Kopi TIMES

Mahasiswa Baru: Tidak Ada Distingsi Antara Organisatoris dan Akademisi

Senin, 19 Agustus 2019 - 15:46 | 198.88k
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang (Grafis: TIMES Indonesia)
Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang (Grafis: TIMES Indonesia)

TIMESINDONESIA, MALANG – Abel Farochi ketua Badan Eksekutif Mahasiswa Unisma sungguh menarik dikaji ulang. Ia seolah membuat distingsi antara mahasiswa organisatoris dan akademisi. Memang cukup menarik ketika membahas tentang dua sosok jenis mahasiswa yang kerap saling merebut paling benar. Tapi, menurut pendapat subjektif saya, sebagai mahasiswa biasa saja, distingsi itu tidak diperlukan, dan memang tidak begitu penting dicari perbedaan. Mungkin anda berpikiran sama, jadi begini.

Di satu sisi, organisatoris memiliki pandangan bahwa dengan berorganisasi akan menghasilkan banyak hal yang bermanfaat, managemen waktu, manageman orang, melatih berdiskusi, memperbaiki kreatifitas, mencari gebetan kepribadian. Tujuan utamanya tentu mencari ketenaran kebijaksanaa untuk meraih tampuk kekuasaan tertinggi di kampus, ketua BEMlah, DPMlah, UKMlah –iya begitu. Dengan pandangan luar biasanya ketika meraih itu “No Apatis, Yes Sosialis”.

Realitanya yang berkembang saat ini streotip kurang baik justru acap muncul dan disematkan pada sosok organisatoris. Mereka kerap dipandang sebagai mahasiswa yang sulit mendapat IPK tinggi dan kurang berkembang dalam bidang akademik. 

Jadi perlu diluruskan bahwa organisasi merupakan sebuah wadah proses dikalangan mahasiswa. Dan hal itu bukan menjadi tujuan utama semua mahasiswa. Pelabuhan mahasiswa bukan terletak pada organisasi. Sebab perguruan tinggi memiliki Tri Darma, yang mana bukan hanya menjadi tolok ukur implementasi pada saat menjadi mahasiswa saja, melainkan pasca menjadi mahasiswa akan selalu ada dan terus hidup melebur dengan masyarakat –Inget lur hidup di masyarakat tidak semudah itu. 

Sebenarnya, tidak berorganisasi bukan sebuah sikap tidak baik. Walaupun stigma di kampus, mahasiswa yang tidak mengikuti organiasasi dianggap apatis –Lalu organisatoris dengan berbangga muka megucapkan, heh dasar apatis. Cara pandang seperti itu terlalu sempit ketika dibenturkan dengan fenomenologis mahasiswa non-organisasi. Boleh berasumsi asalkan tidak memberikan justifikasi tidak baik pada yang non-organsasi.  

Di lain sisi, akademisi, jenis mahasiswa yang selalu diidentikkan dengan “kupu-kupu” alias kuliah pulang kuliah pulang, dimana tidak ada yang lebih berharga tinimbang IPK. Menjadi asdos (asisten dosen) sebagai tujuan mulia dengan semlehoy menarik perhatian. Seolah ketika hal itu dicapai menganggap dirinya sebagai mahasiswa yang sebenar-benarnya mahasiswa sesuai dengan orientasi dan tujuan kuliah.

Dua kubu ini memang menarik ketika dikaji dari sisi perbedaan dan saling berebut mana benar. Pertanyaannya, apakah memang keduanya berseberangan? –Saya rasa tidak. Kembali lagi pada sejarah lahirnya organisasi di Indonesia Boedi Oetomo, Serikat Islam, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia. Kesemuanya lahir dari insiasi –seorang terdidik sejak alam pikiran apalagi perbuatan (tulis Pramoedya dalam Bumi Manusia).

Memang, saat ini bukan berebut mana yang paling benar. Meliha kondisi dan output dari kedua belah pihak. Organisatoris saat aktif menjadi mahasiswa merupakan garda terdepan dalam menyuarakan suara rakyat, agent of social control dalam membredeli status qou yang tengah menjabat. Tetapi, ketika dihadapkan dengan dunia nyata –dunia pasca kuliah yang mengharuskan anda untuk memenuhi perut semua seperti mentah sia sia, bahkan si garda terdepan pemrotes yang justru menduduki status qou. 

Begitupun juga dengan akademisi, ketika berada pada jenjang perkualihan menjadikan IPK sebagai tolak ukur, bahwa asisten sana sini sebuah bentuk kesuksesan. Setelah merebah pasca kuliah, toga diletakkan, sementara pengalaman organisasi tidak ada, kreatifitas managerial masih kosongan –ya mampuslah anda dengan tentengan pengajuan kerja itu.

Antara akademisi dan organisatoris sebenarnya saling bersesuai –soal mana yang paling benar itu hanya pendapat subjektif saja. Senarai dengan pendapat tersebut, penulis pernah melakukan obrolan khusus dengan Guz Kanzul Fikri (Pengasuh PP AL Aqobah, Alumni LPM Fenomena 2007, PBI FKIP UNISMA 2008)yang saat berkuliah menjadi organisatoris sekaligus akademisi.

Ia menarasikan proses selama menjadi mahasiswa –menurut pandangan penulis hal ini juga bisa diterapkan, utamanya bagi calon mahasiswa baru. Jangan sampai stigma buruk pada organisatoris terus berlanjut, bahwa organisatoris juga turut merangkap akademisi. Sepertinya memposisikan seorang dosen saat berada di kelas, dosen bukanlah lawan berdebat pendapat –memang soal perbedaan sudah biasa, tentu bukan debat kusir, tetapi pembicaraan berkeadaan sesuai dengan yang diajarkan kampus dimana mahasiswa belajar sudah seharusnya diterapkan.

Berikut prosesnya: Tahun pertama, semester satu dan dua merupakan penguatan akademik nilai IPK harus bagus. Tahun kedua, semester tiga dan empat mencoba berorganisasi karena paham medan, tetapi harus benar fokus dan mengetahui organisas yang cocok baginya. Tahun ketiga, semester lima enam, barulah mencapai puncak organisasi. Tahun terakhir, selesai di organisasi lalu fokus pada akademi untuk menyusun skripsi, kuliah kerja nyata dan sebagainya. Dari kesemuanya itu yang harus ditekakan IPK bagus. Harus seimbang, antara organisatoris dan akademisi. Itulah intinya, hargailah waktu.   

Pendapat penulis mahasiswa dalam sejarahnya, hanya akan menemukan dua kemungkinan, dalam berproses. Mempertahankan idealis yang apatisme atau idealis yang sosialisme. Ada korelasi antara akademik yang berkaitan dengan tujuan individualis atau kepentingan umum untuk dilalui dengan wadah yaitu organisasi.

 Antara akademisi dan organisatoris tidak ada yang tidak baik karena semua mahasiswa memiliki jalan masing-masing dalam berproses. Paling penting bagi mahasiswa, khusunya calon adik-adikku, gold great generation, “Apakah kita akan menjadi penerus bangsa atau penebus”. Generasi penerus yang tidak baik, atau akan menjadi mahasiswa penebus dosa-dosa para pendiri bangsa sehingga juga dapat berbicara banyak mengenai arah kelurusan birokrasi berbagai lini. 

Pesan saya, terkhusus untuk mahasiswa baru, jadikan kampus sebagai lumbung. Ketika berada di lumbung dan ingin menghasilkan madu yang berkualitas baik juga banyak diminati, maka harus keluar dari lumbung dengan ketekunan serta konsistensi yang ditanamkan pada diri sendiri. Menjadi oganisatoris yang jelas memang memiliki sifat sosial tinggi, tetapi tetap ingat pada persoalan akademiknya atau tetap kukuh berada pada barisan akademisi dengan jiwa bersosial tinggi. Kedua hal ini penting dipertimbangkan demi memberangus penyakit apatis dan hedonis yang kian menggerogoti diri mahasiswa.

Jadi, sekarang yang lebih penting lagi anda harus memikirkan baik baik tujuan kuliah sedari awal –tentu tujuannya bukan menjadi pro player moba, atau konten kretor bijaksana, apalagi penganut sekte tebang pilih kating cantik. Pendidikan yang sebenar benarnya seperti yang diungkapkan Ki Hajar Dewantara Ing Ngarso Suntulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuru Handayi. Di depan memberi contoh betapa mahasiswa adalah contoh bagi yang bukan mahasiswa, di tengah atau di antara murid, harus menciptakan prakarsa dan ide, dibelakang bukan nendang tetapi mendorong pada sebuah kemunduruan.

Anda harus memikirkan bagaimana orientasi negara ini, perbanyak literasi: membaca dan diskusi, dan memikirkan kesejahteraan masyarakat tempat asal –percuma aktivis organsasi atau akademisi tingkat tinggi tapi asing di tanah sendiri. Intinya tidak perlulah memikirkan perbedaan sana sini, baik organisatoris ataupun akademisi keduanya saling bertautan, sama sama dibutuhkan, dan mesti sama sama dimiliki. (*)

*) Penulis: Muhammad Afnani Alifian, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Islam Malang, anggota redaksi Lembaga Pers Mahasiswa Fenomena Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Aktif sebagai pelapak di perpustakaan jalanan gerilya literasi.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Advertisement



Editor : AJP-5 Editor Team
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

Togamas - togamas.com

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES