya). Penulis dapat dihubungi melalui no telp. 082334081826 atau email: [email protected]. no rek. 323901021530531 BRI a.n. Muhammad Rifqi Nurdiansyah

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : Wahyu Nurdiyanto
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES